Rabu, 12 Oktober 2016

SYIAH, AL-KHAWARIJ DAN AL-MURJIAH (Sejarah Timbul, Pokok Ajarannya dan Pengaruhnya di Dunia)





SYIAH, AL-KHAWARIJ DAN AL-MURJIAH
(Sejarah Timbul, Pokok Ajarannya
dan Pengaruhnya di Dunia)
MAKALAH
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Semester Satu (1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok I (Satu)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM: 80100216002

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Mustari, M.Pd
Dr. Hj.Nurnaningsih, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para Rasul, para Malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran Nabi-nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, diantaranya: Syiah, Khawarij, dan al-Murjiah. Dalam hal ini nantinya akan  membahas bagaimana sejarah lahirnya aliran tersebut serta pokok ajaran dan pengaruhnya di dunia.
B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah:
1.        Bagaimana sejarah lahirnya syiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
2.        Bagaimana sejarah lahirnya Khawarij, pokok ajaran dan pengaruhnya?
3.        Bagaimana sejarah lahirnya al-Murjiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Sejarah Lahirnya Syiah, Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
1.        Pengertian Syi’ah dan Sejarah lahirnya
Syi’ah secara etimologi (kebahasaan) berasal dari kata dasar Syaya’a yang berarti mendukung, membela, dan menolong. Kata syi’ah berarti para pendukung dan pembela. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan kata syi’ah (شِيْعَة ) dengan arti penolong, pengikut dan pendukung, diantaranya adalah di dalam QS. Al Qasas : 215, al-Saffat : 83, al-Qomar : 51. Ibnu manzur menyebutkan bahwa syi’ah adalah suatu kaum yang bersepakat terhadap sesuatu.[1] 
Syi’ah berarti pengikut (pendukung faham). Dipakai kalimat ini untuk satu orang, dua orang, atau banyak orang, baik lelaki ataupun perempuan. Kemudian perkataan ini dipakai secara khusus buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganya untuk menjadi khalifah dan berpendapat bahwa Ali dan keluarganyalah yang berhak menjadi Khalifah.[2]
Pada zaman Abu Bakar, Umar dan utsman kata syi’ah dalam arti nama kelompok orang islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan Khalifah ke-tiga ada yang mendukung Ali, tetapi setelah ummat islam memutuskan memilih Utsman bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali akhirnya berbaiat kepada Utsman termasuk Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat islam bernama “ Syi’ah “. Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, barulah kata “Syi’ah” muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang di sebut syi’ah, tetapi pendukung Mu’awiyah pun disebut syi’ah. Jadi ada syi’ah Ali dan ada syi’ah Mu’awiyah. Hal itu tercantum dalam naskah perjanjian melaksanakan Tahkim, di mana di situ di terangkan: bahwa apabila orang yang ditentukan dalam pelaksanaan Tahkim itu berhalangan, maka diisi dengan orang dari syi’ah masing-masing. Tetapi syi’ah pada waktu itu, baik syi’ah Ali maupun syi’ah Mu’awiya  hanya berarti pendukung dan pembela, adapun aqidah dan pahamnya, kedua belah pihak sama, karena bersumberkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sehingga Ali pun memberikan penjelasan kepada pengikutnya tentang peperangannya dengan Mu’awiyah, bahwa peperangan itu semata-mata berdasarkan ijtihad. Kita (Ali dan pengikutnya) berkeyakinan bahwa kitalah yang benar/haq dan mu’awiyah salah, karena memberontak pemerintahan yang sah. Sebaliknya Mu’awiyah pun berkeyakinan bahwa dialah yang benar, dan kita salah (karena tuntutannya untuk menghukum pembunuh Utsman belum bisa dilaksankan). Maka karena itu ‘Ali mensholati jenazah korban perang dari kedua belah pihak. Selanjutnya syi’ah mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka meninggal dunia. Dan semakin jauh perpecahan mereka, semakin banyak pula ajaran dan faham baru, di mana tidak jarang ajaran syi’ah dalam suatu periode bertentangan dengan ajaran mereka pada periode sebelumya. Karena setiap imam memberikan ajaran, dimana perkataan Imam bagi syi’ah adalah Hadits, sama dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada yang beranggapan perkataan imam adalah sama dengan perkataan Allah, maka perpecahan syi’ah dari masa ke masa semakin banyak sehingga menurut Al-Muqrizy bahwa jumlah firqah Syi’ah mencapai 300 firqah.[3]
Perkembangan syi’ah dari yang awalnya sebatas pada ranah politik perbedaan antara pendukung Ali dan Mu’awiyah kemudian berkembang menjadi aliran Teologi, hal itu tidak terlepas dari peran seorang tokoh keturunan Yahudi yang bernama abdullah bin Saba’.[4]
Abdullah bin Saba’ adalah cerminan dendam sejarah dari pihak Yahudi terhadap Islam dan kaum muslimin, seperti halnya Abu Lu’lu’ Al Majusi sebagai cerminan dendam sejarah dari pihak Majusi Persia terhadap Islam dan Kaum Muslimin. Masalah khilafah, cinta dan setia kepada Ahlul Bait itu hanya sebagai alat dan kedok saja. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari yaman yang pura-pura masuk Islam pada akhir masa Khilafah Utsman bin affan ra. Dialah orang pertama yang mengisukan bahwa yang berhak menjadi Khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali.[5]
Dia (Abdullah bin Saba’) juga yang paling pertama menyebarkan isu kebencian terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin affan dan para Sahabat-sahabat lainnya secara terang-terangan serta mengkafirkan mereka, sebagaimana yang di kutip di dalam buku-buku referensi utama kelompok syi’ah.
Salah seorang ahli sejarah syi’ah, Al-Kisyi dalam bukunya Rijal Al Kisyi berkata, “Beberapa ulama menyebutkan bahwa tadinya Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi, lalu masuk islam dan berpihak kepada Ali bin Abu Thalib. Ketika masih menjadi Yahudi, ia berkata berlebih lebihan tentang Yusya’ bin Nun, penerima wasiat Musa. Ketika masuk Islam setelah wafatnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata tentang Ali bin Abu Thalib juga seperti itu. Ia orang yang pertama kali menyatakan kewajiban imamah Ali bin Abu Thalib. Selain itu, ia menyatakan lepas tangan terhadap musuh-musuh Ali bin Abu Thalib dan para penentangnya, serta mengkafirkan mereka. Dari sini, orang yang anti Syi’ah berkata bahwa orang-orang syi’ah dan Ar-Rafidhah itu di adopsi dari Yahudi.”[6]
2.        Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah dan Pengaruhnya
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at-tauhid, al-‘adl, an-nubuwah, al-imamah dan al-ma’ad.
a.        Al-Tauhid
kaum syiah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu Ada, Maha Esa, Tunggal, Tempat bergantung segala makhluk, Tidak beranak dan tidak diperanakan dan tidak seorangpun yang menyamainya.
b.        Al-Adl
Aliran syiah berkeyakinan Allah maha adil, Allah tidak melakukan perbuatan zalim/buruk.
c.        Al-Nubuwwah
Kepercayaan syiah terhadap para Nabi-Nabi tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim lainnya. yaitu Nabi diutus untuk membimbing manusia.
d.        Al-Imamah
Menurut syiah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan Agama dan dunia sekaligus, ia pengganti Rasul dalam memelihara syariat, melaksanakan hudud dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
e.         Al-Ma’ad
Ma'ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum syiah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
Dalam perkembangan kaum syiah berawal dari gejolak perpolitikan yang dimana menimbulkan perbedaan pandangan politik di antara para Sahabat, berupa percikan-percikan belaka. Bahkan para sahabat tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun menyerang sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.
Di kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk sikap politik kelompok Syi’ah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.
Kelompok Syi’ah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syi’ah 12). Ada pula kelompok Syi’ah Imamiyah (Syi’ah 6), Syi’ah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syi’ah menyakini sepenuhnya bahwa hak Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syi’ah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syi’ah lainnya.
 B. Sejarah Lahirnya Khawarij, Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
1. Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.[7] Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[8]
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.[9]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[10]
2.        Pokok-Pokok Ajaran Khawarij dan Pengaruhnya
Pokok-pokok ajaran khawarij adalah sebagai berkut:
a.        Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.        Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.        Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d.        Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.        Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.         Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g.        Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.        Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.         Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.         Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.        Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
l.         Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.      Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n.        Quran adalah makhluk.
o.        Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
C.       Sejarah Lahirnya Al-Murjiah, Pokok Ajaran Dan Pengaruhnya
1.        Sejarah Lahirnya Al-Murjiah
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah.[11] Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.[12]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.
Adapun secara istilah, murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang.[13]
Tokoh utama aliran Murji'ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat As-Samman, dan Tsauban Dliror bin 'Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.[14]
2.        Pokok Ajaran dan Pengaruhnya

a.        Iman 

Adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasan hal ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melekukan dosa besar. “kebanyakan aliran Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja, atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa, dan sebagainya, itu bukan bagian dari pada iman.”

b.        Dasar keselamatan 

Adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk mendatangkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[15] Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, Yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain, selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh Murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah ”Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja’” yang berarti “menangguhkan”.[16]
c.        I’tiqad murji’ah
1)       Sudah mengetahui dalam hati atas wujudnya tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka menjadi otomatis mukmin, walaupun mengucapkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina nabi, menghina al-qur’an dan lain sebagainya.
2)       Golongan murji’ah juga mengatakan, bahwa orang mukmin yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada rasul-rasul maka ia adalah mukmin walaupun dia mengerjakan segala macam dosa besar ataupun dosa kecil. Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa kalau sudah ada iman dalam hati, sebagai keadaannya perbuatan baik tak ada gunanya kalau sudah ada kekafiran didalam hati.
3)       Orang yang telah beriman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi murji’ah orang ini masih mukmin.
4)       I’tiqad menangguhkan dari kaum murji’ah, yaitu menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka tuhan sampai hari kiamat, hal ini ditentang oleh kaum ahlussunnah wal jama’ah karena setiap orang yang salah harus dihukum didunia ini.
5)       Kalau kita ikuti faham golongan murji’ah ini maka ayat-ayat hukum seperti menghukum pencuri dengan memotong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafart dan lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tidak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
Adapun beberapa pengaruh negative dari aliran murji’ah ini sebagai berikut:
a.        Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
b.        Aliran Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.
c.        Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar.
d.        Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah. 
e.        Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik.
                Adapun pengaruh positif aliran ini salah satunya yaitu golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah sw.
Demikian pengaruh-pengaruh aliran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.        Syi’ah muncul sebagai nama kelompok ummat Islam ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Para pendukung  Ali di sebut Syi’ah Ali dan Pendukung Mu’awiyah di sebut Syi’ah Mu’awiyah. Perkembangan syi’ah selanjutnya yang pada akhirnya menjadi sebuah aliran Teologi besar tidak lepas dari peran seorang tokoh pendeta Yahudi yang pura-pura masuk Islam bernama Abdullah bin Saba’. Dialah sebenarnya sutradara dibalik berkobarnya fitnah terhadap Khalifah Utsman bin Affan hingga beliau dibunuh, dan selanjutnya Khalifah Ali ra dan pengikutnya menjadi sasaran rekayasanya. Dialah orang pertama yang mengisukan bahwa yang berhak menjadi Khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali bin Abu Thalib. Dia jugalah yang paling pertama menyebarkan isu kebencian terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin affan dan para Sahabat-sahabat lainnya secara terang-terangan serta mengkafirkan mereka.
2.        Khawarij merupakan golongan yang keluar dari barisan khalifah Ali bin abi thalib karena tidak setuju dengan tahkim/arbitrase pada perang siffin. Secara harfiah khawarij berarti "mereka yang keluar" atau umumnya khawarij yaitu keluar. Pertama sekali airan khawarij muncul pada pertengahan abad ke 7 terpusat di daerah yang kini ada di irak selatan.
3.        Murjiah diambil dari kata Irja’, yang memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan. Pengertian pertama merujuk pada surat Al-A’raf ayat 111: “arjih wa-akhohu”, tahanlah dia dan saudaraya-menunjukan bahwa perbuatan bersifat sekunder dibandingkan dengan niat. Demikian pula dalam pengertian yang kedua untuk menunjukan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana ketaatan atas suatu keyakinan lain tidak berguna.

B.       Kritik dan saran
Demikianlah  makalah ini kami susun, penulis  menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan disana-sini, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
  
Daftar Pustaka
Barsihannor, MZ, Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2013.
Dhahir, Ihsan Ilahi, Virus Syi’ah: sejarah Alienisme Sekte terj. Fadhli Bahri, Cet.1: Jakarta, Darul-Falah, 2002.
Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Libanon, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Madzkur, Ibrahim Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Mesir Dar Al-Ma’arif, 1947.
Najjar, Amir,  Afif Muhammad dkk.,  Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj, Cet I. Bandung: Lentera, 1993.
Nasir,  A. Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Rajawali Pers, 2010. 
Nasution, Harun, Theology Islam, cet.II; Jakarta: UI Press, 1972.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Shiddieqy, T.M. Ash., Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology:An Extended Survey, Eidenburgh: At Univ Press, 1987.



[1]Barsihannor , MZ., Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2013),  h. 43-44.
[2]T.M. Ash. Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 139.
[3]Moh. Dawam Anwar, Irfan Zidny, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, h. 3-4.
[4]Sebahagian sejarawan dan orang-orang syi’ah menolak anggapan bahwa abdullah bin Saba’ adalah pendiri kelompok Syi’ah, mereka menganggap bahwa ia adalah toko fiktif yang pernah dibuat para musuh Syi’ah untuk mengeluarkan Syiah dari kelompok islam. Lihat Barsihannor MZ. Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, h. 49.
[5]Moh. Dawam Anwar, Irfan Zidny, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, h. 4.
[6] Ihsan Ilahi Dhahir. Virus Syi’ah: sejarah Alienisme Sekte terj. Fadhli Bahri (Cet.1: Jakarta, Darul-Falah, 2002) h.29-30.
[7]Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal  (Libanon, Beirut: Dar al-Fikr, tt),  h. 114.
[8]Harun Nasution, Theology Islam (Cet.II; Jakarta: UI Press,  1972), h. 11.
[9]Amir-Najjar, Afif Muhammad dkk.,  Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj (Cet I. Bandung: Lentera, 1993), h. 5.
[10]Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II (Mesir Dar Al-Ma’arif, 1947), h. 109.
[11]A. Sahilun Nasir,  Pemikiran Kalam(Teologi Islam) (Jakarta: Rajawali pers, 2010), h. 162. 
[12]W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology:An Extended Survey (Eidenburgh: At Univ Press, 1987), h. 23.
[13]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 56.
[14]A. Sahilun Nasir,  Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 152.
[15]Abdul rozak dan Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pastaka setia, 2001), t.h. 
[16]A. Sahilun Nasir,  Pemikiran Kalam(Teologi Islam), h. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar