Rabu, 12 Oktober 2016

Pemikiran Al-Kindi



KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun telah panjatkan atas kehadirat Alloh Ta’ala, sang Pencipta alam semesta dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufik, serta inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah “al-Kindi sebagai peletak dasar filsafat Islam” yang sederhana ini.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salasatu dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Islam serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penyusun pada tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Filsafat Islam.
Demikian pengantar yang dapat penyusun sampaikan, dimana penyusun pun sadar bahwasanya penyusun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Alloh Ta’ala hingga dalam penulisan dan penyusunan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun terima sebagai upaya evaluasi diri.
Akhirnya penyusun hanya bisa berharap, bahwa dibalik tidak kesempurnaan penyusunan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan suatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar

Penyusun
                                                         DAFTAR ISI
      A. Kesimpulan. 23
Daftar Pustaka………………………..………………………………………………25








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat muslim yang bernama, Al-kindi. Alasannya adalah karena tokoh  tersebut merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.




B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa Al-Kindi?
2.      Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Al-Kindi?
3.      Bagaimana Studi Kritis terhadap Pemikiran Al-Kindi?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Biografi Al-Kindi.
2.      Mengetahui Pemikiran Filsafat Al-Kindi.
3.      Mengetahui Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi.














   BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Kindi
Al- Kindi bin Ishaq atau nama legkapnyaAl-Kindi bin Abu Yusuf  Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah ilmuan dan filosof besar Islam yang hidup pada masa kekhalifahaan Bani Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat pada 873M. Ia masih keturunan suku Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan pada masa sebelum Islam. Keluarga Al-Kindi adalah keluarga terhormat dengan status sosial tinggi. Ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai gubernur Kufah pada masa Khalifah Al-Mahdi(775-778M) dan Khalifah Ar-Rasyid(786-809M).[1]
Dunia mengenal Al-Kindi sebagai penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan. Hal ini karena karya dan pemikiran Al-Kindi meliputi bidang yang sangat luas dan beragam. Hampir setiap bidang keilmuan, pasti ada karya Al-Kindi yang membahas Atau mengulasnya. Pada awalnya, Al-Kindi belajar di Bashrah, sebuah kota di Iraq yang menjadi pusat pengetahuan dan pergunulan intelektual dunia, namun demikian ia kemudian menamatkan pendidikannya di Bagdad.
Di kota yang kini menjadi Ibu kota Iraq modern tersebut, Al-Kindi berkenalan dengan para pangeran Abbasyiah, seperti Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim. Lalu Al-Kindi diangkat menjadi guru pribadi Ahmad, putra Al-Makmun yang darinya ia memperoleh dukungan kuat untuk melahirkan karya-karya besar dibidang ilmu pengetahuan.
Al-Kindi hidup selama pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu Al-Amin (809-813M), Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M). Selama kurun waktu itu, Al-Kindi banyak melahirkan karya dibidang filsafat, matematika (geometri), agama, asrtonomi, logika dan kedokteran. Diantara karya al-Kindi yang turut meramaikan dunia pengetahuan adalah Risalah fi masail suila anha min ahwal al-kawakib (jawaban dari pertanyaan-pertanayaan planet), risalah fi mathrah asy-syu’a (tentang projeksi sinar), dan risalah fi idhah ‘illat ruju’ al-kawakib (tentang penjelasan sebab gerak ke belakang planet-planet). Dari sekian banyak ilmu ia sangat menghargai matematika, hal ini disebabkan matematika bagi Al-Kindi, adalah mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukadimah ini sangat penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dahulu menguasai matematika. Matematika disini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geomeri, dan astronomi. Tetapi yang paling utama dari seluruh cakupan matematika disini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangn tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun.[2]
Dia adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama. Diantara Kelebihan Al-Kindi adalah Menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum muslimin setelah terlebih dahulu meng islamkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang ada.
B. Pemikiran Filsafat Al-Kindi
1. Perpaduan Filsafat dan Agama
Dalam buku M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, menjelaskan bahwa di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama-tama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya ialah Al-Kindi. Dia adalah satu-satunya orang yang berdarah Arab murni yang terkenal dalam bidang filsafat.[3]
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari tradisi dan  kebudayaan Islam. Berdasarkan ini, para sejarawan Arab awal menyebut Al-Kindi sebagai “Filsof Arab”. Memang, gagasan-gagasannya itu berasal dari Aristoteliansime Neo-Platonis, namun juga benar bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks baru. Dengan mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, dia melatakkan asas-asas sebuah filsafat baru. Sungguh, perdamaian ini, untuk jangka lama, menjadi ciri utama filsafat ini.  Al-Kindi juga mengkhususkan diri dalam semua ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya saat itu, dengan tulisan-tulisannya memberikan cukup bukti dan menjadikan filsafat sebagai suatu kajian  menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu.[4]
Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam Islam, diantara filsafat yang ia majukan ialah rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Filsafat, menurutnya, membahas tentang yang benar (al-haqq). Filsafat dalam membahas yang benar, terutama al-haqq al-awwal (Tuhan) memakai akal, sedang agama dalam menjelaskan hal yang sama, disamping wahyu, juga akal. Dengan demikian akal tidak hanya dipakai oleh fisafat saja tetapi juga oleh agama. Atas dasar inilah antara keduanya tidak bertentangan.[5]
Pada asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal;
a)   ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
b)  wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
c)   menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama,
d)  teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[6]
Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu tanpa upaya yang keras dan tanpa memerlukan wahyu untuk memperolehnya. Pengetahuan yang demikian ini adalah pengetahuan yang paling benar dan paling haqiqi. Pengetahuan tersebut terjadi atas kehendak Allah. Nabi dapat menjawab suatu pertanyaan dengan tepat dan cepat yang tidak bisa dilakukan oleh para filosof. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kemungkinan terdapat orang yang selain Nabi yang memperoleh pengetahuan isyraqi, namun derajatnya di bawah Nabi dan hal itu terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya. Uraian tersebut memberikan kesan bahwa pengetahuan para Nabi yang diperoleh dengan wahyu lebih meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan filosof yang tidak berasal dari wahyu. Al-Kindi menyadari keadaan dan kemampuan dirinya, dan menyatakan bahwa kebenaran wahyu tetaplah kebenaran yang paling mutlak dan berada diatas akal dan lainnya.
Bagi Al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut Al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[7]
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam. Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn Rusyd.[8]
Menurut Al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan orang yang menerimanya.[9]
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya,  dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.[10]
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari.[11]
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya.[12]
 Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang datang kemudian. Kalau ada perbedaan antara filsafat dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam cara, sumber, dan ciri-cirinya, sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima pengetahuan (ilmu) dengan cara luar biasa diluar hukum alam.
2. Filsafat Ketuhanan Al-Kindi
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat Al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[13]
Menurut Ahmad Hanafi, persoalan metafisika (ketuhanan) dibicarakan oleh Al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.[14]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[15]
Oleh karena itu menurut Sayyed Hosein Nasr, sebagaimana yang dinyatakan Al-Kindi, sebab pertama dapat diekspolarsi, dan akal pertamalah yang mentransmisikan ”pengetahuan yang paling pasti“ tentangnya, hal tersebut merupakan “bukti tentang Ketuhanan-Nya dan penjelasan tentang Keesaan-Nya”. Meskipun kepastian intelektual tentang Tuhan dan Ketuhanan dapat dicapai, Al-Kindi mengakui pada akhir risalahnya bahwa intelek hanya mampu menggambarkan Tuhan dalam terma-terma negative[16]
Terma-terma negatif tentang Tuhan bagi Al-Kindi, gagasan Islam tentang Tuhan adalah keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan-Nya, ketunggalan-Nya, ketakterlihatan-Nya, ketakterbagian-Nya. Sifat-sifat ini, dalam Al-Qur’an, dinyatakan tak filosofis atau dialektis. Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia tinggi, Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, Ia tak berjenis, tak terbagi, tak berkejadian, dan Ia abadi, oleh karena itu, Ia Maha Esa (wahdah). Selain-Nya berlipat.[17] Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi membahas hakikat dasar itu. Ia melihat bahwa di alam ini banyak yang benar, maka pemikirannya sampai kepada kesimpulan bahwa kalau ada yang benar mesti ada Yang Benar Pertama (Al-Haqq Al-Awwal), mesti ada Yang Maha Benar. Yang Benar Pertama inilah yang disebut Allah. Dan Ia Satu-satunya Yang Benar (Al-Haqq Al-Awwal). Ia esa, Ia Unik, dan selain-Nya mengandung banyak arti.[18]
Menurut Al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.[19]
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan  selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut Al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara “juziyyah” atau “aniyah” (sebagian) maupun hakikat secara “kulliyah” atau “mahiyah” (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).
Al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.
Al-Kindi dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
a)   Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
b)   Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
b)   Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan.[20]
Pertama-tama Al-Kindi  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.[21]
Bagi Al-Kindi Pencipta itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak berbilang. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi sejauh-jauhnya dari gambaran para penyeleweng agama (al-mulhidun). Dia tidak menyerupai alam ciptaan; karena sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan (al-khalaq), dan sifat itu samasekali tidak ada pada-Nya. Juga karena Dia itu Pengada, sedangkan semua ciptaan itu diadakan. Dan karena Dia adalah yang langgeng, sedang yang lain itu tidak langgeng; sebab yang mengalami perubahan adalah berarti berubah berbagai keadaannya, dan yang berubah itu tidak langgeng.[22]
3. Filsafat Jiwa (Al-Nafs) dan Akal
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan manusia (Lihat Al-Isra (17): 18). Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.[23]
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan Al-Kindi, bahkan Al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.  Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70). Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.[24]
Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[25]
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala. Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.[26]
Menurut Al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam. Ia membagi akal terbiasa menjadi dua: akal yang memiliki pengetahuan tanpa memprakteknya, dan akal yang mempraktekkan pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah belajar menulis, dan karenanya ia memiliki senin menulis ini: sedang yang kedua, seperti orang yang mempraktekkan seni menulis itu. Pembagian akal itu adalah;
a)   Akal yang selalu bertindak dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan).
b)   Akal yang secara potensial berada di dalam ruh (al-aql bi al-quwwah).
c)   Akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual (acquired intellect).
d)   Akal yang kita sebut akal yang kedua. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas, sebagaimana dipaparkan di atas dalam membedakan antara yang Cuma memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.[27]
C.  Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi[28]
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa filsafat Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, materi atau bahan yang terdapat dalam sistem filsafat (Islam) ini diambil dari pemikiran Yunani atau deduksi dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, dalam hal isu dan muatannya, bisa dikatakan semuanya bersumber dari Yunani, tetapi dalam hal bentuk, sistem ini jelas mendapat cap Islam. Di dalamnya terkandung orisinalitas yang brilian pada satu pihak, dan nasibnya yang tragis dalam sejarah Islam pada pihak lain, karena, gagal memenuhi keinginan kalangan ortodoks maka keberadaannya tidak dijamin. Akan tetapi tetap merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Namun yang jelas Al-Kindi telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat dalam filsafat Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof sesudahnya.
Tetapi bila pemikirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Filsafat Ketuhanan Al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan Al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.














Daftar Pustaka
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hossein, Sayyed Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi Filsafat Islam, Jakarta: Mizan, 2003.

Madjid, Nurcholis (edt), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nasution, Harun Islam Rasional, Gerakan dan Pemikiran, Bandung. Mizan, 1994.
Poerwantana dkk., Seluk-Beluk Filsafat Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1987.

Rifqi, Sejarah Pemikiran Filsafat Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina (13 Juni 2013), http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html diakses pada tanggal 14 Mei  2015.

Salam, Abdus Sains dan dunia Islam, Bandung: Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, 1983.

Supriyadi, Dedi Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Syarif, M. M. Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1996..
Zainul, Ahmad Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, Cet. 1, Yogyakarta:  Pustaka Pesantren, 2004.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam dalam Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban, Padang: IAIN Imam Bonjol, 2006.


[1]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 73.
[2]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern (Yogyakarta:  Pustaka Pesantren, 2004), Cet. 1, h. 47.

[3]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 14.
[4]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 14.
[5]Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam dalam Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban (Padang: IAIN Imam Bonjol, 2006). h. 26

[6]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 17
[7]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia, 2009),  h. 63.
[8]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 74.
[9]Abdus Salam, Sains dan dunia Islam (Bandung: Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, 1983),  h. 11.
                [10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 44.


[11]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 48.
[12]Poerwantana dkk., Seluk-Beluk Filsafat Islam  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1987),   h. 103-104.

[13]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi Filsafat Islam  (Jakarta: Mizan, 2003). h.210.
[14]Ahmad Hanafi,, Pengantar Filsafat Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 77.
[15]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi Filsafat Islam  (Jakarta: Mizan, 2003). h.210.
[16]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi Filsafat Islam  (Jakarta: Mizan, 2003). h.213.
[17]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim  (Bandung: Mizan, 1996), h. 21.
[18]Harun Nasution, Islam Rasional, Gerakan dan Pemikiran  (Bandung. Mizan, 1994). h. 365.
[19]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 48.
[20]Sirajuddin Zar “Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya  (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),           h. 53-54.
[21]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia, 2009),  h. 56.
[22]Nurcholis Madjid, (edt), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 94.
[23]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 59.
[24]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya, h. 59.
[25]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 60.
[26]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 61.

[27]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 27.
[28]Rifqi, Sejarah Pemikiran Filsafat Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina (13 Juni 2013), http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html diakses pada tanggal 14 Mei  2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar