KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun telah panjatkan atas kehadirat Alloh
Ta’ala, sang Pencipta alam semesta dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufik, serta inayah-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah “al-Kindi sebagai peletak dasar filsafat
Islam” yang sederhana ini.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah
lain untuk memenuhi salasatu dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Islam
serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penyusun pada tugas yang
diberikan. Pada kesempatan ini, penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dosen Filsafat
Islam.
Demikian pengantar yang dapat penyusun sampaikan, dimana
penyusun pun sadar bahwasanya penyusun hanyalah seorang manusia yang tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Alloh
Ta’ala hingga dalam penulisan dan penyusunan masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun
terima sebagai upaya evaluasi diri.
Akhirnya penyusun hanya bisa berharap, bahwa dibalik
tidak kesempurnaan penyusunan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan suatu
yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan
bagi seluruh mahasiswa Pasca
Sarjana UIN Alauddin Makassar
Penyusun
DAFTAR ISI
Daftar
Pustaka………………………..………………………………………………25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam
mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal.
Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang
ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu
aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok
pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang
dalam pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim
seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya.
Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada
mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah
tokoh filsafat muslim yang bernama, Al-kindi. Alasannya adalah karena
tokoh tersebut merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Siapa Al-Kindi?
2.
Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Al-Kindi?
3.
Bagaimana Studi Kritis terhadap Pemikiran Al-Kindi?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Biografi Al-Kindi.
2.
Mengetahui Pemikiran Filsafat Al-Kindi.
3.
Mengetahui Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Al-Kindi
Al- Kindi bin Ishaq atau nama legkapnyaAl-Kindi bin Abu
Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah ilmuan dan filosof besar Islam yang
hidup pada masa kekhalifahaan Bani Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat
pada 873M. Ia masih keturunan suku Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan
pada masa sebelum Islam. Keluarga Al-Kindi adalah keluarga terhormat dengan
status sosial tinggi. Ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai gubernur Kufah
pada masa Khalifah Al-Mahdi(775-778M) dan Khalifah Ar-Rasyid(786-809M).[1]
Dunia mengenal Al-Kindi sebagai penggerak dan pengembang
ilmu pengetahuan. Hal ini karena karya dan pemikiran Al-Kindi meliputi bidang
yang sangat luas dan beragam. Hampir setiap bidang keilmuan, pasti ada karya
Al-Kindi yang membahas Atau mengulasnya. Pada awalnya, Al-Kindi belajar di
Bashrah, sebuah kota di Iraq yang menjadi pusat pengetahuan dan pergunulan
intelektual dunia, namun demikian ia kemudian menamatkan pendidikannya di
Bagdad.
Di kota yang kini menjadi Ibu kota Iraq modern tersebut,
Al-Kindi berkenalan dengan para pangeran Abbasyiah, seperti Al-Ma’mun dan
Al-Mu’tasim. Lalu Al-Kindi diangkat menjadi guru pribadi Ahmad, putra Al-Makmun
yang darinya ia memperoleh dukungan kuat untuk melahirkan karya-karya besar dibidang
ilmu pengetahuan.
Al-Kindi hidup selama pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu
Al-Amin (809-813M), Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M). Selama kurun waktu itu, Al-Kindi banyak
melahirkan karya dibidang filsafat, matematika (geometri), agama, asrtonomi,
logika dan kedokteran. Diantara karya al-Kindi yang turut meramaikan dunia
pengetahuan adalah Risalah fi masail suila anha min ahwal al-kawakib (jawaban
dari pertanyaan-pertanayaan planet), risalah fi mathrah asy-syu’a (tentang
projeksi sinar), dan risalah fi idhah ‘illat ruju’ al-kawakib (tentang
penjelasan sebab gerak ke belakang planet-planet). Dari sekian banyak ilmu ia
sangat menghargai matematika, hal ini disebabkan matematika bagi Al-Kindi,
adalah mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukadimah ini
sangat penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian
dalam filsafat tanpa terlebih dahulu menguasai matematika. Matematika disini
meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geomeri, dan astronomi. Tetapi yang
paling utama dari seluruh cakupan matematika disini adalah ilmu bilangan atau
aritmatika karena jika bilangn tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun.[2]
Dia adalah filsuf berbangsa
Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama. Diantara Kelebihan Al-Kindi
adalah Menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum muslimin setelah terlebih
dahulu meng islamkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang ada.
B. Pemikiran Filsafat Al-Kindi
1. Perpaduan Filsafat dan Agama
Dalam
buku M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, menjelaskan bahwa di kalangan
kaum Muslimin, orang yang pertama-tama memberikan pengertian filsafat dan
lapangannya ialah Al-Kindi. Dia adalah satu-satunya orang yang berdarah Arab
murni yang terkenal dalam bidang filsafat.[3]
Menurut
Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan Islam. Berdasarkan ini, para
sejarawan Arab awal menyebut Al-Kindi sebagai “Filsof Arab”. Memang,
gagasan-gagasannya itu berasal dari Aristoteliansime Neo-Platonis, namun juga
benar bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks baru. Dengan
mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, dia melatakkan asas-asas
sebuah filsafat baru. Sungguh, perdamaian ini, untuk jangka lama, menjadi ciri
utama filsafat ini. Al-Kindi juga
mengkhususkan diri dalam semua ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya saat
itu, dengan tulisan-tulisannya memberikan cukup bukti dan menjadikan filsafat
sebagai suatu kajian menyeluruh yang
mencakup seluruh ilmu.[4]
Al-Kindi
sebagai filosof pertama dalam Islam, diantara filsafat yang ia majukan ialah
rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Filsafat, menurutnya, membahas tentang
yang benar (al-haqq). Filsafat dalam membahas yang benar, terutama al-haqq
al-awwal (Tuhan) memakai akal, sedang agama dalam menjelaskan hal yang
sama, disamping wahyu, juga akal. Dengan demikian akal tidak hanya dipakai oleh
fisafat saja tetapi juga oleh agama. Atas dasar inilah antara keduanya tidak
bertentangan.[5]
Pada
asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya
adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar
keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan
agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal;
a) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
b) wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran
filsafat saling bersesuaian.
c) menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam
agama,
Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu
tanpa upaya yang keras dan tanpa memerlukan wahyu untuk memperolehnya.
Pengetahuan yang demikian ini adalah pengetahuan yang paling benar dan paling
haqiqi. Pengetahuan tersebut terjadi atas kehendak Allah. Nabi dapat menjawab
suatu pertanyaan dengan tepat dan cepat yang tidak bisa dilakukan oleh para
filosof. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kemungkinan terdapat orang yang
selain Nabi yang memperoleh pengetahuan isyraqi, namun derajatnya di bawah Nabi
dan hal itu terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya. Uraian tersebut
memberikan kesan bahwa pengetahuan para Nabi yang diperoleh dengan wahyu lebih
meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan filosof yang tidak berasal dari
wahyu. Al-Kindi menyadari keadaan dan kemampuan dirinya, dan menyatakan bahwa
kebenaran wahyu tetaplah kebenaran yang paling mutlak dan berada diatas akal
dan lainnya.
Bagi Al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada
al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki,
misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut
menurut Al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān
telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[7]
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam.
Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu
pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab
dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan
dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan
merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa
filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa
ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada
mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai
ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang
selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn
Rusyd.[8]
Menurut Al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari
mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang
lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan
dan merendahkan orang yang menerimanya.[9]
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta
ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang
bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh
para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan
keutamaan yang diridhai-Nya.[10]
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang
tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat
tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha
pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang
hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus memiliki
pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan
dipelajari.[11]
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus
memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya
dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan
sebaik-baiknya.[12]
Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa Al-Kindi merupakan pionir
dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal
dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan
yang besar dan penting di pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan
bagi para filosof Islam yang datang kemudian. Kalau ada perbedaan antara filsafat
dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam cara, sumber, dan ciri-cirinya,
sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan
oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima pengetahuan (ilmu) dengan cara luar
biasa diluar hukum alam.
2. Filsafat Ketuhanan Al-Kindi
Tuhan
menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa,
Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia
hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya,
adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan
tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang
Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan
demikian corak filsafat Al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang
teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu,
sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika,
dan konsep Tuhan.[13]
Menurut
Ahmad Hanafi, persoalan metafisika (ketuhanan) dibicarakan oleh Al-Kindi dalam
beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat
Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”.
Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat
Tuhan.[14]
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga
konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus
ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari
segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[15]
Oleh
karena itu menurut Sayyed Hosein Nasr, sebagaimana yang dinyatakan Al-Kindi,
sebab pertama dapat diekspolarsi, dan akal pertamalah yang mentransmisikan ”pengetahuan
yang paling pasti“ tentangnya, hal tersebut merupakan “bukti tentang
Ketuhanan-Nya dan penjelasan tentang Keesaan-Nya”. Meskipun kepastian
intelektual tentang Tuhan dan Ketuhanan dapat dicapai, Al-Kindi mengakui pada
akhir risalahnya bahwa intelek hanya mampu menggambarkan Tuhan dalam
terma-terma negative[16]
Terma-terma
negatif tentang Tuhan bagi Al-Kindi, gagasan Islam tentang Tuhan adalah
keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua
ciptaan-Nya, ketunggalan-Nya, ketakterlihatan-Nya, ketakterbagian-Nya.
Sifat-sifat ini, dalam Al-Qur’an, dinyatakan tak filosofis atau dialektis.
Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar.
Ia tinggi, Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, Ia tak berjenis, tak
terbagi, tak berkejadian, dan Ia abadi, oleh karena itu, Ia Maha Esa (wahdah).
Selain-Nya berlipat.[17]
Al-Kindi dalam
mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi
membahas hakikat dasar itu. Ia melihat bahwa di alam ini banyak yang benar,
maka pemikirannya sampai kepada kesimpulan bahwa kalau ada yang benar mesti ada
Yang Benar Pertama (Al-Haqq Al-Awwal), mesti ada Yang Maha Benar. Yang
Benar Pertama inilah yang disebut Allah. Dan Ia Satu-satunya Yang Benar (Al-Haqq
Al-Awwal). Ia esa, Ia Unik, dan selain-Nya mengandung banyak arti.[18]
Menurut Al-Kindi Allah
adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia
mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan
tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain
disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak
ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan
tidak dilahirkan.[19]
Filsafatnya tentang
keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis.
Menurut Al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara “juziyyah”
atau “aniyah” (sebagian) maupun hakikat secara “kulliyah” atau
“mahiyah” (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan
tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari
materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak merupakan genus
atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq
al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).
Al-Kindi juga menolak
pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah
merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada
obyek-obyek yang dapat ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.
Al-Kindi dalam
membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
a)
Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan
pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud
dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin, karena alam ini
mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya,
justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda
itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
b)
Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam
alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau
sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan,
tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil
alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi
rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir
tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada
di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
b)
Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini
tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan
pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini.
Itulah adanya Tuhan.[20]
Pertama-tama
Al-Kindi menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya
sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak
terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat
dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda
memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies.[21]
Bagi Al-Kindi Pencipta
itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak berbilang. Maha Suci Dia dan
Maha Tinggi sejauh-jauhnya dari gambaran para penyeleweng agama (al-mulhidun).
Dia tidak menyerupai alam ciptaan; karena sifat banyak itu ada secara nyata
pada setiap ciptaan (al-khalaq), dan sifat itu samasekali tidak ada
pada-Nya. Juga karena Dia itu Pengada, sedangkan semua ciptaan itu diadakan.
Dan karena Dia adalah yang langgeng, sedang yang lain itu tidak langgeng; sebab
yang mengalami perubahan adalah berarti berubah berbagai keadaannya, dan yang
berubah itu tidak langgeng.[22]
3. Filsafat Jiwa (Al-Nafs) dan Akal
Didalam al-Qur’an dan
hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia
tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan manusia
(Lihat Al-Isra (17): 18). Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa
mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani,
kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.[23]
Jiwa atau roh adalah
salah satu pokok pembahasan Al-Kindi, bahkan Al-Kindi adalah filsuf Muslim
pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi berpendapat
bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak
tergantung satu sama lainnya (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70). Jiwa
bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal,
tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting,
sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah.
Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.[24]
Argument tentang beda
jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang
tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini pendapat
Al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan
antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak
membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[25]
Al-Kindi membagi jiwa
atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah)
yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang
terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat
di kepala. Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang
mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi membandingkan
daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya
pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya
seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia
bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan
mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai
sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan
keindahan.[26]
Menurut Al-Kindi, tidak
semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja
yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan
hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh
yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu
senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang
bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus
dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga
sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Selanjutnya Al-Kindi
membagi akal pada empat macam. Ia membagi akal terbiasa menjadi dua: akal yang
memiliki pengetahuan tanpa memprakteknya, dan akal yang mempraktekkan
pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah belajar menulis, dan
karenanya ia memiliki senin menulis ini: sedang yang kedua, seperti orang yang
mempraktekkan seni menulis itu. Pembagian akal itu adalah;
a)
Akal yang selalu bertindak dalam aktualitas (al-‘aql
al-lazi bi al-fi’il Abadan).
b)
Akal yang secara potensial berada di dalam ruh (al-aql
bi al-quwwah).
c)
Akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya
menjadi aktual (acquired intellect).
d)
Akal yang kita sebut akal yang kedua. Akal dalam
bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas,
sebagaimana dipaparkan di atas dalam membedakan antara yang Cuma memiliki
pengetahuan dan yang mempraktekkannya. Ia dapat diibaratkan dengan proses
penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.[27]
Sejarah filsafat yang
berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam
di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah.
Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan
Al-Mu’tasim, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu.
Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara
berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam
metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada
filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama
mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam
yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki
pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya
membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan,
disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran
Islam.
Jika kita mencermati
pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda
dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan
Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya
alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam
untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya.
Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya.
Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa
keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin
terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia
maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran
manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang
terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada
hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi
pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan
akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti
baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia.
Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika
tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan
mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak
bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara
Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya
menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan
pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat
Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari
pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya
sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai
justifikasinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bagian akhir ini,
ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa filsafat Islam adalah hasil dari
asimilasi dari filsafat Yunani, materi atau bahan yang terdapat dalam sistem
filsafat (Islam) ini diambil dari pemikiran Yunani atau deduksi dari pemikiran
tersebut. Oleh karena itu, dalam hal isu dan muatannya, bisa dikatakan semuanya
bersumber dari Yunani, tetapi dalam hal bentuk, sistem ini jelas mendapat cap
Islam. Di dalamnya terkandung orisinalitas yang brilian pada satu pihak, dan
nasibnya yang tragis dalam sejarah Islam pada pihak lain, karena, gagal
memenuhi keinginan kalangan ortodoks maka keberadaannya tidak dijamin. Akan
tetapi tetap merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata
lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk
memahami realitas.
Sebagaimana telah
diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya
banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran
Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis
berpendapat bahwa Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Al-Kindi
adalah seorang filosof Islam yang pertama. Namun yang jelas Al-Kindi telah
berusaha mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih
jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat dalam
filsafat Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof
sesudahnya.
Tetapi bila pemikirannya
dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh
pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Filsafat
Ketuhanan Al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun
di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan Al-Kindi berdasarkan
wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan
sekularisme.
Daftar Pustaka
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1991.
Hossein, Sayyed Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi
Filsafat Islam, Jakarta: Mizan, 2003.
Madjid, Nurcholis (edt), Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nasution,
Harun Islam Rasional,
Gerakan dan Pemikiran, Bandung.
Mizan, 1994.
Poerwantana dkk., Seluk-Beluk Filsafat
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1987.
Rifqi, Sejarah Pemikiran Filsafat Al-Kindi,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina (13 Juni 2013), http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html diakses pada tanggal 14 Mei 2015.
Salam, Abdus Sains dan dunia Islam, Bandung:
Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, 1983.
Supriyadi, Dedi Pengantar Filsafat Islam;
Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarif, M. M. Para Filosof Muslim, Bandung:
Mizan, 1996..
Zainul, Ahmad Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat
Modern, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam dalam
Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban, Padang: IAIN
Imam Bonjol, 2006.
[1]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), h. 73.
[2]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat
Barat Modern
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Cet. 1, h. 47.
[3]M. M. Syarif, Para
Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 14.
[4]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung:
Mizan, 1996), h. 14.
[5]Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam dalam
Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban (Padang: IAIN
Imam Bonjol, 2006). h. 26
[6]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung:
Mizan, 1996), h. 17
[7]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;
Konsep Filsuf dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 63.
[8]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), h. 74.
[9]Abdus Salam, Sains dan dunia Islam
(Bandung: Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, 1983), h. 11.
[11]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 48.
[12]Poerwantana dkk., Seluk-Beluk Filsafat Islam
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1987), h. 103-104.
[13]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi
Filsafat Islam (Jakarta: Mizan,
2003). h.210.
[14]Ahmad Hanafi,, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 77.
[15]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi
Filsafat Islam (Jakarta: Mizan,
2003). h.210.
[16]Sayyed Hossein Nasr, dan Leaman, Oliver (ed) Ensiklopedi
Filsafat Islam (Jakarta: Mizan,
2003). h.213.
[17]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 21.
[19]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 48.
[20]Sirajuddin Zar “Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 53-54.
[21]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;
Konsep Filsuf dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 56.
[22]Nurcholis Madjid, (edt), Khazanah
Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 94.
[23]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 59.
[24]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya, h. 59.
[25]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 60.
[26]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:Filsof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 61.
[27]M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung:
Mizan, 1996), h. 27.
[28]Rifqi, Sejarah Pemikiran Filsafat Al-Kindi,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina (13 Juni 2013), http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html diakses pada tanggal 14 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar