SEJARAH ILMU NAHWU
Makalah
Disampaikan
pada Seminar Kelas Mata Kuliah Remedial Bahasa Arab
Semester Satu
(1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok I (Satu)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM:
80100216002
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr. H. Syarifuddin Ondeng, M.Ag
Dr. H. Abd. Rauf Aliyah, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian
ilmu nahwu selama ini lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah atau
ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jabatan satu kata dalam kalimat. Dapat
juga dikatakan bahwa pelajaran nahwu lebih fokus untuk mengetahui bagaimana
bentuk akhir sebuah kata, i`râb ataukah mabni. Misalnya, menentukan apakah kata
itu termasuk kategori marfû`ât, mansûbât, ataukah majrûrât untuk kata-kata yang
berbentuk ism, atau kata tersebut masuk kategori marfû`at, mansûbat, ataukah
majzûmat untuk kata-kata yang berbentuk fi`il. Maka pelajaran nahu selama ini
lebih kepada membicarakan harkat akhir sebuah kata dan kemudian menjelaskan
sebab-sebab dan ilalnya. Paling tidak materi-materi seperti inilah yang
dijumpai dalam pembelajaran nahwu dari tingkat ibtidai, bahkan sampai perguruan
tinggi di Indonesia sampai saat sekarang. Olehnya, setiap muslim
menyadari bahwa bahasa Arab adalah
bahasa al-Qur’an. Serta setiap orang yang akan mempelajari al-Qur’an dengan
baik dan benar, tiada lain harus menggali dari sumber asalnya, yakni al-Qur’an.
Sedangkan untuk mempelajari al-Qur’an yang dituliskan dalam bahasa arab tentu
membutuhkan cara atau metode untuk memahami kajian bahara arab. Salah satunya
cara adalah melalui pendalaman ilmu nahwu.
Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab juga mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan
sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau penulisan. Maka dari
situlah dapat dilihat bahwa ilmu nahwu perlu dipelajari guna mengetahui
penggunaan makna dari tiap tulisan Arab.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang
disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam
mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu Nahwu.
Melihat hal
tersebut maka dalam bahasan ini akan membahas sejarahnya
munculnya ilmu nahwu, perkembangannya, serta tokoh-tokoh yang memunculkan
ilmu nahwu.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi
permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah munculnya ilmu nahwu?
2. Bagaimana
Perkembangan ilmu nahwu?
3. Siapa
tokoh-tokoh yang memunculkan ilmu nahwu?
BAB II
SEJARAH ILMU NAHWU
A.
Pengertian Ilmu
Nahwu
Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang ilmu
bahasa yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam memahami bahasa Arab. Kata nahwu berasal dari نحا- نحو secara etimology berarti القصد yang artinya menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan.
Sedangkan secara terminologi adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah yang dipakai untuk mengetahui
keadaan setiap akhir kata yang tersusun dalam sebuah kalimat.[1]
Ilmu nahwu juga merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang mempelajari kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan susunan kata-kata dalam kalimat bahasa Arab. Cabang ilmu ini
memfokuskan pengkajian pada keadaan baris huruf terakhir kata-kata bahasa Arab
yang disebabkan oleh perubahan kedudukan (I’rab) kata dalam kalimat disebabkan Awa’mil
adalah jama’ dari Amil yang memasukinya.
Nama lain dari ilmu nahwu ialah Qawaid
(ilmu tata bahasa Arab). Penyebutan ilmu nahwu ini sering dikaitkan
dengan shoraf (menjadi nahwu shoraf), suatu cabang ilmu yang mempelajari
perubahan-perubahan bentuk bahasa kata bahasa Arab.[2]
Dari beberapa
definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan pengertian
ilmu nahwu sebagai berikut yaitu:
1.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang
keadaan akhir kata dalam kalimat yang disebabkan oleh adanya ‘amil. Definisi
ini cenderung membatasi bahasan nahwu pada aspek bunyi akhir kata dan
kebergantungan perubahan itu pada ‘amil.
2.
Ilmu nahwu adalah jalan untuk mengetahui
cara-cara mengungkapkan kalimat bahasa arab yang sesuai dengan penuturan
aslinya agar terhindar atau terpelihara dari kesalahan, baik dari segi I’rab
maupun dari susunan kalimat. Dengan kata lain, nahwu merupakan peniru cara
berbahasa Arab dari penutur aslinya agar terhindar dari lahn (kesalahan dalam
bahasa arab), dan agar ke-fashih-an
non-Arab dapat terwujud sebagaimana ke-fashih-an
orang Arab.[3]
Jadi objek kajian ilmu nahwu ini ialah memfokuskan pada
baris akhir suatu kata dalam kalimat bahasa Arab dan perubahan-perubahan yang
terjadi karena perubahan fungsi kata itu
dalam kalimat, dengan menggunakan tanda-tanda tertentu.
B.
Sejarah Ilmu Nahwu
Bangsa Arab merupakan
bangsa yang memiliki nilai sastra
yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana
mereka berkumpul dan
membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang
terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal. Awalnya bahasa Arab
amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab, Penyebab
utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa Arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini
sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat al-Quran. Sehingga Akhirnya
kaidah-kaidah bahasa Arab disusun dan diberi nama nahwu.[4]
Ilmu nahwu adalah ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena
bersinggungan langsung dengan pemeliharaan lisan dari kesalahan ketika membaca
al-Qur’an dan hadits. Disamping itu, nahwu juga termasuk kategori ilmu bantu
dalam ikhtiar mempelajari ilmu-ilmu lain, misalnya: ilmu ushul fiqhi, tafsir,
mantiq dan sebagainya.
Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya kebelahan dunia, maka secara
otomatis bahasa Arab juga ikut andil dalam hal itu karena sebagai bahasa resmi
umat Islam, terutama dalam mengerjakan sholat. Negara Arab juga sebagai tempat
mula berkembangnya agama Islam, ketika itu Mekkah sebagai daerahnya. Karena itu
bahasa Arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak
terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah
susunan gramatikanya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pecinta
dan pemerhati bahasa Arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan
(lahn) dalam berbicara dan penulisan.[5]
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain, ia mempunyai
sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya
yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an
secara khusus. Hal ini didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian
menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah swt. bahwasanya
mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang
akan menjaganya”.
Dalam kitab yang membahas tata bahasa Arab ini, ternyata kalau dikaji lebih dalam
lagi ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi
setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub
dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam
ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Karim Hafid menyatakan bahwasanya Sejarah telah mencatat bahwa ilmu nahwu
lahir, tumbuh dan berkembang diBashrah (Iraq) pada awal pertama kalinya,
kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke beberapa negeri islam
lainnya seperti halnya diKufah, Baghdad, Andalusia (Spanyol) dan Mesir.
Kelahiran ilmu nahwu ini tidak lepas dari peranan Abu Aswad ad-Dualiy dibantu
oleh murid-muridnya sendiri seperti halnya Nashir Ibn Adhim (w.89H),
Abdurrahman Ibn Hurmuz (w.177 H), dan yahya Ibn Ya’mar (w.139 H).
Usaha-usaha yang telah dilakukan pada periode pertama ialah masih sifatnya
sederhana dan kaidah-kaidah yang mereka buat masih sifatnya umum, dan tidak
sampai kepada kita karya mereka yang biasa dijadikan sebagai pegangan. Disamping itu
usaha mereka telah memberi titik dan baris pada mushaf al-Qur’an sebagaimana
apa yang kita dapatkan sekarang.
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan
Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu,
seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan
beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam
pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para ulama, dan (4) mulai
bermunculannya karangan-karangan dalam bidang ilmu Nahwu, sekalipun masih dalam
bentuk baku. Dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini
selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para ahli
nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H)
dan Abu "Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu aktif dalam mengkaji dan
meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula
mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu
Nahwu.
Dasar-dasar
ilmu nahwu yang telah diletakkan pada periode pertama kemudian dikembangkan
oleh ulama-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-murid Abu Aswad ad-Dualiy
sendiri seperti halnya Abdullah al-Ishaq (w.117H), Abu Ammar Ibn al-A’la
(w.154H), lalu disusul dua orang muridnya masing-masing Isa Ibn Umar al-saqafiy
(w.149H) dan al-Khalil Ibn Akhmad al-Farahidiy (w.117H).
Al-Khalil Ibn
Ahmad adalah ulama yang memperkuat dan mengembangkan kaidah-kaidah dasar yang
ada dengan mempertajam nahwu, dan memperkuat dasar-dasar dan pondasi-pondasi,
membuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan pembentukan (abniyat),
pemecahan (isytiqaq), perubahan (I’lal) dan penggantian (ibdal),
disamping telah memperbaiki teori awamil (kata-kata yang berubah karena
dipengaruhi oleh kata-kata sebelumnya) dan menetapkan kaidah-kaidah sama’i
(berdasarkan kebiasaan dan sifat bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa
ibu), ta’lil (perubahan kata yang disebabkan oleh alas an-alasan
tertentu), qiyas (analogi bentuk kata).
Hampir semua pakar bahasa Arab berpendapat bahwa gagasan Ali bin Abi Thalib r.a
saat beliau menjadi khalifah ini muncul ilmu nahwu, karena didorong faktor agama dan sosial budaya. Faktor agama terkait dengan
usaha pemurnian al-Qur’an dari lahn
(kesalahan baca). Fenomena lahn semakin lama semakin marak terjadi
seiring menyebarnya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab. Pada saat itulah terjadi
akulturasi bahasa Arab dengan bahasa lain. Para penutur non-Arab sering kali
berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan terjadi
juga saat mereka membaca al-Qur’an.
Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah
riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa)
dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu
akhaakum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya
ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari
Nabi saw. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla
'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada
pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn,
maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak
sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis.
Karena khawatir
kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abu Aswad untuk
mencari solusi yang tepat. Dan akhirnya Abu Aswad menemukan jalan, yaitu dengan
memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Namun, pada saat itu belum ada fathah,
dhamah, ataupun kasrah. Ad-Duali mengunakan, sistem titik berwarna merah
sebagai syakal kalimat. Titik-titik tersebut, yakni sebuah titik di atas huruf
dimaknai /a/, yakni fathah, satu titik dibawah huruf dibaca /i/ atau kasrah,
satu titik disebelah kiri huruf dibaca /u/, yakni dhamah. Adapun tanwin tinggal
menambah titik tersebut menjadi dua buah. Titik-titik tersebut dicetak merah
agar membedakan dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam.
Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abu
Aswad Ad Dualy (67 H). Dengan prakarsa Khalifah
Ali Ibn Abi Thalib r.a. dan Abu Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam
bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu'mar bin Du'ali. Ia adalah penduduk Bashrah yang jenius, berwawasan luas, dan mahir dalam
bahasa Arab.
Dia biasa dipanggil dengan nama Abul Aswad, sementara Ad-Duali merupakan nisbat
dari kabilahnya yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abu Aswad Ad-Duali
merupakan seorang tabi'in, murid sekaligus sahabat Khalifah keempat Ali Bin Abi
Thalib. Ia lahir pada 603 M dan wafat pada 688 M.
Sebelum menjadi
pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan. Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab,
hingga kemudian diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa kepemimpinan
Ali. Saat perang
Jamal, Ad-Duali merupakan juru runding perdamaian antarkubu. Ia juga pernah
diutus sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Abbas, untuk memerangi kaum Khawarij.
Dikisahkan dari Abu Aswad
ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia
mendengar sang qari membaca surah at-Taubah/9:3 dengan ucapan :
×bºsr&ur ÆÏiB «!$# ÿ¾Ï&Î!qßuur n<Î) Ĩ$¨Z9$# tPöqt Ædkptø:$# Îy9ò2F{$# ¨br& ©!$# ÖäüÌt/ z`ÏiB tûüÏ.Îô³ßJø9$# ¼&!qßuur 4 bÎ*sù öNçFö6è? uqßgsù ×öyz öNà6©9 ( bÎ)ur öNçGø©9uqs? (#þqßJn=÷æ$$sù öNä3¯Rr& çöxî ÌÉf÷èãB «!$# 3 ÎÅe³o0ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. >U#xyèÎ/ AOÏ9r& ÇÌÈ
Terjemahnya:
Dan
(inilah) suatu permakluman dari pada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia
pada hari haji akbar bahwa Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari
orang-orang musyrikin. kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, Maka
bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa
Sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. dan beritakanlah kepada
orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.[6]
Dengan
mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah.
Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik dan rasulnya...
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut
menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah.
×Î
¨br& ©!$# ÖäüÌt/ z`ÏiB tûüÏ.Îô³ßJø9$# ¼ã&è!qßuur 4
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrikin.”[7]
Karena
mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut
keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan keistimewaan Bahasa Arab ini menjadi
hilang, peristiwa tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini
disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini. kemudian Ali
bin Abi Thalib berkata kepada Abu Aswad ad-Duali (اُنْحُ
هَذَا النَّحْوَ)“ Ikutilah
jalan ini”.
Dari kalimat
inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. Kemudian Abul Aswad
Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab
lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Dalam riwayat lain disebutkan suatu ketika Abul
Aswad melihat Khalifah Ali r.a termenung, maka ia mendekatinya dan bertanya “Wahai
Amirul Mu’minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?” Ali menjawab “Saya
dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku
tentang dasar-dasar bahasa Arab”.
Selang beberapa hari Abu
Aswad mendatangi Khalifah Ali r.a dengan membawa lembaran bertuliskan:
“Bismillahir rahmaanir
rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi’lun wa harfun. Fal ismu maa anbaa ‘anil
musammaa, wal fi’lu maa anbaa ‘an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa ‘an
ma’nan laisa bi ismin walaa fi’lin”.
“Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri
dari isim, fi’il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina),
fi’il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang
menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi’il”.[8]
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling
melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk
kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna
dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan
meninggalkan ilmu yang lain.
C. Faktor Perkembangan Ilmu Nahwu
Ada dua faktor
yang melatarbelakangi lahirnya ilmu nahwu,
sebagaimana dikemukan oleh Syauki Dhaif[9]
yaitu al-din (relegius), faktor agama dan ghaer
al-din (non-religius) faktor
non-agama.
1.
Faktor Agama
Kelahiran
Islam di tanah Arab dengan membawa al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan dan
motivasi terhadap lahirnya berbagai macam ilmu termasuk ilmu nahwu. Kemukjizatan al-Qur’an tidak
hanya dari aspek isinya, dari susunan bahasanya, juga jauh diatas kemampuan
manusia. Padahal kerika al-Qur’an diturunkan bangsa Arab sudah mencapai puncak
ke-fashi-annya. Untian syair-syair
selama itu mereka anggap indah dan menjadi kebanggaan seketika pudar.[10]
Dorongan
utama lahirnya ilmu nahwu ini adalah
semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari segala kesalahan uangkapan. Yang
masa itu mulai menular serta merusak bahasa Arab fushah. Para ulama merasa hawatir atas keotentikan bahasa Arab
yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan cara memahami
al-Qur’an.[11]
Sepeninggalan
Rasulullah saw., yaitu pada masa sahabat, bahasa Arab semakin menjadi pusat
perhatian karena banyaknya wilayah diluar jazirah Arab yang jatuh dan tunduk pada
kekuasaan kaum muslimin. Para penduduk
berbondong-bondong memeluk agama Islam. Secara tidak langsung mereka harus
belajar bahasa Arab guna mempelajari kitab suci al-Qur’an. Mulai pada masa
inilah muncul gejala-gejala penyimpangan terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab
yaitu dalam hal i’rab.[12]
2.
Faktor non-Agama
Melihat
secara garis besar perkembangan ilmu nahwu
ditinjau dari segi non-agama, hal ini menunjukkan bahwa ada dua faktor pula
yang melatar belakanginya dintaranya
faktor nasionalisme Arab dan faktor sosiologisnya.
Adapun
yang menjadi acuan dalam faktor nasionalisme Arab diantaranya, bangsa Arab yang
merupakan bangsa yang tua dan memiliki bahasa yang tidak kaku, kemudian bangsa
Arab sendiri mempunyai fanatisme yang tinggi dalam menjaga bahasanya. Sehingga
pada masa daulah Umayyah berkuasa bahasa Arab dijadikan bahasa yang resmi
Negara bahkan Umayyah menetapkan sistem arabisasi, yaitu semua harus bersifat
Arab. Selain itu pada masa itu pula bahasa Arab sangat berkembang pesat
dikarenakan banyaknya orang-orang non-Arab mempelajari bahasa Arab guna
berkomunikasi dengan para penguasa.
Sedangkan
dari faktor sosiologi, bahwasanya masyarakat yang hetrogen sangat mendorong
munculnya ilmu nahwu, seperti di
Basrah yang dihuni oleh beberapa etnis, baik dari Arab atau non-Arab, mereka
semua saling berinteraksi dalam semua bidang dan bahasa adalah merupakan ala
yang primer. Olehnya itu muncullah kehawatiran dari bangsa Arab itu sendiri
untuk memperkuat kedudukan bahasa Arab ditengah-tengah pembaharuan bahasa oleh
non-Arab.
D. Beberapa Tokoh Perkembangan Ilmu Nahwu
Dalam hal perkembangan
ilmu nahwu, dilakukan oleh murid-muridnya Abu Aswad ad-Duali meskipun bukan
murid yang secara lansung ia ajarkan namun tetaplah dalam rentetan muridnya
sebab pembelajaran dari guru untuk murid dan dari muri untuk murid. Diantaranya
adalah Abu Bisyr Ibn Amr Ibn Utsman Ibn Qanbar yang dikenal dengan nama Imam
Sibawaihiy (w.180H). ia telah menyusun satu buku nahwu dengan judul al-kitab
yang kebanyakan ulama dianggap sebagai kitab utama ilmu nahwu (Qur’an
An-nahwi), yang tidak ada bandinganya baik sebelum maupun sesudahnya, dan
periode yang terakhir di Bashrah adalah al-Mubarrid.
Munculnya
banyak ahli nahwu di Bashrah tidak terlepas dari peranan al-Madrasah
al-Bashriyah (Madrasah khusus yang dibentuk untuk membina kader nahwu di Bashrah)
yang didirikan pada masa al-Khalil Ibn Ahmad. Dari madrasah ini lahir beberapa
ulama terkenal lainnya seperti halnya al-Akhfasi al-Aswat, Sibawaih dan
al-Maziniy.[13]
Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh
Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua
arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan
al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi.
Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini
masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain
kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat,
fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir,
Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni
madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa
Ilmu
Nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga kaidah tata bahasa arab
supaya bahasa arab itu terjaga dari keruksakan dan bercampur dengan dialek
amiyah. ilmu nahwu juga adalah suatu ilmu dimana pembahasan yang
lebih di kedepankan tentang grammar (susunan kosakata) yang dalam bahasa
arab mempunyai ribuan kaidah, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan
dari kepahaman dan ketidakpahaman pendengar atau lawan berbicara yang
disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah tersebut.
Ilmu nahwu adalah
ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena bersinggungan langsung
dengan pemeliharaan lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur’an dan hadits.
Para ulama
hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abu Aswad Ad Dualy
dengan prakarsa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib r.a
Abd. Karim Hafid,
kaidah-kaidah Bahasa Arab dan Relevansinya dalam Memahami Ayat-ayat
Al-Qur’an,
Makassar: Alauddin University Press, 2011.
--------------, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa
Arab, Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Dani, Sejarah Munculnya Ilmu Nahu (11 Agustus
2011), https://abangdani.wordpress.com/2010/08/11/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata-bahasa-arab, (Diakses 18 September 2016 ).
Imam Hamizan
Khomaini, sejarah perkembangan ilmu nahwu. (Oktober,
2014), http: //hamizanabqari. blogspot.co.id /2014/10/ sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu.html, (Diakses 18
September 2016).
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Cet. I;
Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Dhaif,
Syauqi, al-Madaaris an-Nahawiyah, Mesir: Darul Ma’arif
,1977.
[1]Abd. Karim Hafid,
kaidah-kaidah Bahasa Arab dan Relevansinya dalam Memahami Ayat-ayat
Al-Qur’an (Makassar:
Alauddin University
Press,
2011), h. 59.
[2]Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa
Arab (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 67.
[3]Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa
Arab, h. 67.
[4]Imam Hamizan
Khomaini, sejarah perkembangan ilmu nahwu. (Oktober, 2014), http: //hamizanabqari. blogspot.co.id /2014/10/ sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu.html, (18 September 2016).
7Abd.Karim
Hafid, Berbagai Sudut
Pandang dalam
Memahami Bahasa Arab, (Makassar:
Alauddin University
Press,
2012), h. 114.
[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil
al-Qur’an, 2012), h. 187.
[8]Dani, Sejarah Munculnya Ilmu Nahu (11 Agustus 2011), https://abangdani.wordpress.com/2010/08/11/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata-bahasa-arab, (Diakses 18 September 2016 ).
[9]Syauki Dhaif, al-madris al-nahwiyah (Mesir: Dar
al-Ma’rif, 1968), h.11.
[10]Manna al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo:
Mansurat al Ars al-Hadits, 1973), h. 263.
[11] Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa
Arab, h. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar