SYIAH,
AL-KHAWARIJ DAN AL-MURJIAH
(Sejarah
Timbul, Pokok Ajarannya
dan Pengaruhnya di Dunia)
MAKALAH
Disampaikan
pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Semester Satu
(1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok I (Satu)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM:
80100216002
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr. Mustari, M.Pd
Dr. Hj.Nurnaningsih, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang
Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam
berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya
sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar
mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin,
ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya
perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah
masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik
ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat
mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu
demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang
berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih
sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada
para Rasul, para Malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran Nabi-nabi yang tidak
mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan
Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan
itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, diantaranya: Syiah, Khawarij, dan
al-Murjiah. Dalam hal ini nantinya akan membahas bagaimana sejarah lahirnya aliran
tersebut serta pokok ajaran dan pengaruhnya di dunia.
B.
Rumusan
Masalah
Berangkat
dari uraian di atas, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah:
1.
Bagaimana sejarah lahirnya syiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
2.
Bagaimana sejarah lahirnya Khawarij, pokok ajaran dan pengaruhnya?
3.
Bagaimana sejarah lahirnya al-Murjiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya Syiah, Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
1.
Pengertian Syi’ah
dan Sejarah lahirnya
Syi’ah secara
etimologi (kebahasaan) berasal dari kata dasar Syaya’a yang berarti
mendukung, membela, dan menolong. Kata syi’ah berarti para pendukung dan
pembela. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan kata syi’ah
(شِيْعَة ) dengan arti penolong, pengikut dan pendukung,
diantaranya adalah di dalam QS. Al Qasas : 215, al-Saffat : 83, al-Qomar : 51.
Ibnu manzur menyebutkan bahwa syi’ah adalah suatu kaum yang bersepakat
terhadap sesuatu.[1]
Syi’ah berarti
pengikut (pendukung faham). Dipakai kalimat ini untuk satu orang, dua orang,
atau banyak orang, baik lelaki ataupun perempuan. Kemudian perkataan ini
dipakai secara khusus buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganya untuk
menjadi khalifah dan berpendapat bahwa Ali dan keluarganyalah yang berhak
menjadi Khalifah.[2]
Pada
zaman Abu Bakar, Umar dan utsman kata syi’ah dalam arti nama kelompok
orang islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan Khalifah ke-tiga
ada yang mendukung Ali, tetapi setelah ummat islam memutuskan memilih Utsman
bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali akhirnya berbaiat kepada
Utsman termasuk Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat islam
bernama “ Syi’ah “. Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara
Ali dan Mu’awiyah, barulah kata “Syi’ah” muncul sebagai nama kelompok
ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang di sebut syi’ah,
tetapi pendukung Mu’awiyah pun disebut syi’ah. Jadi ada syi’ah
Ali dan ada syi’ah Mu’awiyah. Hal itu tercantum dalam naskah perjanjian
melaksanakan Tahkim, di mana di situ di terangkan: bahwa apabila orang
yang ditentukan dalam pelaksanaan Tahkim itu berhalangan, maka diisi
dengan orang dari syi’ah masing-masing. Tetapi syi’ah pada waktu
itu, baik syi’ah Ali maupun syi’ah Mu’awiya hanya berarti pendukung dan pembela, adapun aqidah dan pahamnya, kedua belah
pihak sama, karena bersumberkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sehingga
Ali pun memberikan penjelasan kepada pengikutnya tentang peperangannya dengan
Mu’awiyah, bahwa peperangan itu semata-mata berdasarkan ijtihad. Kita
(Ali dan pengikutnya) berkeyakinan bahwa kitalah yang benar/haq dan mu’awiyah
salah, karena memberontak pemerintahan yang sah. Sebaliknya Mu’awiyah pun
berkeyakinan bahwa dialah yang benar, dan kita salah (karena tuntutannya untuk
menghukum pembunuh Utsman belum bisa dilaksankan). Maka karena itu ‘Ali
mensholati jenazah korban perang dari kedua belah pihak. Selanjutnya syi’ah
mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka
meninggal dunia. Dan semakin jauh perpecahan mereka, semakin banyak pula ajaran
dan faham baru, di mana tidak jarang ajaran syi’ah dalam suatu periode
bertentangan dengan ajaran mereka pada periode sebelumya. Karena setiap imam
memberikan ajaran, dimana perkataan Imam bagi syi’ah adalah Hadits, sama
dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada yang
beranggapan perkataan imam adalah sama dengan perkataan Allah, maka perpecahan syi’ah
dari masa ke masa semakin banyak sehingga menurut Al-Muqrizy bahwa jumlah firqah
Syi’ah mencapai 300 firqah.[3]
Perkembangan
syi’ah dari yang awalnya sebatas pada ranah politik perbedaan antara
pendukung Ali dan Mu’awiyah kemudian berkembang menjadi aliran Teologi, hal itu
tidak terlepas dari peran seorang tokoh keturunan Yahudi yang bernama abdullah
bin Saba’.[4]
Abdullah
bin Saba’ adalah cerminan dendam sejarah dari pihak Yahudi terhadap Islam dan
kaum muslimin, seperti halnya Abu Lu’lu’ Al Majusi sebagai cerminan dendam
sejarah dari pihak Majusi Persia terhadap Islam dan Kaum Muslimin. Masalah khilafah,
cinta dan setia kepada Ahlul Bait itu hanya sebagai alat dan kedok saja.
Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari yaman yang pura-pura
masuk Islam pada akhir masa Khilafah Utsman bin affan ra. Dialah orang
pertama yang mengisukan bahwa yang berhak menjadi Khalifah setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali.[5]
Dia
(Abdullah bin Saba’) juga yang paling pertama menyebarkan isu kebencian
terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin affan dan para Sahabat-sahabat
lainnya secara terang-terangan serta mengkafirkan mereka, sebagaimana yang di
kutip di dalam buku-buku referensi utama kelompok syi’ah.
Salah
seorang ahli sejarah syi’ah, Al-Kisyi dalam bukunya Rijal Al Kisyi
berkata, “Beberapa ulama menyebutkan bahwa tadinya Abdullah bin Saba’ adalah
orang Yahudi, lalu masuk islam dan berpihak kepada Ali bin Abu Thalib. Ketika
masih menjadi Yahudi, ia berkata berlebih lebihan tentang Yusya’ bin Nun,
penerima wasiat Musa. Ketika masuk Islam setelah wafatnya Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata tentang Ali bin Abu Thalib juga
seperti itu. Ia orang yang pertama kali menyatakan kewajiban imamah Ali
bin Abu Thalib. Selain itu, ia menyatakan lepas tangan terhadap musuh-musuh Ali
bin Abu Thalib dan para penentangnya, serta mengkafirkan mereka. Dari sini,
orang yang anti Syi’ah berkata bahwa orang-orang syi’ah dan Ar-Rafidhah
itu di adopsi dari Yahudi.”[6]
2.
Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah dan Pengaruhnya
Kaum
Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at-tauhid, al-‘adl, an-nubuwah,
al-imamah dan al-ma’ad.
a.
Al-Tauhid
kaum syiah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu Ada, Maha Esa, Tunggal, Tempat
bergantung segala makhluk, Tidak beranak dan tidak diperanakan dan tidak
seorangpun yang menyamainya.
b.
Al-Adl
Aliran syiah
berkeyakinan Allah maha adil, Allah tidak melakukan perbuatan zalim/buruk.
c.
Al-Nubuwwah
Kepercayaan
syiah terhadap para Nabi-Nabi tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim
lainnya. yaitu Nabi diutus untuk membimbing manusia.
d.
Al-Imamah
Menurut syiah,
Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan Agama dan dunia sekaligus, ia
pengganti Rasul dalam memelihara syariat, melaksanakan hudud dan mewujudkan
kebaikan dan ketentraman umat.
e.
Al-Ma’ad
Ma'ad berarti
tempat kembali (hari akhirat), kaum syiah sangat percaya sepenuhnya akan adanya
hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
Dalam perkembangan kaum syiah berawal dari
gejolak perpolitikan yang dimana menimbulkan perbedaan
pandangan politik
di antara para Sahabat, berupa percikan-percikan belaka. Bahkan para sahabat
tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun
menyerang sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah
atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun
Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang
untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.
Di
kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk
sikap politik kelompok Syi’ah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam
pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser
sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah
kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah
dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.
Kelompok
Syi’ah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol
adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syi’ah 12). Ada pula kelompok Syi’ah Imamiyah
(Syi’ah 6), Syi’ah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain
sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syi’ah menyakini sepenuhnya bahwa hak
Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan
keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syi’ah tersebut terdapat
perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak
memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat
dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering
dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela
atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syi’ah
lainnya.
B. Sejarah Lahirnya Khawarij, Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
1. Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij
adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar
pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.[7] Nama
Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[8]
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari
pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju
tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin
Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok
Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,
sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah.
Ali
sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah
sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid
bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar
(komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.[9]
Setelah
menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai
delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka
beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri.
Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim,
yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan
mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum
khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum
kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”.
Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan
keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali
dan langsung menuju Hurura.
Dengan
arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij
ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat
seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[10]
2.
Pokok-Pokok Ajaran Khawarij dan Pengaruhnya
Pokok-pokok ajaran khawarij adalah sebagai berkut:
a.
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat islam.
b.
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab.
Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat.
c.
Khalifah dipilih secara permanen selama yang
bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan
bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman)
adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra
dianggap telah menyeleweng.
e.
Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi
arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.
Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari
juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g.
Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut
muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka
menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
i.
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan
golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup
dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri
dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.
Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang
menyeleweng.
k.
Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang
baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam
neraka).
l.
Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.
Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak
mutasabihat (samar)
n.
Quran adalah makhluk.
o.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari
Tuhan.
Perkembangan
khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas
di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang
berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan
golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang
berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah
bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
C. Sejarah Lahirnya Al-Murjiah, Pokok Ajaran Dan Pengaruhnya
1.
Sejarah Lahirnya Al-Murjiah
Golongan Murji’ah ini mula-mula
timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah.[11] Nama Murji’ah diambil dari kata irja
atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain
itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang
yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena
itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari
kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang
mengenai asal-usul kemunculan
Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau
arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari
sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis, diperkirakan
lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok
Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.[12]
Teori lain mengatakan bahwa
gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan
oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar
tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah
mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan
kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah.
Teori lain mengatakan bahwa ketika
terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas
usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua
kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari
Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan
Al-Qur’an atau dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah
dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan
dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka
kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang
sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa
pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan
kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.
Adapun secara istilah, murjiah
adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan,
sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan
seseorang.[13]
Tokoh
utama aliran Murji'ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat
As-Samman, dan Tsauban Dliror bin 'Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada
pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair
kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.[14]
2.
Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
a. Iman
Adalah
cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Adapun amal
atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasan hal
ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melekukan dosa besar. “kebanyakan
aliran Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati
saja, atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati,
bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia
adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau
Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat.
Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa, dan
sebagainya, itu bukan bagian dari pada iman.”
b. Dasar keselamatan
Adalah
iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat
mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk mendatangkan
pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati
dalam keadaan akidah tauhid.[15]
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal
tidaklah sepenting iman, Yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa,
hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya
seseorang, perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman
letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain, selanjutnya
perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya.
Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti
mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada
dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman
seseorang. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam,
tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.
Adapun mengenai orang yang lalai
dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka
sebagian dari tokoh-tokoh Murji’ah
berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi
orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada
Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah
”Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja’” yang berarti “menangguhkan”.[16]
c.
I’tiqad murji’ah
1)
Sudah mengetahui dalam hati atas wujudnya tuhan dan
sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka
menjadi otomatis mukmin, walaupun mengucapkan dengan lidah hal-hal yang
mengkafirkan, seperti menghina nabi, menghina al-qur’an dan lain sebagainya.
2)
Golongan
murji’ah
juga mengatakan, bahwa orang mukmin yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya
pada rasul-rasul maka ia adalah mukmin walaupun dia mengerjakan segala macam
dosa besar ataupun dosa kecil. Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa kalau
sudah ada iman dalam hati, sebagai keadaannya perbuatan baik tak ada gunanya
kalau sudah ada kekafiran didalam hati.
3)
Orang yang telah beriman dalam hatinya, tetapi ia
kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi
murji’ah orang ini masih mukmin.
4)
I’tiqad menangguhkan dari kaum murji’ah, yaitu
menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka tuhan sampai hari kiamat, hal
ini ditentang oleh kaum ahlussunnah wal jama’ah karena setiap orang yang salah
harus dihukum didunia ini.
5)
Kalau kita ikuti faham golongan murji’ah ini maka
ayat-ayat hukum seperti menghukum pencuri dengan memotong tangan, menghukum
rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafart dan lain-lain yang banyak
tersebut dalam Qur’an tidak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan
ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
Adapun beberapa pengaruh negative dari aliran murji’ah ini sebagai berikut:
a.
Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal)
tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang
penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan
tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
b.
Aliran Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih
dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang
yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan
seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.
c.
Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar
ma`ruf nahi mungkar.
d.
Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan
banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya
syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi
penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah.
e.
Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang
rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah
dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di
tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan
perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan
amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau
hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik.
Adapun pengaruh positif aliran
ini salah satunya yaitu golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah sw.
Demikian pengaruh-pengaruh aliran Murji`ah.
Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Syi’ah muncul sebagai
nama kelompok ummat Islam ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Khalifah
Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Para pendukung Ali di sebut Syi’ah Ali dan Pendukung
Mu’awiyah di sebut Syi’ah Mu’awiyah. Perkembangan syi’ah selanjutnya yang pada
akhirnya menjadi sebuah aliran Teologi besar tidak lepas dari peran seorang
tokoh pendeta Yahudi yang pura-pura masuk Islam bernama Abdullah bin Saba’.
Dialah sebenarnya sutradara dibalik berkobarnya fitnah terhadap Khalifah Utsman
bin Affan hingga beliau dibunuh, dan selanjutnya Khalifah Ali ra dan
pengikutnya menjadi sasaran rekayasanya. Dialah orang pertama yang mengisukan
bahwa yang berhak menjadi Khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah Ali bin Abu Thalib. Dia jugalah yang paling pertama menyebarkan
isu kebencian terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin affan dan para
Sahabat-sahabat lainnya secara terang-terangan serta mengkafirkan mereka.
2.
Khawarij merupakan golongan yang keluar dari barisan
khalifah Ali bin abi thalib karena tidak setuju dengan tahkim/arbitrase pada
perang siffin. Secara harfiah khawarij berarti "mereka yang
keluar" atau umumnya khawarij yaitu keluar. Pertama sekali airan
khawarij muncul pada pertengahan abad ke 7 terpusat di daerah yang kini ada di
irak selatan.
3.
Murjiah diambil dari kata Irja’, yang memiliki dua
pengertian. Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan.
Pengertian pertama merujuk pada surat Al-A’raf ayat 111: “arjih wa-akhohu”,
tahanlah dia dan saudaraya-menunjukan bahwa perbuatan bersifat sekunder
dibandingkan dengan niat. Demikian pula dalam pengertian yang kedua untuk
menunjukan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana
ketaatan atas suatu keyakinan lain tidak berguna.
B. Kritik
dan saran
Demikianlah makalah ini kami susun, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan disana-sini, oleh sebab itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Daftar
Pustaka
Barsihannor, MZ,
Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2013.
Dhahir, Ihsan
Ilahi, Virus
Syi’ah: sejarah Alienisme Sekte terj. Fadhli Bahri, Cet.1:
Jakarta, Darul-Falah, 2002.
Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Libanon, Beirut: Dar
al-Fikr, tt.
Madzkur, Ibrahim
Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Mesir
Dar Al-Ma’arif, 1947.
Najjar, Amir, Afif Muhammad
dkk., Al-Khawarij:
Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj, Cet I.
Bandung: Lentera, 1993.
Nasir, A. Sahilun,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Nasution,
Harun,
Theology Islam, cet.II; Jakarta: UI Press,
1972.
Rozak, Abdul
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
Shiddieqy, T.M.
Ash., Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, Cet. VI;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology:An
Extended Survey, Eidenburgh: At
Univ Press, 1987.
[1]Barsihannor
, MZ., Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 43-44.
[2]T.M.
Ash. Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Cet. VI;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 139.
[3]Moh.
Dawam Anwar, Irfan Zidny, dkk.,
Mengapa Kita Menolak Syi’ah, h. 3-4.
[4]Sebahagian
sejarawan dan orang-orang syi’ah menolak anggapan bahwa abdullah bin Saba’
adalah pendiri kelompok Syi’ah, mereka menganggap bahwa ia adalah toko fiktif
yang pernah dibuat para musuh Syi’ah untuk mengeluarkan Syiah dari kelompok
islam. Lihat Barsihannor MZ. Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, h.
49.
[5]Moh.
Dawam Anwar, Irfan Zidny, dkk.,
Mengapa Kita Menolak Syi’ah, h. 4.
[6] Ihsan
Ilahi Dhahir. Virus Syi’ah: sejarah Alienisme Sekte terj. Fadhli Bahri (Cet.1:
Jakarta, Darul-Falah, 2002) h.29-30.
[7]Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal (Libanon,
Beirut: Dar al-Fikr,
tt), h. 114.
[8]Harun
Nasution, Theology Islam (Cet.II; Jakarta: UI Press,
1972), h. 11.
[9]Amir-Najjar, Afif
Muhammad dkk., Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa
falsafatan terj
(Cet I. Bandung: Lentera,
1993), h. 5.
[10]Ibrahim
Madzkur, Fi Al-falsafah
Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II (Mesir Dar Al-Ma’arif, 1947),
h. 109.
[11]A. Sahilun
Nasir, Pemikiran Kalam(Teologi Islam) (Jakarta: Rajawali pers, 2010), h. 162.
[12]W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology:An Extended Survey (Eidenburgh: At
Univ Press, 1987), h. 23.
[13]Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 56.
[14]A. Sahilun
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam), h. 152.
[15]Abdul
rozak dan Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pastaka
setia, 2001), t.h.
[16]A. Sahilun
Nasir, Pemikiran Kalam(Teologi Islam), h. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar