Rabu, 12 Oktober 2016

Sejarah Ilmu nahwu

SEJARAH ILMU NAHWU
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Remedial Bahasa Arab
Semester Satu (1) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok I (Satu)
OLEH:
AHMAD MATHAR
NIM: 80100216002

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Syarifuddin Ondeng, M.Ag
Dr. H. Abd. Rauf Aliyah, M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Kajian ilmu nahwu selama ini lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jabatan satu kata dalam kalimat. Dapat juga dikatakan bahwa pelajaran nahwu lebih fokus untuk mengetahui bagaimana bentuk akhir sebuah kata, i`râb ataukah mabni. Misalnya, menentukan apakah kata itu termasuk kategori marfû`ât, mansûbât, ataukah majrûrât untuk kata-kata yang berbentuk ism, atau kata tersebut masuk kategori marfû`at, mansûbat, ataukah majzûmat untuk kata-kata yang berbentuk fi`il. Maka pelajaran nahu selama ini lebih kepada membicarakan harkat akhir sebuah kata dan kemudian menjelaskan sebab-sebab dan ilalnya. Paling tidak materi-materi seperti inilah yang dijumpai dalam pembelajaran nahwu dari tingkat ibtidai, bahkan sampai perguruan tinggi di Indonesia sampai saat sekarang. Olehnya, setiap muslim menyadari bahwa bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an. Serta setiap orang yang akan mempelajari al-Qur’an dengan baik dan benar, tiada lain harus menggali dari sumber asalnya, yakni al-Qur’an. Sedangkan untuk mempelajari al-Qur’an yang dituliskan dalam bahasa arab tentu membutuhkan cara atau metode untuk memahami kajian bahara arab. Salah satunya cara adalah melalui pendalaman ilmu nahwu.
Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab juga mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau penulisan. Maka dari situlah dapat dilihat bahwa ilmu nahwu perlu dipelajari guna mengetahui penggunaan makna dari tiap tulisan Arab.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu Nahwu.
Melihat hal tersebut maka dalam bahasan ini akan membahas sejarahnya munculnya ilmu nahwu, perkembangannya, serta tokoh-tokoh yang memunculkan ilmu nahwu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana  sejarah munculnya ilmu nahwu?
2. Bagaimana Perkembangan ilmu nahwu?
3. Siapa tokoh-tokoh yang memunculkan ilmu nahwu?


BAB II
SEJARAH ILMU NAHWU           
A.    Pengertian Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang ilmu bahasa yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam memahami bahasa Arab. Kata nahwu berasal dari نحا- نحو  secara etimology berarti القصد  yang artinya menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan. Sedangkan secara terminologi adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah yang dipakai untuk mengetahui keadaan setiap akhir kata yang tersusun dalam sebuah kalimat.[1]
Ilmu nahwu juga merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang mempelajari kaidah-kaidah yang berhubungan dengan susunan kata-kata dalam kalimat bahasa Arab. Cabang ilmu ini memfokuskan pengkajian pada keadaan baris huruf terakhir kata-kata bahasa Arab yang disebabkan oleh perubahan kedudukan (I’rab)  kata dalam kalimat disebabkan Awa’mil adalah jama’ dari  Amil yang memasukinya. Nama lain dari ilmu nahwu ialah Qawaid  (ilmu tata bahasa Arab). Penyebutan ilmu nahwu ini sering dikaitkan dengan shoraf (menjadi nahwu shoraf), suatu cabang ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan bentuk bahasa kata bahasa Arab.[2]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan pengertian ilmu nahwu sebagai berikut yaitu:
1.      Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan akhir kata dalam kalimat yang disebabkan oleh adanya ‘amil. Definisi ini cenderung membatasi bahasan nahwu pada aspek bunyi akhir kata dan kebergantungan perubahan itu pada ‘amil.
2.      Ilmu nahwu adalah jalan untuk mengetahui cara-cara mengungkapkan kalimat bahasa arab yang sesuai dengan penuturan aslinya agar terhindar atau terpelihara dari kesalahan, baik dari segi I’rab maupun dari susunan kalimat. Dengan kata lain, nahwu merupakan peniru cara berbahasa Arab dari penutur aslinya agar terhindar dari lahn (kesalahan dalam bahasa arab), dan agar ke-fashih-an non-Arab dapat terwujud sebagaimana ke-fashih-an orang Arab.[3]
            Jadi objek kajian ilmu nahwu ini ialah memfokuskan pada baris akhir suatu kata dalam kalimat bahasa Arab dan perubahan-perubahan yang terjadi karena perubahan fungsi kata  itu dalam kalimat, dengan menggunakan tanda-tanda tertentu.
B.     Sejarah Ilmu Nahwu
Bangsa Arab merupakan bangsa yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumpul dan membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal. Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab, Penyebab utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa Arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat al-Quran. Sehingga Akhirnya kaidah-kaidah bahasa Arab disusun dan diberi nama nahwu.[4]
Ilmu nahwu adalah ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena bersinggungan langsung dengan pemeliharaan lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur’an dan hadits. Disamping itu, nahwu juga termasuk kategori ilmu bantu dalam ikhtiar mempelajari ilmu-ilmu lain, misalnya: ilmu ushul fiqhi, tafsir, mantiq dan sebagainya.
Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya kebelahan dunia, maka secara otomatis bahasa Arab juga ikut andil dalam hal itu karena sebagai bahasa resmi umat Islam, terutama dalam mengerjakan sholat. Negara Arab juga sebagai tempat mula berkembangnya agama Islam, ketika itu Mekkah sebagai daerahnya. Karena itu bahasa Arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah susunan gramatikanya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pecinta dan pemerhati bahasa Arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan (lahn) dalam berbicara dan penulisan.[5]
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain, ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah swt. bahwasanya mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.
Dalam kitab yang membahas tata bahasa Arab ini, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Karim Hafid menyatakan bahwasanya Sejarah telah mencatat bahwa ilmu nahwu lahir, tumbuh dan berkembang diBashrah (Iraq) pada awal pertama kalinya, kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke beberapa negeri islam lainnya seperti halnya diKufah, Baghdad, Andalusia (Spanyol) dan Mesir. Kelahiran ilmu nahwu ini tidak lepas dari peranan Abu Aswad ad-Dualiy dibantu oleh murid-muridnya sendiri seperti halnya Nashir Ibn Adhim (w.89H), Abdurrahman Ibn Hurmuz (w.177 H), dan yahya Ibn Ya’mar (w.139 H).
Usaha-usaha yang telah dilakukan pada periode pertama ialah masih sifatnya sederhana dan kaidah-kaidah yang mereka buat masih sifatnya umum, dan tidak sampai kepada kita karya mereka yang biasa dijadikan sebagai pegangan. Disamping itu usaha mereka telah memberi titik dan baris pada mushaf al-Qur’an sebagaimana apa yang kita dapatkan sekarang.
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang ilmu Nahwu, sekalipun masih dalam bentuk baku. Dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu "Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu aktif dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu.
Dasar-dasar ilmu nahwu yang telah diletakkan pada periode pertama kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-murid Abu Aswad ad-Dualiy sendiri seperti halnya Abdullah al-Ishaq (w.117H), Abu Ammar Ibn al-A’la (w.154H), lalu disusul dua orang muridnya masing-masing Isa Ibn Umar al-saqafiy (w.149H) dan al-Khalil Ibn Akhmad al-Farahidiy (w.117H).
Al-Khalil Ibn Ahmad adalah ulama yang memperkuat dan mengembangkan kaidah-kaidah dasar yang ada dengan mempertajam nahwu, dan memperkuat dasar-dasar dan pondasi-pondasi, membuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan pembentukan (abniyat), pemecahan (isytiqaq), perubahan (I’lal) dan penggantian (ibdal), disamping telah memperbaiki teori awamil (kata-kata yang berubah karena dipengaruhi oleh kata-kata sebelumnya) dan menetapkan kaidah-kaidah sama’i (berdasarkan kebiasaan dan sifat bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa ibu), ta’lil (perubahan kata yang disebabkan oleh alas an-alasan tertentu), qiyas (analogi bentuk kata).
Hampir semua pakar bahasa Arab berpendapat bahwa gagasan Ali bin Abi Thalib r.a saat beliau menjadi khalifah ini muncul ilmu nahwu, karena didorong faktor agama dan sosial budaya. Faktor agama terkait dengan usaha pemurnian al-Qur’an dari lahn (kesalahan baca). Fenomena lahn semakin lama semakin marak terjadi seiring menyebarnya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab. Pada saat itulah terjadi akulturasi bahasa Arab dengan bahasa lain. Para penutur non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan terjadi juga saat mereka membaca al-Qur’an.
Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi saw. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis.
Karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abu Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Dan akhirnya Abu Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Namun, pada saat itu belum ada fathah, dhamah, ataupun kasrah. Ad-Duali mengunakan, sistem titik berwarna merah sebagai syakal kalimat. Titik-titik tersebut, yakni sebuah titik di atas huruf dimaknai /a/, yakni fathah, satu titik dibawah huruf dibaca /i/ atau kasrah, satu titik disebelah kiri huruf dibaca /u/, yakni dhamah. Adapun tanwin tinggal menambah titik tersebut menjadi dua buah. Titik-titik tersebut dicetak merah agar membedakan dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam.
Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abu Aswad Ad Dualy (67 H). Dengan prakarsa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib r.a. dan Abu Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu'mar bin Du'ali. Ia adalah penduduk Bashrah yang jenius, berwawasan luas, dan mahir dalam bahasa Arab. Dia biasa dipanggil dengan nama Abul Aswad, sementara Ad-Duali merupakan nisbat dari kabilahnya yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abu Aswad Ad-Duali merupakan seorang tabi'in, murid sekaligus sahabat Khalifah keempat Ali Bin Abi Thalib. Ia lahir pada 603 M dan wafat pada 688 M.
Sebelum menjadi pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan. Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, hingga kemudian diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa kepemimpinan Ali. Saat perang Jamal, Ad-Duali merupakan juru runding perdamaian antarkubu. Ia juga pernah diutus sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Abbas, untuk memerangi kaum Khawarij.
Dikisahkan dari Abu Aswad ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surah at-Taubah/9:3 dengan ucapan :

×bºsŒr&ur šÆÏiB «!$# ÿ¾Ï&Î!qßuur n<Î) Ĩ$¨Z9$# tPöqtƒ Ædkptø:$# ÎŽy9ò2F{$# ¨br& ©!$# Öäü̍t/ z`ÏiB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#   ¼&!qßuur 4 bÎ*sù öNçFö6è? uqßgsù ׎öyz öNà6©9 ( bÎ)ur öNçGøŠ©9uqs? (#þqßJn=÷æ$$sù öNä3¯Rr& çŽöxî ÌÉf÷èãB «!$# 3 ÎŽÅe³o0ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. >U#xyèÎ/ AOŠÏ9r& ÇÌÈ  
Terjemahnya:
Dan (inilah) suatu permakluman dari pada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, Maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.[6]
Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya...
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah.
×Î ¨br& ©!$# Öäü̍t/ z`ÏiB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#   ¼ã&è!qßuur 4  
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”[7]
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan keistimewaan Bahasa Arab ini menjadi hilang, peristiwa tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini. kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abu Aswad ad-Duali (اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ)“ Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Dalam riwayat lain disebutkan suatu ketika Abul Aswad melihat Khalifah Ali r.a termenung, maka ia mendekatinya dan bertanya “Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?” Ali menjawab “Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab”.
Selang beberapa hari Abu Aswad mendatangi Khalifah Ali r.a dengan membawa lembaran bertuliskan:
Bismillahir rahmaanir rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi’lun wa harfun. Fal ismu maa anbaa ‘anil musammaa, wal fi’lu maa anbaa ‘an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa ‘an ma’nan laisa bi ismin walaa fi’lin”.
“Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi’il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi’il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi’il”.[8]
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
C.  Faktor Perkembangan Ilmu Nahwu
Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya ilmu nahwu, sebagaimana dikemukan oleh Syauki  Dhaif[9] yaitu al-din (relegius), faktor agama dan ghaer al-din (non-religius) faktor non-agama.
1.      Faktor Agama
Kelahiran Islam di tanah Arab dengan membawa al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan dan motivasi terhadap lahirnya berbagai macam ilmu termasuk ilmu nahwu. Kemukjizatan al-Qur’an tidak hanya dari aspek isinya, dari susunan bahasanya, juga jauh diatas kemampuan manusia. Padahal kerika al-Qur’an diturunkan bangsa Arab sudah mencapai puncak ke-fashi-annya. Untian syair-syair selama itu mereka anggap indah dan menjadi kebanggaan seketika pudar.[10]
Dorongan utama lahirnya ilmu nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari segala kesalahan uangkapan. Yang masa itu mulai menular serta merusak bahasa Arab fushah. Para ulama merasa hawatir atas keotentikan bahasa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan cara memahami al-Qur’an.[11]
Sepeninggalan Rasulullah saw., yaitu pada masa sahabat, bahasa Arab semakin menjadi pusat perhatian karena banyaknya wilayah diluar jazirah Arab yang jatuh dan tunduk pada kekuasaan kaum muslimin. Para  penduduk berbondong-bondong memeluk agama Islam. Secara tidak langsung mereka harus belajar bahasa Arab guna mempelajari kitab suci al-Qur’an. Mulai pada masa inilah muncul gejala-gejala penyimpangan terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab yaitu dalam hal i’rab.[12]
2.      Faktor non-Agama
Melihat secara garis besar perkembangan ilmu nahwu ditinjau dari segi non-agama, hal ini menunjukkan bahwa ada dua faktor pula yang  melatar belakanginya dintaranya faktor nasionalisme Arab dan faktor sosiologisnya.
Adapun yang menjadi acuan dalam faktor nasionalisme Arab diantaranya, bangsa Arab yang merupakan bangsa yang tua dan memiliki bahasa yang tidak kaku, kemudian bangsa Arab sendiri mempunyai fanatisme yang tinggi dalam menjaga bahasanya. Sehingga pada masa daulah Umayyah berkuasa bahasa Arab dijadikan bahasa yang resmi Negara bahkan Umayyah menetapkan sistem arabisasi, yaitu semua harus bersifat Arab. Selain itu pada masa itu pula bahasa Arab sangat berkembang pesat dikarenakan banyaknya orang-orang non-Arab mempelajari bahasa Arab guna berkomunikasi dengan para penguasa.
Sedangkan dari faktor sosiologi, bahwasanya masyarakat yang hetrogen sangat mendorong munculnya ilmu nahwu, seperti di Basrah yang dihuni oleh beberapa etnis, baik dari Arab atau non-Arab, mereka semua saling berinteraksi dalam semua bidang dan bahasa adalah merupakan ala yang primer. Olehnya itu muncullah kehawatiran dari bangsa Arab itu sendiri untuk memperkuat kedudukan bahasa Arab ditengah-tengah pembaharuan bahasa oleh non-Arab.


D.  Beberapa Tokoh Perkembangan Ilmu Nahwu
Dalam hal perkembangan ilmu nahwu, dilakukan oleh murid-muridnya Abu Aswad ad-Duali meskipun bukan murid yang secara lansung ia ajarkan namun tetaplah dalam rentetan muridnya sebab pembelajaran dari guru untuk murid dan dari muri untuk murid. Diantaranya adalah Abu Bisyr Ibn Amr Ibn Utsman Ibn Qanbar yang dikenal dengan nama Imam Sibawaihiy (w.180H). ia telah menyusun satu buku nahwu dengan judul al-kitab yang kebanyakan ulama dianggap sebagai kitab utama ilmu nahwu (Qur’an An-nahwi), yang tidak ada bandinganya baik sebelum maupun sesudahnya, dan periode yang terakhir di Bashrah adalah al-Mubarrid.
Munculnya banyak ahli nahwu di Bashrah tidak terlepas dari peranan al-Madrasah al-Bashriyah (Madrasah khusus yang dibentuk untuk membina kader nahwu di Bashrah) yang didirikan pada masa al-Khalil Ibn Ahmad. Dari madrasah ini lahir beberapa ulama terkenal lainnya seperti halnya al-Akhfasi al-Aswat, Sibawaih dan al-Maziniy.[13]
Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Ilmu Nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga kaidah tata bahasa arab supaya bahasa arab itu terjaga dari keruksakan dan bercampur dengan dialek amiyah. ilmu nahwu juga adalah suatu ilmu dimana pembahasan yang lebih di kedepankan tentang grammar (susunan kosakata) yang dalam bahasa arab mempunyai ribuan kaidah, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kepahaman dan ketidakpahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah tersebut.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena bersinggungan langsung dengan pemeliharaan lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur’an dan hadits.
Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abu Aswad Ad Dualy dengan prakarsa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib r.a

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Karim Hafid, kaidah-kaidah Bahasa Arab dan Relevansinya dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
--------------, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Dani, Sejarah Munculnya Ilmu Nahu (11 Agustus 2011), https://abangdani.wordpress.com/2010/08/11/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata-bahasa-arab, (Diakses 18 September 2016 ).
Imam Hamizan Khomaini, sejarah perkembangan ilmu nahwu. (Oktober, 2014),  http: //hamizanabqari. blogspot.co.id /2014/10/ sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu.html,  (Diakses 18 September 2016).
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Dhaif, Syauqi,  al-Madaaris an-Nahawiyah, Mesir: Darul Ma’arif ,1977.



[1]Abd. Karim Hafid, kaidah-kaidah Bahasa Arab dan Relevansinya dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an (Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 59.
[2]Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 67.
[3]Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, h. 67.
[4]Imam Hamizan Khomaini, sejarah perkembangan ilmu nahwu. (Oktober, 2014),  http: //hamizanabqari. blogspot.co.id /2014/10/ sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu.html,  (18 September 2016).
7Abd.Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 114.


[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012), h. 187.
[7]Syauqi Dhaif, al-Madaaris an-Nahawiyah (Mesir: Darul Ma’arif ,1977), h. 15.
[8]Dani, Sejarah Munculnya Ilmu Nahu (11 Agustus 2011), https://abangdani.wordpress.com/2010/08/11/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata-bahasa-arab, (Diakses 18 September 2016 ).
[9]Syauki Dhaif, al-madris al-nahwiyah (Mesir: Dar al-Ma’rif, 1968), h.11.
[10]Manna al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo: Mansurat al Ars al-Hadits, 1973),    h. 263.
[11] Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, h. 79.
[12]Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, h. 79.
13Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, h.102-104.
14Abd. Karim Hafid, Kaidah-Kaidah Bahasa Arab dan Relevansinya dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, h.105.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar