HADIS DAN
SUNNAH
(Tinjauan Aksiologi)
MAKALAH
Disampaikan
pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulumul Hadis
Semester Satu
(1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 3 (tiga)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM:
80100216002
Dosen
Pemandu:
Prof. Dra. Hj. Aisyah Kara, M.A., Ph.D
Dr. M. Sabir Maidin, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada masa awal
Islam khususnya setelah agama Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat
pada periode setelah hijrah di Madinah (Yastrib), persoalan-persoalan
keberagamaan maupun sosial umat senantiasa berpedoman pada petunjuk Al-Quran
sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Selin itu, hadis
dan sunnah yang merupakan tuntunan dan pedoman yang kedua setelah, Al-Qur’an.
Keberadaan hadis
dan sunnah amat berharga bagi Islam dan umat pemeluknya, karena hadis merupakan
sumber ajaran yang berlaku hingga hari kiamat. Kedudukan tersebut amat erat
hubungannya dengan kerasulan maupun nubuwwah Muhammad saw yang menjadi
pamungkas sejarah kerasulan. Oleh karenanya, untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman dalam kehidupan manusia, khususnya orang yang beriman dituntut memiliki
pengalaman yang dalam dan bantuan penjelasan dari Nabi. Sunnah menurut
sebahagian ahli hadis sama dengan hadis yaitu segala sesuatu yang diajarkan
oleh Nabi saw. melalui perkataan, perbuatan, penetapan atau takrir dan akhlak
serta sifat-sifatnya yang terpuji.[1]
Sebagai rujukan
utama terhadap berbagai persoalan keumatan, Al-Qur’an yang bersifat universal
dan komprehensif diyakini telah mengakomodasi segala hal menyangkut kehidupan
makhluk manusia. Oleh karena sifatnya yang sangat umum tersebut, maka
rasulullah Muhammad saw. sebagai penerima mandat bertanggungjawab untuk
menjelaskan kandungannya agar dapat dipahami oleh para pengikut/penganut agama
Islam. Kita ketahui bahwa banyak sekali keterangan-keterangan dalam ayat-ayat Al-Quran,
hanya bisa dipahami jika mendapatkan keterangan lanjutan dari nabi Muhammad
saw. Disisi lain, ada peristiwa/kejadian yang tidak mendapatkan keterangan dari
nash Al-Quran secara implisit sehingga membutuhkan penjelasan atau keterangan
tersendiri dari rasulullah saw. sebagai pemilik otoritas tunggal menyampaikan
syariat kepada umat manusia.
Oleh karenanya,
hadis dan sunnah mempunyai otoritas tersendiri yang wajib ditaati umat Islam
seperti halnya Al-Qur'an. Hadis dan sunnah yang merupakan tindakan dan sikap
atau kesan Nabi terhadap segala sesuatu. Yang isinya mencakup segala aspek
kehidupan, dari yang paling abstrak dan umum sampai yang paling konkret dan
khusus.[2]
Dengan cara ini,
hadis berkembang secara pesat pada semua kalangan sahabat dan masyarakat tanpa
terkecuali sekalipun cara mereka menerima hadis dari rasul ada yang langsung
dan ada juga yang menerima hadis dari sahabat yang lain terutama bagi sahabat
yang jauh dari Nabi. Dalam perkembangan hidup beragama tidak dapat disangkal
bahwa masih ada pendapat perorangan maupun kelompok tertentu yang menolak
keabsahan hadis atau sunnah sebagai sumber hukum. “Dalam sejarah dan bahkan
sampai saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka
sebagai orang Islam, tetapi menolak hadis atau sunnah Rasulullah sebagai sumber
ajaran Islam. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkarus-sunnah”.[3]
Melihat hal
tersebutlah yang merupakan permasalahan sehingga para Ulama dan Cendikiawan
muslim melakukan tinjauan hadis dari segi aksiologis untuk menemukan cara
menjelaskan hakikat keberadaan hadis atau sunnah. Dalam kaidah ilmu pengetahuan
ada tiga komponen yang merupakan tiang penyangga dalam membangun suatu ilmu
pengetahuan. Ketiga komponen itu adalah Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi.
Dalam makalah
ini akan membahas hadis dan sunnah dari sudut pandang aksiologis, yakni bagaimana hadis atau sunnah dapat diterima
sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Quran yang dapat memberi
kemanfaatan dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dikemukakan permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana
otoritas Nabi Muhammad saw.?
2.
Bagaimana
kedudukan dan fungsi hadis?
3.
Apakah
yang dimaksud Inkarus al-Sunnah?
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN
AKSIOLOGI HADITS
Kata Aksiologis berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti bermanfaat dan logos berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Secara istilah, akseologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[1] Definisi
lain mengatakan bahwa aksiologis adalah suatu
pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam
kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta
didik.[2]
Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan
bahwa aksiologis adalah studi
tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan,
keindahan, dan kebenaran).[3]
Dengan demikian aksiologis adalah
salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau
norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Adapun kaiatannya dengan hadis dan sunnah tinjauan aksiologis, maka pembahasan ini meliputi otoritas Nabi Muhammad saw,
kedudukan dan
fungsi hadis, serta inkār al-Sunnah.
A.
Otoritas Nabi Muhammad saw.
Nabi
Muahammad saw. mempunyai tugas dan peran yang sangat signifan dalam kehidupan
umat manusia. Beliau menjadi Rasul atau utusan Allah swt. Untuk menyampaikan
dan menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam Al-Quran kepada umat
manusia. Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt untuk
segenap umat manusia. Oleh karenanya, beliau mempunyai otoritas dalam Al-Qur’an. Otoritas Nabi Muhammad saw bukan
hanya berasal dari penerimaan umat terhadapnya sebagai pribadi yang punya
otoritas, melainkan diekspresikan melalui kehendak Ilahi.
Olehnya itu otoritas Nabi Muhammad saw. adalah sebagai berikut:
1.
Penjelas Kitabullah (Pemberi penjelasan Al-Qura’an)
Sesuai
firman Allah dalam QS. Al-Nahl/16:44.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
Ìç/9$#ur
3 !$uZø9tRr&ur
y7øs9Î)
tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9
$tB
tAÌhçR
öNÍkös9Î)
öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt
ÇÍÍÈ
Terjemahnya:
“(Mereka kami utus) dengan
membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan
Al-Qur’an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia dan agar mereka
memikirakan”.[4]
Misalnya dalam Al-Quran
dijelaskan tentang kewajiban mengerjakan salat bagi setiap orang mukallaf.
Namun menyangkut waktu dan bagaimana kewajiban itu dilaksanakan, Rasulullah
dalam hal ini menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya bagi
setiap orang sesuai dengan keadaannya.[5] Tentu
saja dalam Al-Qura’an tidak hanya memberikan penjelasn tentang sholat saja,
Tetapi lebih jauh dari itu yakni memberikan penjelasan praktis terhadap banyak
ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum.
2.
Rasulullah Sebagai Teladan yang Baik
(Uswatun Khasanah)
Nabi
Muhammad saw. dalam setiap laku dan perbuatannya merupakan sosok yang patut
untuk dijadikan suri teladan (uswah al-hasanah) bagi umat Islam. Olehnya
itulah masyrakat Islam mesti meniru prilaku Rasulullah tersebut . Sesuai firman
Allah dalam QS. Al-Ahzab/33:21.
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym ...
Terjemahnya:
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ...”[6]
Keteladanan terhadap beliau
dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat
terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia lainnya. Dari sifat-sifat agung dan
menyeluruh yang dimilikinya, Allah swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang
baik sekaligus sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
3.
Pembuat Ketetapan Hukum
Sesuai
firman Allah dalam QS. Al-A’raf/7:157.
t@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ...
Terjemahnya:
“…dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk,..”[7]
Dalam ayat ini otoritas membuat
hukum dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad saw., Dengan demikian jelaslah bahwa Allah swt. telah memberikan
wewenang dan kedudukan yang mulia kepada nabi Muhammad saw. dimana seluruh
aspek hidup dan kepribadian beliau, keputusan dan ketetapan beliau memiliki
otoritas yang mengikat sehingga wajib diikuti dan dipatuhi oleh setiap individu
dan masyarakat muslim.
4.
Qudwah yang Harus Diteladani/Rasulullah
saw. Wajib Ditaati
Rasulullah saw. adalah untusan
Allah pembawa risalah kebenaran. Olehnya itu, dalam
kehidupan Nabi Muhammad saw. secara keseluruhan merupakan contoh yang baik bagi
seluruh muslim dan patut diteladani karena seorang muslim tidak boleh ragu
dalam menjalankan perintah Nabi saw. sesuai firman Allah swt. dalam QS. An-Nisa/4: 80.
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
Terjemahnya:
Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.[8]
Dengan
demikian jelaslah bahwa Allah swt. telah memberikan wewenang dan kedudukan yang
mulia kepada nabi Muhammad saw. dimana seluruh aspek hidup dan kepribadian
beliau, keputusan dan ketetapan beliau memiliki otoritas yang mengikat sehingga
wajib diikuti dan dipatuhi oleh setiap individu dan masyarakat muslim.
B. Kedudukan dan
Fungsi Hadis
1.
Kedudukan
Hadis
Sebagai seorang muslim keberadaan hadis merupakan hal yang
tidak terbantahkan lagi. Hadis menjadi salah satu sumber rujukan umat islam
dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupannya baik yang bersifat agamis
maupun amalan-amalan sehari-hari. Namun perlu dijelaskan bahwa kedudukan atau
posisi Hadis merupakan sumber hukum setelah Al-Quran yang wajib untuk
dipedomani. Banyak ayat yang memberi pengakuan bahwa hadis atau sunnah Rasul
merupakan dalil dan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Sebagaimana terdapat
dalam QS. Al-Nisa’/4: 59.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.[9]
Oleh karnanya, seluruh umat Islam,
telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Hal
ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,
yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan
memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an, karena
Al-Qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi
garis besar syari`at. Al-Qur’an dan Hadis memiliki kaitan yang sangat erat sehingga untuk
memahaminya dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri. Hadis adalah sumber yang kedua dari sumber-sumber hukum agama
dan kedudukannya berada setelah al-Qur’an. Untuk itu,
hadis wajib diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti al-Qur’an.[10]
2.
Fungsi Hadis
Hadis sebagai
sumber ajaran kedua tampil untuk
menerangkan al-Qur’an. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah An-Nahl/16:44.
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 ...
Terjemahnya:
“…Dan kami turunkan Az-Zikr
(Al-Quran) kepdamu agar engkau agar engkau menerangkan
kepada manusia…”[11]
Ayat
diatas telah jelas bahwasanya Al-Quran merupakan sumber utama dalam tatanan
hidup atau menjadi petunjuk untuk umat manusia. Namun jika tidak terdapat dalam
Al-Quran berupa penjelasan disinilah fungsi hadis sebagai rujukan kedua
setelah Al-Quran, meskipun ada sedikit
perbedaan pandangan, para ulama secara garis besar merinci ada empat makna
penjelasan (bayan) hadis terhadap Al-Quran yaitu Bayan Taqrir/Ta’kid,, Bayan Tafsir, Bayan Tabdil/Nasakh, dan Bayan Tasyri’.
Adapun fungsinya sebagai berikut:
a.
Bayan Taqrir/Ta’kid, yaitu menjelaskan maksud Al-Quran untuk mengokohkan atau
menguatkan apa yang telah terkandung dalam Al-Quran.
b.
Bayan
Tafsir, yaitu menjelaskan maksud Al-Quran
dengan maksud menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat global.
c.
Bayan
Tabdil/Nasakh, yaitu mengganti atau menasakh suatu
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran seperti ayat tentang wasiat.
d.
Bayan
Tasyri’, yaitu mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an.
Sunnah/Hadis sebagai sumber hukum kedua selalu berintegrasi
dengan Al-Quran. Beragama tidak akan sempurna tanpa sunnah. Para sahabat
menerima langsung penjelasan nabi tentang syari’ah yang terkandung dalam
al-Quran baik dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang disebut
sunnah. Demikian juga umat Islam sesudahnya, tidak mungkin dapat memahami
hakikat Al-Quran, kecuali harus kembali kepada sunnah. Oleh karena itu, umat
Islam sejak dahulu sampai sekarang, sepakat bahwa sunnah rasul merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Quran dan tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri
dari ketentuan tersebut.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mencari hukum dalam Al-Quran,
haruslah melalui hadis. Mereka yang mencukupi dengan Al-Quran saja, tidak
memerlukan pertolongan hadis/sunnah dalam memahamkan ayat, dalam mengetahui
syariatnya, sesatlah perjalanannya dan tidak akan sampai kepada tujuan yang
dikehendaki.[12]
C.
Ingkar al-Sunnah
Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab: Ankara–yunkiru–inkaaran yang
mempunyai beberapa arti di antaranya: “Tidak mengakui dan tidak menerima baik
di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu, dan menolak apa yang
tidak tergambarkan dalam hati.”[13]
Secara etimologis, Ingkar diartikan menolak, tidak mengakui,
dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar
belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena
gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.[14]
Ingkar sunnah berarti mengingkari sunnah Nabi Muhammad saw. yang menunjukkan
pada ajaran atau paham yang muncul pada masyarakat Islam dengan menolak sunnah
sebagai ajaran Islam sesudah Al-Qur’an atau dengan kata lain, golongan Qurani.[15]
Golongan ini menganggap bahwa Al-Quran adalah satu-satunya sumber ajaran Islam
dan tidak mempercayai hadis (sunnah) Nabi saw. sebagai sumber ajaran kedua
dengan alasan bahwa tugas Rasulullah saw. hanya menyampaikan bukan memberi
pengertian baru. Adapula yang berpendapat bahwa jika umat islam memerlukan
sunnah, itu berarti bahwa sunnah menunjukkan indikasi akan ketidakpastian Al-Quran.
Terjadinya pengingkaran sunnah ini bukan semata-mata karena
pemahaman sebagaimana disebutkan, melainkan karena adanya pengaruh politik
didalamnya. Setelah Rasulullah saw. terjadi beberapa kisruh menyangkut
kepemimpinan umat Islam. Hal ini terjadi pasca meninggal Khalifah Usman bin
Affan yang akhirnya menyebabkan umat Islam terpecah mengikuti pmasing-masing
pemimpin mereka. Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan pendukung
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan golongan Khawarij. Golongan khawarij ( yang
berarti yang keluar) inilah yang secara terang-terangan mengingkari sunnah. Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga
kelompok, yaitu: Pertama, golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi Muhammad saw. Kedua, golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an,
dan Ketiga, mereka yang menolak sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.[16]
Ingkar Sunnah
dibagi atas dua priode yaitu Ingkar Sunnah klasik yaitu pada zaman setelah
pembunuhan Usman bin Affan ingkar sunnah yang dimulai oleh kaum khawarij hingga
pada zaman syafi’i yang diduga dilakukan oleh kalangan teolog Mu’tazilah.[17]
Ingkar sunnah yang kedua yaitu pada masa modern (akhir abad 19-20M). Menurut
perkiraan M. Azumi, ingkar sunnah mulai terjadi di Mesir. Adapun yang menjadi
pelaku ingkar sunnah pada masa itu adalah Muhammad Abduh berdasarkan kesimpulan
yang dikemukakan oleh Abu Rayyah.[18]
Kemudian perkembangan selanjutnya ingkar sunnah terjadi di India yang dilakukan
oleh beberapa kelompok seperti kelompok Ahl al-Dzikri wa al-Qur’an, kelompok
Ummah Muslimah, kelompok Thulu’ul Islam, kelompok Ta’mir Insanet dan lain-lain.
Kemudian berlanjut pada masa penjajahan yang kemungkinan masih terjadi pada
masa sekarang ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Nabi Muhammad saw. dalam kedudukannya sebagai rasul
(utusan Allah) memiliki otoritas untuk menjelaskan kandungan yang tersirat dari
ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadanya. Selain itu beliau adalah suri
teladan terbaik (uswah al-hasanah) dalam segala aspek kehidupan manusia.
2.
Sunnah/Hadis merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Quran. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama dan diyakini
oleh seluruh umat Islam. Di sisi lain kedudukan sunnah adalah menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Quran yang sifatnya global (zhanni) serta
menetapkan hukum-hukum kehidupan yang belum dirinci secara jelas oleh ayat-ayat
Al-Quran.
3.
Paham Inkar as-sunnah adalah paham yang tidak
mengakui keberadaan Hadis/Sunnah sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Quran.
Paham ini mulai muncul pada masa Abbasiyah dan terus berkembang samapi sekarang
meskipun dengan jumlah pengikut yang sangat sedikit namun tetap harus
diwaspadai karena keberadaannya dapat menghancurkan keyakinan umat terhadap
kerasulan Muhammad saw.
B. Implikasi
Diharapkan makalah
ini agar dapat mengantarkan pembaca untuk dapat mengerti tinjauan hadis dari
segi aksiologis baik itu berupa
otoritas Nabi Muhammad saw., kedudukan dan fungsi hadis, serta inkar as-sunnah.
Dengan demikian semoga pula makalah ini bisa menjadi bacaan yang baik untuk
akademisi pada umumnya.
Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
HB, Sarwan, Filsafat
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu
Hadits. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1991.
Jalaluddin dan Abdullah Idi,
Filsafat Pendidikan, Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997.
Kattsoff, Louis, O. Element of Philosophy, terj. Pengantar
Filsafat, Soejono Soemargonol. Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Cet. I; Bandung:
Syamsil al-Qur’an, 2012.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis.
Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
Ma’luf, Al Munjid Fi Lugah wal I’lam.
Cet. XXXVIII; T.Tt: T.p, 2000.
Maidin, Muhammad Sabir, Ingkar
Sunnah/Hadis I. Makassar: Alauddin Press, 2012.
Manna, Syaikh, al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, Terj. Pengantar Studi
Ilmu Hadis, Mifdhol Abdurrahman.
Cet. I; Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 2005.
Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadits; Dirasah Islamiyah. Cet. VI;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
[1]Louis O.
Kattsoff, Element of Philosophy,
terj. Pengantar Filsafat, Soejono Soemargonol (Cet. V; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992), h. 327.
[3]Sarwan HB, Filsafat
Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 22.
[4]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an,
2012), h. 272.
[5]Abudin
Nata, Al-Quran dan Hadits ;Dirasah Islamiyah (Cet. VI; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998), h. 64.
[10]Syaikh Manna
al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, Terj. Pengantar Studi Ilmu
Hadis,
Mifdhol Abdurrahman (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005),
h. 30.
[12]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 177.
[13]Ma’luf, Al Munjid Fi Lugah wal
I’lam (Cet. XXXVIII; T.Tt: T.p, 2000), h. 836
[14]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis
(Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008), h. 28
[15]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar
Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 197.
[18] Muhammad Sabir Maidin, Ingkar
Sunnah/Hadis I, h. 240.
[1]Imam
al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an,
terj. Apa
Itu al-Qur’an, Rafiq
Saleh Tahurid (Cet. IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 86.
[3]Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar