JABARIYAH DAN qODARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengamati
perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tak satupun agama yang lahir di muka
bumi ini tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para
pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral agama tersebut (Nabi). Perbedaan
adalah bakat alami yang ada pada manusia, oleh karena itu sangat mustahil
rasanya antara satu orang dengan yang lainnya selalu serasi. Kenyataan diatas juga
bisa kita lihat dari makhluk-makhluk Allah, tidakkah kita diciptakan
berbeda-beda? dari suku bangsa sampai jenis kulit, dari bahasa sampai watak
atau tabiat masing-masing suku.
Bahkan
watak serta pola pikir setiap manusia belum tentu serasi meskipun mereka hidup
dalam kondisi sosial yang sama. Kenyataan-kenyataan diatas sangat pantas
dijadikan alasan adanya perbedaan yang nantinya menimbulkan perpecahan yang
membagi agama kepada beberapa kelompok. Ditambah lagi kepentingan-kepentingan
individu maupun golongan yang ingin selalu benar dan berada diatas. Manusia
tidak hanya diberi akal sebagai pembeda yang benar dan yang salah, tapi juga
diberi hawa nafsu yang selalu menggoda akal untuk mencari jalan guna memenuhi
kebutuhan nafsu itu.
Perpecahan
terjadi dalam tubuh umat Islam semenjak kewafatan nabi Muhammad saw. Qadhiyah Imamiyah (masalah kepemimpinan) adalah faktor
utama perselisihan itu, dimana para sahabat berbeda pandangan tentang sosok
yang paling berhak menjadi imam atau khalifah pengganti Rasul. Sebagian
berpendapat bahwa bangsa Quraisy paling berhak, sahabat Anshor
melihat mereka juga berhak menggantikan Rasul menjadi khalifah. Lambat
laun seiring perkembangan zaman dan pergantian generasi, perbedaan yang sebatas
qadhiyah imamiyah (masalah kepemimpinan) itu berkembang menjadi perselisihan
yang menyangkut masalah aqidah yang sangat urgen bagi umat Islam.
Tak jarang satu golongan mengkafirkan golongan lainnya karena
secuil perbedaan, masing-masing beranggapan kebenaran hanya dipihak mereka.
Sebagai orang islam yang beriman sudah seharusnya kita menjaga sikap, menata
omongan dan membersihkan hati dari kedengkian agar setiap gerak-gerik yang
keluar dari pribadi kita tidak menjadi duri bagi manusia lain umumnya dan
sesama muslim khususnya, apalagi sampai menyesatkan orang lain, padahal belum
kita teliti secara mendalam, hanya ikut-ikutan. Sabda nabi:“orang Islam
adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya
sesama islam”.(H.R.Imam Muslim.)
B.
Rumusan
Masalah
Pembahasan
makalah ini akan dirumuskan sebagai berikut
1.
Apa pengertian Jabariyah
dan Qadariyah ?
2.
Bagaimanakah latar
belakang munculnya Jabariyah dan Qadariyah ?
3.
Pemikiran
Jabariyah dan Qadariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
JABARIYAH
Menurut bahasa arab, nama jabariyah
berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya
sebagaimana dituliskan Warson bahwa Jabariyah
adalah aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia.[1] Sedangkan
menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT.
Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism atau predestination.
Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham jabariyah adalah paham
yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu,
ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia berbuat secara
terpaksa. Allah pencipta tindakannya, manusia tak ubahnya dengan benda-benda
lain, misalnya pohon berbuah; yang menciptakan buah adalah Allah bukan pohon
itu.[2].
Dalam
catatan sejarah, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah dikalangan umat Islam adalah
Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini kemudian disebarluaskan dengan
sungguh-sungguh oleh para pengikutnya, terutama oleh Jahm Ibn Safwan pada awal
abad kedua hijrah.
Oleh
karena itu Jabariyah terakhir disebut juga dengan jahamiyah.
Bani umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si fulan dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya.[3] Kemudian nantinya paham Jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr.[4]
Bani umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si fulan dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya.[3] Kemudian nantinya paham Jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr.[4]
2.
Latar Belakang Munculnya Jabariyah serta pemikirannya
Faham Al-Jabar pertama kali diperkenalkan
oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan.
Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh
lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai
kemunculan faham Al-Jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya
melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah
Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikeilingi oleh
gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.
Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi alam.
Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Aliran
jabariyah mempunyai pendapat yang terkenal mengenai perbuatan manusia,
sebagaimana yang dikemukakan prof. Taib Thahir sebagai berikut :“Qudrat dan
Iradat itu adalah sebagai alat yang dibekukan dan sudah di cabut kekuasaannya”.
Adapun hakekatnya, segala pekerjaan dan usaha yang kita lakukan, dan semua gerak
gerik yang lahir kita lihat sehari-hari ini merupakan paksaan dari Allah SWT
semata-mata, sedangkan manusia itu tidak campur tangan sedikitpun jua. Bahkan
kebaikan dan kejahatan yang diperbuat oleh manusia, adalah semata-mata paksaan
tuhan belaka. Yang kemudian Allah membalasnya kelak dengan kenikmatan atau
siksaan.[5]
Mengenai
perbuatan manusia, maka aliran Jabariyah terbagi menjadi dua golongan
yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat dibawa oleh
Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr sedangkan Jabariyah
ekstrin dibawa oleh Jaham bin safwan. Golongan jabariyah ekstrim memandang
bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, misalnya
kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencuri bukanlah atas kehendaknya
sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar tuhan yang menghendaki demikian.
Dengan itu mereka berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidak mampu berbuat
apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan
tidak mempunyai pilihan.
Adapun
Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition).
menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan) tidaklah
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang, tidak pula menjadi pencipta
perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh tuhan.
Selanjutnya
aliran Jabariyah berpendapat bahwa pembalasan surga dan neraka itu bukan
sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan
balasan kejahatan yang dilarangnya. Tetapi surga dan neraka itu semata-mata
bukti kebesaran Allah dalam Qudrat dan Iradatnya. Sehingga dalam
segi-segi tertentu, Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan
pendapat misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah
tidak bisa dilihat diakhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain.
Mengenai
perbuatan manusia, jaham mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan terpaksa,
tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk bertindak dalam
mengerjakan sesuatu. Allah-lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang apa
yang dikerjakannya, baik yang dikehendaki manusia itu ataupun tidak. Jadi Allah
ta’ala-lah yang memperbuat segala pekerjaan manusia. Alasannya mengenai hal ini
adalah :
Kalau
manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu bagi tuhan atau
sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada
kehendak tuhan. Adanya ayat yang menurut lahirnya bahwa tuhanlah yang
menjadikan segala sesuatu termasuk juga perbuatan manusia, misalnya dalam surat
al-Shafat ayat 96:
Artinya : Dan Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah
mendustakan (Rasul-Rasul-Nya). Maka Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.[6]
Dalam surah Az-Zumar ayat 62dikatakan :
ª!$# ß,Î=»yz Èe@à2 &äóÓx« ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ×@Ï.ur ÇÏËÈ
Artinya : Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara
segala sesuatu.[7]
Mengenai
sifat Allah, ia mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat, karena
Allah hanyalah mempunyai Dzat saja. Walaupun terdapat ayat-ayat yang
menyebutkan sifat-sifat tuhan seperti sama. Bashar, kalam dan sebagainya
semuanya harus ditakwilkan. Mengartikan secara yang lahir saja, tentulah mengakibatkan
pengertian serupanya Allah dengan makhluknya. Keadaan demikian, mustahil disisi
Allah Ta’ala. Oleh karena itu wajib ditakwilkan dalam memahaminya.[8]
Terhadap
al-Qur’an jabariyah berpendapat bahwa Qur’an itu adalah makhluk Allah yang
dibuat (baharu). terhadap Allah bahwa Allah tidak mungkin dapat terlihat oleh
manusia, walaupun diakhirat kelak, mengenai surga dan neraka, kelak sesudah
manusia semuanya masuk kedalamnya, dan sesudah merasakan pembalasan bagaimana
nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka
itu.
Gerakan dan dan golongan ini mendapatkan tantangan yang hebat dari
dan ulama-ulama diluar Jahamiah yang menolak dan memberantas aliran
tersebut, penolakan ini didasarkan karena aliran jabariyah dapat
menjadikan manusia malas dan selalu berputus asa, tidak mau bekerja dan bahkan
akan berserah diri kepada qadar saja, keadaan semacam ini pasti akan membawa
kemunduran bagi umat Islam.
B. Qadariyah
1.
Pengertian Qadariyah
Secara
etimologi kata Qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara”
yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa [9].
Dengan kata lain dapat juga diartikan dengan dapat dan mampu. Sedangkan menurut
terminologi dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk
satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah,
manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
kepada qadar atau qada tuhan.
Setelah
munculnya aliran ini dan berkembang dengan bertambahnya jumlah pengikutnya maka
pemerintahan bani Umayyah khawatir akan timbulnya pemberontakan, Keberadaan
qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Umayyah sebab dengan paham yang di
sebarluaskannya dapat menunjukkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan dan
bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti bani Umayyah
yang negatif akan mendapat reaksi yang
keras dari masyarakat, berbeda dengan paham murjiah yang menguntungkan
pemerintah.
Aliran
Qadariyah selanjutnya menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan
umayyah, karena aliran ini banyak menentang kebijakan-kebijakan khalifah yang
dianggap semena-mena dan merugikan rakyatnya . Apabila firqah Jabariyah
berpendapat bahwa khalifah bani umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah
ditakdirkan oleh Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman bani
umayyah, maka firqah Jabariyah mau membatasi qadar tersebut.[10]
Menurut
al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan
politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam
menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad
mati terbunuh pada tahun 80. Hijriah. Dalam pada itu Ghailan sendiri terus
menyiarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan
dari khalifah Umar Ibn Abd al-Azis. Setelah khalifah Umar wafat Ia meneruskan
kegiatannya yang lama sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Ibn Abd
al-Malik pada tahun 105 Hijriah
2.
Latar Belakang
Munculnya Qadariyah serta
pemikirannya.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham
Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut
keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali
dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali
berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di
Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya
Ghailān al-Dimasyqi. Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi.
Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahmān Ibn al-Asy’as,
gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany
akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H. Paham
Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama
dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau
perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu,
dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad
al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah
di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wāshil
bin ‘Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah. [11]
Paham free will dan free act beranggapan bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau
berkehendak (irādah). Dia yang melekukan, dia pula yang bertanggung jawab di
hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti
Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan
pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif,
akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena kehadiran Qadariyah
merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah,
walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini
tertampung dalam madzhab Mu’tazilah.
Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailān
al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di
sana dia mendapat tekanan dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz (717-720 M).
Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya ia
mati dihukum oleh Hisyam bin ‘Abdul malik (724-743 M/105-125 H). Ghailān
mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
Para
ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan
tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun
ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham Khawarij.
Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan
kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya
sendiri, baik atau buruk.
Kebanyakan
ahli mengatakan bahwa aliran qadariyah
muncul pada akhir abad pertama Hijrah. Tokoh yang mempelopori aliran ini
bernama Ma’bad al-Juhani al-Bishri, di tanah Iraq.[12] yang
kemudian di ikuti oleh Ghailan al-Dimasyqi. Sementara itu Ibnu Nabatah
sebagaimana yang dikutip Ahmad Amin bahwa paham qadariyah itu pertama kali
muncul dari seseorang asal Iraq yang bernama Abu Yunus Sansawaih seorang
penganut agama kristen dan masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi.
Dari tokoh inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi menerima paham Qadariyah
ini.
Adapun pendapatnya yang khas
sehingga karena itu golongan ini di sebut Qadariyah adalah pendapatnya
tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia
mempunyai iradah yang bebas dan berkuasa penuh dalam menentukan amal
yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik dan jika buruk, maka
balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri
dan tuhan tidak ada campur tangan dalam hal tersebut.[13] Qadariyah
menyatakan bahwa manusia tidak dipaksa dan bebas melakukan perbuatannya
sendiri, tidak ada kekuatan terhadap segala perbuatannya kecuali atas kehendak
manusia itu sendiri, berkata-kata, berjalan dan tidur atas kemauan dan
kehendaknya sendiri. Adapun alasan mereka mengenai hal tersebut adalah :
§
Kalau perbuatan itu diciptakan
tuhan, sebagaimana dikatakan aliran jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah)
dan hukum pada manusia.
§
Pahala dan siksa akan ada artinya
apabila perbuatan manusia itu adalah perbuatannya sendiri.
§ Adanya ayat-ayat al-Qur’an tentang
tanggung jawab manusia dan akibat perbuatan yang dilakukannya.
Paham
tersebut diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan paham keadilan
ilahi artinya bahwa Allah akan disebut adil apabila ia memberikan balasan
kepada orang yang melakukan kebaikan yaitu berupa pahala begitu juga dengan
orang yang melakukan keburukan, maka konsekwensinya berupa dosa dan akhirnya
seseorang akan masuk ke surga atau ke neraka atas tanggung jawabnya sendiri
tanpa adanya campur tangan tuhan. Dengan demikian manusia bertanggung jawab
penuh terhadap perbuatannya masing-masing. Inilah yang disebut kedilan tuhan
menurutnya. Selanjutnya paham ini masuk kedalam paham Muktazilah.
Paham
Qadariyah dalam beberapa masalah, misalnya mengenai sifat-sifat Allah,
mereka menafikan adanya sifat-sifat Allah, khususnya dalam sifat ma’ani.
Ghailan mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut bukan sesuatu yang berbeda dengan
dzat, melainkan identik dengan dzat Allah. Al-Qur’an menurutnya adalah qadim,
tidak baharu seperti yang dikatakan oleh Jahm bin Safwan, iman adalah pengakuan
dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan bukan bagian dari iman, dan
tentang politik Ghailan mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik
dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan ajaran al-Qur’an dan
sunnah nabi dan tentunya juga ada konsensus umat atasnya.[14]
Tentang
perbuatan manusia dan kemampuan manusia dalam menentukan perbuatannya menurut
versi Qadariyah diatas dapat dilihat bahwa Qadariyah telah
menggunakan interpretasinya untuk menunjukkan keadilan tuhan itu dapat
disamakan dengan keadilan menurut akal (rasional) artinya keadilan tuhan bisa
dinilai dengan keadilan menurut akal manusia. Pandangan inilah akhirnya masuk
kedalam paham muktazilah sehingga terdapat persamaan-persamaan paham antara
satu firqah dengan firqah lainnya, hingga nanti dapat ditemukan tokoh kalam
yang pada suatu pandangan ia masuk kedalam suatu firqah, namun pada pandangan
lainnya ia sudah masuk kedalam firqah yang lain.
Didalam
Al-Qur'an dapat dilihat beberapa ayat yang menjadi landasan aliran Qadariyah
dalam mempertahankan pendapatnya, seperti
øÎ) Nä.râä!$y_ `ÏiB öNä3Ï%öqsù ô`ÏBur @xÿór& öNä3ZÏB øÎ)ur ÏMxî#y ã»|Áö/F{$# ÏMtón=t/ur ÛUqè=à)ø9$# tÅ_$oYysø9$# tbqZÝàs?ur «!$$Î/ O$tRqãZà9$# ÇÊÉÈ
Terjemahnya: (yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari
atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu
naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam purbasangka. (QS. As-Sajadah : 40)
Selanjutnya pada
surah Ali-Imran ayat 164:
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øÎ) y]yèt/ öNÍkÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÅe2tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ
Artinya
: sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Jabariyah
Menurut bahasa arab, nama jabariyah
berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya
sebagaimana dituliskan Warson bahwaJabariyah
adalah aliran yang berfaham tidak adanya
ikhtiar bagi manusia. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan
tersebut kepada Allah SWT. Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism
atau predestination. Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham jabariyah adalah paham yang memandang
bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, ia tidak
mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia berbuat secara
terpaksa. Faham Al-Jabar pertama
kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin
Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin
Dirrar. Mengenai kemunculan faham Al-Jabar ini, para ahli sejarah
pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara
ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa
Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
2. Qadariyah
Secara
etimologi kata Qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara”
yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa. Dengan kata lain dapat juga
diartikan dengan dapat dan mampu. Sedangkan menurut terminologi dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama
yang dipakai untuk satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan
kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah,
manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
kepada qadar atau qada tuhan.
Para
ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan
tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun
ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham Khawarij.
Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan
kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya
sendiri, baik atau buruk.
Daftar Pustaka
Abd Muin , Thaib Thahir, Ilmu
Kalam, Cet. VIII; Jakarta: wijaya 1986.
Al-Quran
Al-Karim.
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Daudi, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Machasin, Menyelami Kebebasan
Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.
Nasir , Sahilun
A, Pengantar Ilmu kalam, Cet. III; Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1996.
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam; Filsafat
dan Tasawuf, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Rahman, Jalaluddin, Konsep
Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Warson, Ahmad, Al-Munawwir,
Cet. II; Ygyakarta: Pustaka Progresif, 1984.
[1]Ahmad Warson, Al-Munawwir,
(Cet. II; Ygyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 177.
[2]Jalaluddin Rahman, Konsep
Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 86.
[3]Lihat : Machasin, Menyelami Kebebasan
Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), h. 127.
[4]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 42.
[5]Thaib Thahir Abd Muin, Ilmu
Kalam, (Cet. VIII; Jakarta: wijaya 1986), h. 240.
[6] Al-Qur’an
Al-Karim, QS. As-shafat
[7] Al-Qur’an
Al-Karim, QS. Az-Zumar
[8]Lihat:
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), h. 154-155
[10] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam Theologi Islam, (Jakarta : Rajagrafindo Persada 2010) h. 129.
[11]http://islamadalahrahmah.blogspot.com
[12]Yusran
Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 110.
[13]Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar