Rabu, 12 Oktober 2016

Hadis dan Sunnah Tinjauan Aksiologi



  HADIS DAN SUNNAH
 (Tinjauan Aksiologi)
MAKALAH
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulumul Hadis
Semester Satu (1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 3 (tiga)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM: 80100216002

Dosen Pemandu:
Prof. Dra. Hj. Aisyah Kara, M.A., Ph.D
Dr. M. Sabir Maidin, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa awal Islam khususnya setelah agama Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada periode setelah hijrah di Madinah (Yastrib), persoalan-persoalan keberagamaan maupun sosial umat senantiasa berpedoman pada petunjuk Al-Quran sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Selin itu, hadis dan sunnah yang merupakan tuntunan dan pedoman yang kedua setelah,  Al-Qur’an.
Keberadaan hadis dan sunnah amat berharga bagi Islam dan umat pemeluknya, karena hadis merupakan sumber ajaran yang berlaku hingga hari kiamat. Kedudukan tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan maupun nubuwwah Muhammad saw yang menjadi pamungkas sejarah kerasulan. Oleh karenanya, untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, khususnya orang yang beriman dituntut memiliki pengalaman yang dalam dan bantuan penjelasan dari Nabi. Sunnah menurut sebahagian ahli hadis sama dengan hadis yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh Nabi saw. melalui perkataan, perbuatan, penetapan atau takrir dan akhlak serta sifat-sifatnya yang terpuji.[1]
Sebagai rujukan utama terhadap berbagai persoalan keumatan, Al-Qur’an yang bersifat universal dan komprehensif diyakini telah mengakomodasi segala hal menyangkut kehidupan makhluk manusia. Oleh karena sifatnya yang sangat umum tersebut, maka rasulullah Muhammad saw. sebagai penerima mandat bertanggungjawab untuk menjelaskan kandungannya agar dapat dipahami oleh para pengikut/penganut agama Islam. Kita ketahui bahwa banyak sekali keterangan-keterangan dalam ayat-ayat Al-Quran, hanya bisa dipahami jika mendapatkan keterangan lanjutan dari nabi Muhammad saw. Disisi lain, ada peristiwa/kejadian yang tidak mendapatkan keterangan dari nash Al-Quran secara implisit sehingga membutuhkan penjelasan atau keterangan tersendiri dari rasulullah saw. sebagai pemilik otoritas tunggal menyampaikan syariat kepada umat manusia.
Oleh karenanya, hadis dan sunnah mempunyai otoritas tersendiri yang wajib ditaati umat Islam seperti halnya Al-Qur'an. Hadis dan sunnah yang merupakan tindakan dan sikap atau kesan Nabi terhadap segala sesuatu. Yang isinya mencakup segala aspek kehidupan, dari yang paling abstrak dan umum sampai yang paling konkret dan khusus.[2]
Dengan cara ini, hadis berkembang secara pesat pada semua kalangan sahabat dan masyarakat tanpa terkecuali sekalipun cara mereka menerima hadis dari rasul ada yang langsung dan ada juga yang menerima hadis dari sahabat yang lain terutama bagi sahabat yang jauh dari Nabi. Dalam perkembangan hidup beragama tidak dapat disangkal bahwa masih ada pendapat perorangan maupun kelompok tertentu yang menolak keabsahan hadis atau sunnah sebagai sumber hukum. “Dalam sejarah dan bahkan sampai saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai orang Islam, tetapi menolak hadis atau sunnah Rasulullah sebagai sumber ajaran Islam. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkarus-sunnah”.[3]
Melihat hal tersebutlah yang merupakan permasalahan sehingga para Ulama dan Cendikiawan muslim melakukan tinjauan hadis dari segi aksiologis untuk menemukan cara menjelaskan hakikat keberadaan hadis atau sunnah. Dalam kaidah ilmu pengetahuan ada tiga komponen yang merupakan tiang penyangga dalam membangun suatu ilmu pengetahuan. Ketiga komponen itu adalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Dalam makalah ini akan membahas hadis dan sunnah dari sudut pandang aksiologis, yakni bagaimana hadis atau sunnah dapat diterima sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Quran yang dapat memberi kemanfaatan dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukakan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana otoritas Nabi Muhammad saw.?
2.      Bagaimana kedudukan dan fungsi hadis?
3.      Apakah yang dimaksud Inkarus al-Sunnah?



BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN AKSIOLOGI HADITS
Kata Aksiologis berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti bermanfaat dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, akseologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[1] Definisi lain mengatakan bahwa aksiologis adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.[2] Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologis adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).[3] Dengan demikian aksiologis adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Adapun kaiatannya dengan hadis dan sunnah tinjauan aksiologis, maka pembahasan ini meliputi otoritas Nabi Muhammad saw, kedudukan dan fungsi hadis, serta inkār al-Sunnah.
A.    Otoritas Nabi Muhammad saw.
Nabi Muahammad saw. mempunyai tugas dan peran yang sangat signifan dalam kehidupan umat manusia. Beliau menjadi Rasul atau utusan Allah swt. Untuk menyampaikan dan menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam Al-Quran kepada umat manusia. Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt untuk segenap umat manusia. Oleh karenanya, beliau mempunyai otoritas dalam Al-Qur’an. Otoritas Nabi Muhammad saw bukan hanya berasal dari penerimaan umat terhadapnya sebagai pribadi yang punya otoritas, melainkan diekspresikan melalui kehendak Ilahi.
Olehnya itu otoritas Nabi Muhammad saw. adalah sebagai berikut:
1.      Penjelas Kitabullah (Pemberi penjelasan Al-Qura’an)
Sesuai firman Allah dalam QS. Al-Nahl/16:44.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ   
Terjemahnya:
“(Mereka kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Al-Qur’an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia dan agar mereka memikirakan”.[4]
Misalnya dalam Al-Quran dijelaskan tentang kewajiban mengerjakan salat bagi setiap orang mukallaf. Namun menyangkut waktu dan bagaimana kewajiban itu dilaksanakan, Rasulullah dalam hal ini menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang sesuai dengan keadaannya.[5] Tentu saja dalam Al-Qura’an tidak hanya memberikan penjelasn tentang sholat saja, Tetapi lebih jauh dari itu yakni memberikan penjelasan praktis terhadap banyak ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum.
2.      Rasulullah Sebagai Teladan yang Baik (Uswatun Khasanah)
Nabi Muhammad saw. dalam setiap laku dan perbuatannya merupakan sosok yang patut untuk dijadikan suri teladan (uswah al-hasanah) bagi umat Islam. Olehnya itulah masyrakat Islam mesti meniru prilaku Rasulullah tersebut . Sesuai firman Allah dalam QS. Al-Ahzab/33:21.
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym ...
Terjemahnya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ...”[6]
Keteladanan terhadap beliau dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia lainnya. Dari sifat-sifat agung dan menyeluruh yang dimilikinya, Allah swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
3.      Pembuat Ketetapan Hukum
Sesuai firman Allah dalam QS. Al-A’raf/7:157.
t@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ...
Terjemahnya:
“…dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk,..”[7]
Dalam ayat ini otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., Dengan demikian jelaslah bahwa Allah swt. telah memberikan wewenang dan kedudukan yang mulia kepada nabi Muhammad saw. dimana seluruh aspek hidup dan kepribadian beliau, keputusan dan ketetapan beliau memiliki otoritas yang mengikat sehingga wajib diikuti dan dipatuhi oleh setiap individu dan masyarakat muslim.
4.      Qudwah yang Harus Diteladani/Rasulullah saw. Wajib Ditaati
Rasulullah saw. adalah untusan Allah pembawa risalah kebenaran. Olehnya itu, dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. secara keseluruhan merupakan contoh yang baik bagi seluruh muslim dan patut diteladani karena seorang muslim tidak boleh ragu dalam menjalankan perintah Nabi saw. sesuai firman Allah swt. dalam QS. An-Nisa/4: 80.
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ  
Terjemahnya:

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.[8]
Dengan demikian jelaslah bahwa Allah swt. telah memberikan wewenang dan kedudukan yang mulia kepada nabi Muhammad saw. dimana seluruh aspek hidup dan kepribadian beliau, keputusan dan ketetapan beliau memiliki otoritas yang mengikat sehingga wajib diikuti dan dipatuhi oleh setiap individu dan masyarakat muslim.
B.     Kedudukan dan Fungsi Hadis
1.      Kedudukan Hadis
Sebagai seorang muslim keberadaan hadis merupakan hal yang tidak terbantahkan lagi. Hadis menjadi salah satu sumber rujukan umat islam dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupannya baik yang bersifat agamis maupun amalan-amalan sehari-hari. Namun perlu dijelaskan bahwa kedudukan atau posisi Hadis merupakan sumber hukum setelah Al-Quran yang wajib untuk dipedomani. Banyak ayat yang memberi pengakuan bahwa hadis atau sunnah Rasul merupakan dalil dan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa’/4: 59.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[9]

Oleh karnanya, seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,  yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an, karena Al-Qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Al-Qur’an dan Hadis memiliki kaitan yang sangat erat sehingga untuk memahaminya dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Hadis adalah sumber yang kedua dari sumber-sumber hukum agama dan kedudukannya berada setelah al-Qur’an. Untuk itu, hadis wajib diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti al-Qur’an.[10]

2.      Fungsi Hadis
Hadis sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk  menerangkan al-Qur’an. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah An-Nahl/16:44.
 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9  ...
Terjemahnya:

“…Dan kami turunkan Az-Zikr (Al-Quran) kepdamu agar engkau agar engkau menerangkan kepada manusia…”[11]                                                                                                           
Ayat diatas telah jelas bahwasanya Al-Quran merupakan sumber utama dalam tatanan hidup atau menjadi petunjuk untuk umat manusia. Namun jika tidak terdapat dalam Al-Quran berupa penjelasan disinilah fungsi hadis sebagai rujukan kedua setelah  Al-Quran, meskipun ada sedikit perbedaan pandangan, para ulama secara garis besar merinci ada empat makna penjelasan (bayan) hadis terhadap Al-Quran yaitu Bayan Taqrir/Ta’kid,, Bayan Tafsir, Bayan  Tabdil/Nasakh, dan Bayan Tasyri’.
Adapun fungsinya sebagai berikut:
a.       Bayan Taqrir/Ta’kid, yaitu menjelaskan maksud Al-Quran untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah terkandung dalam Al-Quran.
b.      Bayan Tafsir, yaitu menjelaskan maksud Al-Quran dengan maksud menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat global.
c.       Bayan Tabdil/Nasakh, yaitu mengganti atau menasakh suatu hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran seperti ayat tentang wasiat.
d.      Bayan Tasyri’, yaitu mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an.
Sunnah/Hadis sebagai sumber hukum kedua selalu berintegrasi dengan Al-Quran. Beragama tidak akan sempurna tanpa sunnah. Para sahabat menerima langsung penjelasan nabi tentang syari’ah yang terkandung dalam al-Quran baik dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang disebut sunnah. Demikian juga umat Islam sesudahnya, tidak mungkin dapat memahami hakikat Al-Quran, kecuali harus kembali kepada sunnah. Oleh karena itu, umat Islam sejak dahulu sampai sekarang, sepakat bahwa sunnah rasul merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran dan tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri dari ketentuan tersebut.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mencari hukum dalam Al-Quran, haruslah melalui hadis. Mereka yang mencukupi dengan Al-Quran saja, tidak memerlukan pertolongan hadis/sunnah dalam memahamkan ayat, dalam mengetahui syariatnya, sesatlah perjalanannya dan tidak akan sampai kepada tujuan yang dikehendaki.[12]
C.    Ingkar al-Sunnah
Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab: Ankara–yunkiru–inkaaran yang mempunyai beberapa arti di antaranya: “Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.”[13]
Secara etimologis, Ingkar diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.[14] Ingkar sunnah berarti mengingkari sunnah Nabi Muhammad saw. yang menunjukkan pada ajaran atau paham yang muncul pada masyarakat Islam dengan menolak sunnah sebagai ajaran Islam sesudah Al-Qur’an atau dengan kata lain, golongan Qurani.[15] Golongan ini menganggap bahwa Al-Quran adalah satu-satunya sumber ajaran Islam dan tidak mempercayai hadis (sunnah) Nabi saw. sebagai sumber ajaran kedua dengan alasan bahwa tugas Rasulullah saw. hanya menyampaikan bukan memberi pengertian baru. Adapula yang berpendapat bahwa jika umat islam memerlukan sunnah, itu berarti bahwa sunnah menunjukkan indikasi akan ketidakpastian Al-Quran. 
Terjadinya pengingkaran sunnah ini bukan semata-mata karena pemahaman sebagaimana disebutkan, melainkan karena adanya pengaruh politik didalamnya. Setelah Rasulullah saw. terjadi beberapa kisruh menyangkut kepemimpinan umat Islam. Hal ini terjadi pasca meninggal Khalifah Usman bin Affan yang akhirnya menyebabkan umat Islam terpecah mengikuti pmasing-masing pemimpin mereka. Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan golongan Khawarij. Golongan khawarij ( yang berarti yang keluar) inilah yang secara terang-terangan mengingkari sunnah. Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu: Pertama, golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi Muhammad saw. Kedua, golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an, dan Ketiga, mereka yang menolak sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.[16]
Ingkar Sunnah dibagi atas dua priode yaitu Ingkar Sunnah klasik yaitu pada zaman setelah pembunuhan Usman bin Affan ingkar sunnah yang dimulai oleh kaum khawarij hingga pada zaman syafi’i yang diduga dilakukan oleh kalangan teolog Mu’tazilah.[17] Ingkar sunnah yang kedua yaitu pada masa modern (akhir abad 19-20M). Menurut perkiraan M. Azumi, ingkar sunnah mulai terjadi di Mesir. Adapun yang menjadi pelaku ingkar sunnah pada masa itu adalah Muhammad Abduh berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Abu Rayyah.[18] Kemudian perkembangan selanjutnya ingkar sunnah terjadi di India yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti kelompok Ahl al-Dzikri wa al-Qur’an, kelompok Ummah Muslimah, kelompok Thulu’ul Islam, kelompok Ta’mir Insanet dan lain-lain. Kemudian berlanjut pada masa penjajahan yang kemungkinan masih terjadi pada masa sekarang ini.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nabi Muhammad saw. dalam kedudukannya sebagai rasul (utusan Allah) memiliki otoritas untuk menjelaskan kandungan yang tersirat dari ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadanya. Selain itu beliau adalah suri teladan terbaik (uswah al-hasanah) dalam segala aspek kehidupan manusia.
2.      Sunnah/Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama dan diyakini oleh seluruh umat Islam. Di sisi lain kedudukan sunnah adalah menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran yang sifatnya global (zhanni) serta menetapkan hukum-hukum kehidupan yang belum dirinci secara jelas oleh ayat-ayat Al-Quran.
3.      Paham Inkar as-sunnah adalah paham yang tidak mengakui keberadaan Hadis/Sunnah sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Quran. Paham ini mulai muncul pada masa Abbasiyah dan terus berkembang samapi sekarang meskipun dengan jumlah pengikut yang sangat sedikit namun tetap harus diwaspadai karena keberadaannya dapat menghancurkan keyakinan umat terhadap kerasulan Muhammad saw.
B.     Implikasi
 Diharapkan makalah ini agar dapat mengantarkan pembaca untuk dapat mengerti tinjauan hadis dari segi aksiologis baik itu berupa otoritas Nabi Muhammad saw., kedudukan dan fungsi hadis, serta inkar as-sunnah. Dengan demikian semoga pula makalah ini bisa menjadi bacaan yang baik untuk akademisi pada umumnya.
Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
HB, Sarwan, Filsafat Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1991.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997.
Kattsoff, Louis, O. Element  of Philosophy, terj. Pengantar Filsafat, Soejono Soemargonol. Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
Ma’luf, Al Munjid Fi Lugah wal I’lam. Cet. XXXVIII; T.Tt: T.p,  2000.
Maidin, Muhammad Sabir, Ingkar Sunnah/Hadis I. Makassar: Alauddin Press, 2012.
Manna, Syaikh, al-Qaththan,  Mabahis  fi Ulum al-Hadis, Terj. Pengantar Studi Ilmu Hadis, Mifdhol Abdurrahman. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005.
Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadits; Dirasah Islamiyah. Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.




[1]Louis O. Kattsoff, Element  of Philosophy, terj. Pengantar Filsafat, Soejono Soemargonol (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.
[2]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997), h. 69. 
[3]Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.  22.
[4]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012), h. 272.
[5]Abudin Nata, Al-Quran dan Hadits ;Dirasah Islamiyah (Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 64.
[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 420.
[7]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 175.
[8]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 91.
[9]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 87.
[10]Syaikh Manna al-Qaththan,  Mabahis  fi Ulum al-Hadis, Terj. Pengantar Studi Ilmu Hadis, Mifdhol Abdurrahman  (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 30.

[11]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 272.
[12]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 177.
[13]Ma’luf, Al Munjid Fi Lugah wal I’lam (Cet. XXXVIII; T.Tt: T.p,  2000), h. 836
[14]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008), h. 28
[15]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012),         h. 197.
[16]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Cet. I; Bandung: Angkasa, 1991), h. 141.
[17] Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I,  h. 227 .
[18] Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I,  h. 240.




[1]Imam al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, terj. Apa Itu al-Qur’an, Rafiq Saleh Tahurid (Cet. IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 86.
[2]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 21.
[3]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992),    h. 9.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar