Minggu, 23 Oktober 2016

JABARIYAH DAN QODARIYAH



JABARIYAH DAN qODARIYAH
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Mengamati perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tak satupun agama yang lahir di muka bumi ini tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral agama tersebut (Nabi). Perbedaan adalah bakat alami yang ada pada manusia, oleh karena itu sangat mustahil rasanya antara satu orang dengan yang lainnya selalu serasi. Kenyataan diatas juga bisa kita lihat dari makhluk-makhluk Allah, tidakkah kita diciptakan berbeda-beda? dari suku bangsa sampai jenis kulit, dari bahasa sampai watak atau tabiat masing-masing suku.
Bahkan watak serta pola pikir setiap manusia belum tentu serasi meskipun mereka hidup dalam kondisi sosial yang sama. Kenyataan-kenyataan diatas sangat pantas dijadikan alasan adanya perbedaan yang nantinya menimbulkan perpecahan yang membagi agama kepada beberapa kelompok. Ditambah lagi kepentingan-kepentingan individu maupun golongan yang ingin selalu benar dan berada diatas. Manusia tidak hanya diberi akal sebagai pembeda yang benar dan yang salah, tapi juga diberi hawa nafsu yang selalu menggoda akal untuk mencari jalan guna memenuhi kebutuhan nafsu itu.
Perpecahan terjadi dalam tubuh umat Islam semenjak kewafatan nabi Muhammad saw. Qadhiyah  Imamiyah (masalah kepemimpinan) adalah faktor utama perselisihan itu, dimana para sahabat berbeda pandangan tentang sosok yang paling berhak menjadi imam atau khalifah pengganti Rasul. Sebagian berpendapat bahwa bangsa Quraisy paling berhak, sahabat Anshor melihat mereka juga berhak menggantikan Rasul menjadi khalifah. Lambat laun seiring perkembangan zaman dan pergantian generasi, perbedaan yang sebatas qadhiyah imamiyah (masalah kepemimpinan) itu berkembang menjadi perselisihan yang menyangkut masalah aqidah yang sangat urgen bagi umat Islam.
Tak jarang satu golongan mengkafirkan golongan lainnya karena secuil perbedaan, masing-masing beranggapan kebenaran hanya dipihak mereka. Sebagai orang islam yang beriman sudah seharusnya kita menjaga sikap, menata omongan dan membersihkan hati dari kedengkian agar setiap gerak-gerik yang keluar dari pribadi kita tidak menjadi duri bagi manusia lain umumnya dan sesama muslim khususnya, apalagi sampai menyesatkan orang lain, padahal belum kita teliti secara mendalam, hanya ikut-ikutan. Sabda nabi:“orang Islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama islam”.(H.R.Imam Muslim.)
B.       Rumusan Masalah
Pembahasan makalah ini akan dirumuskan sebagai berikut
1.      Apa pengertian Jabariyah dan Qadariyah ?
2.      Bagaimanakah latar belakang munculnya Jabariyah dan Qadariyah ?
3.      Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    JABARIYAH
1.      Pengertian Jabariyah
Menurut bahasa arab, nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya sebagaimana dituliskan Warson  bahwa Jabariyah adalah aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia.[1] Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism atau predestination. Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham jabariyah adalah paham yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia berbuat secara terpaksa. Allah pencipta tindakannya, manusia tak ubahnya dengan benda-benda lain, misalnya pohon berbuah; yang menciptakan buah adalah Allah bukan pohon itu.[2].
Dalam catatan sejarah, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham  Jabariyah dikalangan umat Islam adalah Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini kemudian disebarluaskan dengan sungguh-sungguh oleh para pengikutnya, terutama oleh Jahm Ibn Safwan pada awal abad kedua hijrah.
Oleh karena itu Jabariyah terakhir disebut juga dengan jahamiyah.
Bani umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si fulan dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya.[3] Kemudian nantinya paham Jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr.[4]
2.      Latar Belakang Munculnya Jabariyah serta pemikirannya
Faham  Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai kemunculan faham Al-Jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikeilingi oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi  alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Aliran jabariyah mempunyai pendapat yang terkenal mengenai perbuatan manusia, sebagaimana yang dikemukakan prof. Taib Thahir sebagai berikut :“Qudrat dan Iradat itu adalah sebagai alat yang dibekukan dan sudah di cabut kekuasaannya”. Adapun hakekatnya, segala pekerjaan dan usaha yang kita lakukan, dan semua gerak gerik yang lahir kita lihat sehari-hari ini merupakan paksaan dari Allah SWT semata-mata, sedangkan manusia itu tidak campur tangan sedikitpun jua. Bahkan kebaikan dan kejahatan yang diperbuat oleh manusia, adalah semata-mata paksaan tuhan belaka. Yang kemudian Allah membalasnya kelak dengan kenikmatan atau siksaan.[5]
Mengenai perbuatan manusia, maka aliran Jabariyah terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat dibawa oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr sedangkan Jabariyah ekstrin dibawa oleh Jaham bin safwan. Golongan jabariyah ekstrim memandang bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, misalnya kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencuri bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar tuhan yang menghendaki demikian. Dengan itu mereka berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidak mampu berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan) tidaklah seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang, tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh tuhan.
Selanjutnya aliran Jabariyah berpendapat bahwa pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya. Tetapi surga dan neraka itu semata-mata bukti kebesaran Allah dalam Qudrat dan Iradatnya. Sehingga dalam segi-segi tertentu, Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat diakhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain.
Mengenai perbuatan manusia, jaham mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk bertindak dalam mengerjakan sesuatu. Allah-lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang apa yang dikerjakannya, baik yang dikehendaki manusia itu ataupun tidak. Jadi Allah ta’ala-lah yang memperbuat segala pekerjaan manusia. Alasannya mengenai hal ini adalah :
Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu bagi tuhan atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak tuhan. Adanya ayat yang menurut lahirnya bahwa tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu termasuk juga perbuatan manusia, misalnya dalam surat al-Shafat ayat 96:  
Artinya : Dan Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (Rasul-Rasul-Nya). Maka Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.[6]
Dalam surah Az-Zumar ayat 62dikatakan :
ª!$# ß,Î=»yz Èe@à2 &äóÓx« ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ×@Ï.ur ÇÏËÈ    
Artinya : Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.[7]
Mengenai sifat Allah, ia mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat, karena Allah hanyalah mempunyai Dzat saja. Walaupun terdapat ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat tuhan seperti sama. Bashar, kalam dan sebagainya semuanya harus ditakwilkan. Mengartikan secara yang lahir saja, tentulah mengakibatkan pengertian serupanya Allah dengan makhluknya. Keadaan demikian, mustahil disisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu wajib ditakwilkan dalam memahaminya.[8]
Terhadap al-Qur’an jabariyah berpendapat bahwa Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat (baharu). terhadap Allah bahwa Allah tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun diakhirat kelak, mengenai surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk kedalamnya, dan sesudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.
Gerakan dan dan golongan ini mendapatkan tantangan yang hebat dari dan ulama-ulama diluar Jahamiah yang menolak dan memberantas aliran tersebut, penolakan ini didasarkan karena aliran jabariyah dapat menjadikan manusia malas dan selalu berputus asa, tidak mau bekerja dan bahkan akan berserah diri kepada qadar saja, keadaan semacam ini pasti akan membawa kemunduran bagi umat Islam.
B.     Qadariyah
1.      Pengertian Qadariyah
Secara etimologi kata Qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa [9]. Dengan kata lain dapat juga diartikan dengan dapat dan mampu. Sedangkan menurut terminologi dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah, manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada tuhan.
Setelah munculnya aliran ini dan berkembang dengan bertambahnya jumlah pengikutnya maka pemerintahan bani Umayyah khawatir akan timbulnya pemberontakan, Keberadaan qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Umayyah sebab dengan paham yang di sebarluaskannya dapat menunjukkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti bani Umayyah yang  negatif akan mendapat reaksi yang keras dari masyarakat, berbeda dengan paham murjiah yang menguntungkan pemerintah.
Aliran Qadariyah selanjutnya menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan umayyah, karena aliran ini banyak menentang kebijakan-kebijakan khalifah yang dianggap semena-mena dan merugikan rakyatnya . Apabila firqah Jabariyah berpendapat bahwa khalifah bani umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan oleh Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman bani umayyah, maka firqah Jabariyah mau membatasi qadar tersebut.[10]
Menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80. Hijriah. Dalam pada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn Abd al-Azis. Setelah khalifah Umar wafat Ia meneruskan kegiatannya yang lama sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Ibn Abd al-Malik pada tahun 105 Hijriah

2.      Latar Belakang Munculnya Qadariyah serta pemikirannya.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailān al-Dimasyqi. Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahmān Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H. Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wāshil bin ‘Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah. [11]
Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (irādah). Dia yang melekukan, dia pula yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mu’tazilah.
Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailān al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz (717-720 M). Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin ‘Abdul malik (724-743 M/105-125 H). Ghailān mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham Khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.
Kebanyakan ahli mengatakan bahwa aliran qadariyah  muncul pada akhir abad pertama Hijrah. Tokoh yang mempelopori aliran ini bernama Ma’bad al-Juhani al-Bishri, di tanah Iraq.[12] yang kemudian di ikuti oleh Ghailan al-Dimasyqi. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana yang dikutip Ahmad Amin bahwa paham qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal Iraq yang bernama Abu Yunus Sansawaih seorang penganut agama kristen dan masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari tokoh inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi menerima paham Qadariyah ini.
Adapun pendapatnya yang khas sehingga karena itu golongan ini di sebut Qadariyah adalah pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan berkuasa penuh dalam menentukan amal yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan tuhan tidak ada campur tangan dalam hal tersebut.[13] Qadariyah menyatakan bahwa manusia tidak dipaksa dan bebas melakukan perbuatannya sendiri, tidak ada kekuatan terhadap segala perbuatannya kecuali atas kehendak manusia itu sendiri, berkata-kata, berjalan dan tidur atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Adapun alasan mereka mengenai hal tersebut adalah :
§  Kalau perbuatan itu diciptakan tuhan, sebagaimana dikatakan aliran jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah) dan hukum pada manusia.
§  Pahala dan siksa akan ada artinya apabila perbuatan manusia itu adalah perbuatannya sendiri.
§  Adanya ayat-ayat al-Qur’an tentang tanggung jawab manusia dan akibat perbuatan yang dilakukannya. 
Paham tersebut diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan paham keadilan ilahi artinya bahwa Allah akan disebut adil apabila ia memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan yaitu berupa pahala begitu juga dengan orang yang melakukan keburukan, maka konsekwensinya berupa dosa dan akhirnya seseorang akan masuk ke surga atau ke neraka atas tanggung jawabnya sendiri tanpa adanya campur tangan tuhan. Dengan demikian manusia bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya masing-masing. Inilah yang disebut kedilan tuhan menurutnya. Selanjutnya paham ini masuk kedalam paham Muktazilah.
Paham Qadariyah dalam beberapa masalah, misalnya mengenai sifat-sifat Allah, mereka menafikan adanya sifat-sifat Allah, khususnya dalam sifat ma’ani. Ghailan mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat, melainkan identik dengan dzat Allah. Al-Qur’an menurutnya adalah qadim, tidak baharu seperti yang dikatakan oleh Jahm bin Safwan, iman adalah pengakuan dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan bukan bagian dari iman, dan tentang politik Ghailan mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan ajaran al-Qur’an dan sunnah nabi dan tentunya juga ada konsensus umat atasnya.[14]
Tentang perbuatan manusia dan kemampuan manusia dalam menentukan perbuatannya menurut versi Qadariyah diatas dapat dilihat bahwa Qadariyah telah menggunakan interpretasinya untuk menunjukkan keadilan tuhan itu dapat disamakan dengan keadilan menurut akal (rasional) artinya keadilan tuhan bisa dinilai dengan keadilan menurut akal manusia. Pandangan inilah akhirnya masuk kedalam paham muktazilah sehingga terdapat persamaan-persamaan paham antara satu firqah dengan firqah lainnya, hingga nanti dapat ditemukan tokoh kalam yang pada suatu pandangan ia masuk kedalam suatu firqah, namun pada pandangan lainnya ia sudah masuk kedalam firqah yang lain.
Didalam Al-Qur'an dapat dilihat beberapa ayat yang menjadi landasan aliran Qadariyah dalam mempertahankan pendapatnya, seperti

øŒÎ) Nä.râä!$y_ `ÏiB öNä3Ï%öqsù ô`ÏBur Ÿ@xÿór& öNä3ZÏB øŒÎ)ur ÏMxî#y ㍻|Áö/F{$# ÏMtón=t/ur ÛUqè=à)ø9$# tÅ_$oYysø9$# tbqZÝàs?ur «!$$Î/ O$tRqãZà9$# ÇÊÉÈ  
Terjemahnya:  (yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (QS. As-Sajadah : 40)
            Selanjutnya pada surah Ali-Imran ayat 164:
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) y]yèt/ öNÍkŽÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÅe2tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ  
Artinya : sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.   Jabariyah
Menurut bahasa arab, nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya sebagaimana dituliskan Warson  bahwaJabariyah adalah aliran yang berfaham  tidak adanya ikhtiar bagi manusia. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism atau predestination. Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham  jabariyah adalah paham yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia berbuat secara terpaksa. Faham  Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai kemunculan faham Al-Jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.

2.      Qadariyah
Secara etimologi kata Qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa. Dengan kata lain dapat juga diartikan dengan dapat dan mampu. Sedangkan menurut terminologi dalam  teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah, manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada tuhan.
Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham Khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.






Daftar Pustaka
Abd Muin , Thaib Thahir, Ilmu Kalam, Cet. VIII; Jakarta: wijaya 1986.
Al-Quran Al-Karim.
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Daudi, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.

Nasir , Sahilun A, Pengantar Ilmu kalam, Cet. III; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,  1996.
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam; Filsafat dan Tasawuf, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Rahman, Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Warson, Ahmad, Al-Munawwir, Cet. II; Ygyakarta: Pustaka Progresif, 1984.



[1]Ahmad Warson, Al-Munawwir, (Cet. II; Ygyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 177.
[2]Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 86.
[3]Lihat : Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), h. 127.
[4]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 42.
[5]Thaib Thahir Abd Muin, Ilmu Kalam, (Cet. VIII; Jakarta: wijaya 1986), h. 240.
[6] Al-Qur’an Al-Karim, QS. As-shafat
[7] Al-Qur’an Al-Karim, QS. Az-Zumar
[8]Lihat: Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), h. 154-155

[9]Ahmad Warson., Al-Munawwir, (Cet. II; Ygyakarta: Pustaka Progresif, 1984)h. 1177.
[10] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam Theologi Islam, (Jakarta : Rajagrafindo Persada 2010) h. 129.
[11]http://islamadalahrahmah.blogspot.com
[12]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 110.
[13]Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 27.
[14]Ahmad Daudi,. Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),  h. 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar