Kamis, 13 Oktober 2016

Metode Penulisan Hadis



                BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dalam rentan waktu yang cukup panjang telah banyak terjadi pemalsuan hadis yang dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.[1]
Maka tidaklah mengherankan jika umat Islam sangat memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis terutama dalam usaha pemeliharaan jangan sampai punah atau hilang bersama dengan hilangnya generasi sahabat, mengingat pada sejarah awal Islam, hadis dilarang ditulis dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran antara al-Quran dan hadis sehingga yang datang kemudian sulit untuk membedakan antara hadis dan al-Quran.[2]
Dalam berbagai riwayat menyebutkan bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak yang menulis hadis secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.[3]
Atas kenyataan inilah maka ulama hadis berusaha membukukan hadis Nabi. Dalam proses pembukuan selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang terbesar diberbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyelesaian terhadap suatu  hadis yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan hadis secara menyeluruh  mengalami waktu yang sangat panjang.
Adapun sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah barulah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz tahun 100 hijriyah, dengan alasan beliau khawatir terhadap hilangnya hadis nabi bersamaan dengan meninggalnya para ulama dimedan perang dan juga khawatir akan bercampurnya hadis-hadis sahih dengan hadis-hadis palsu.
Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan antara tabi’in yang satu dengan lainnya tidak sama, maka dengan jelas memerlukan adanya kodofikasi atau pembukaan hadis.[4]
Sepanjang sejarah, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis, telah melalui proses penelitian yang sangat rumit, baru menghasilkan hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Sebagai implikasi dari penyeleksian dan pembukuan hadis-hadis tersebut maka muncullah berbagai kitab hadis  dengan berbagai macam corak dan metode seperti kitab Al Muwatta (al- musannaf), kitab shahih, kitab sunan, kitab musnad, kitab jami’, dan kitab ajza’.
Kitab-kitab inipun merupakan implikasi dari nuansa dan perbedaan penyusunan dalam menggunakan pendekatan metode, kriteria dan teknik penulisan. Dalam usaha pembukuan hadis tentunya para ulama berbeda dalam  memilih metode yang digunakan sesuai dengan argumen dan latar belakangnya yang  berbeda-beda.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan berbagai pemaparan dalam latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah yaitu:
1.      Hal-hal apa saja yang melatar  belakangi pembukuan hadis?
2.      Apa yang dimaksud dengan metode Musannaf/Muatta’, Musnad, Sunan, Jami’, Shahih, Atraf, Mustakhraj, dan Mustadrak?














BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Pembukuan Hadits
Diantaranya hal-hal yang melatarbelakangi pembukuan hadis adalah:
1.   Karena al-Quran telah dibukukan.
2.   Banyak perawi hadis yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan hadis-hadis akan hilang bersamaan dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap pemeliharaan hadis.
3.   Daerah kekuasaan Islam semakin meluas.
4.   Terjadinya berbagai macam pemalsuan hadis.[5]
Melihat keadaan tersebut khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang berkuasa pada waktu itu berinisiatif untuk melakukan pembukuan hadis-hadis yang masih ada pada para sahabat. Dengan demikian pembukuan hadis secara resmi dilakukan pada waktu itu dan dipelopori oleh dua ulama besar  yaitu Abu Bakar Ibnu Hazm dan Muhammad muslim ibn Syihab Al zuhri.[6]
B. Metode Penyusunan
1.  Mushannaf
Menurut istilah ahli hadis mushannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqhi, yang didalamnya terdapat hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’. Karena mushannaf adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab fiqih, maka Muwatta’ termasuk didalamnya.[7]
Salah satu contoh hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab al muwatta’ karya Imam Malik. Secara eksplisit tidak ada pernyataan  yang tegas tentang metode yang dipakai oleh Imam Malik dalam menghimpun kitabnya al muwatta’, namun secara implicit dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya dapat diketahui bahwa metode yang ia gunakan adalah metode mushannaf atau muwatta’.
Disamping itu Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan penyeleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, kepada sahabat atau fatwa sahabat, fatwa tabi’in, ijma' ahli Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri. Dalam hal ini ada empat  kriteria yang diutarakan oleh Imam Malik dalam mengkritisi para periwayat hadis yaitu:
a.       Periwayat hadis bukan orang yang berprilaku jelek
b.      Bukan ahlul bid’ah.
c.       Bikan orang suka berdusta.
d.      Bukan orang yang tau ilmu tapi enggang mengamalkannya.[8]
Meskipun Imam Malik telah berusaha seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang ia terima untuk dihimpun, tetap saja ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya. Misalnya Sufyan bin Uyainah dan al Suyuti mengatakan seluruh hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik adalah sahih karena diriwayatkan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Abu Bakar Al  Abhari berpendapat tidak semua hadis dalam kitab al muwatta’ sahih, ada yang mursal, mauquf, dan maqtu’. Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kitab All Muwatta’ terdapat 300 hadis mursal dan 70 hadis dhaif. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa didalamnya  terdapat hadis mursal bahkan hadis mungqati’.[9]
Berdasarkan kitab yang telah ditahqiq oleh M. Fuad abdul Baqi’, kitab al muwatta’ Malik terdiri dari 2 juz, 61 bab, dan 1824 hadis. Berbeda dengan pendapat M. Syuhudi Ismail yang mengatakan bahwa kitab almuwatta’ terdiri dari 1804 hadis.[10]
2.  Musnad
Sebuah kitab hadis dinamakan musnad apabila ia memasukkan semua hadis yang pernah ia terima dengan tanpa menerangkan derajat ataupun nyaring hadis-hadis tersebut. Kitab musnad berisi tentang hadis-hadis kumpulan hadis, baik itu hadis shahih, hasan dhaif. Atau kitab hadis yang disusun menurut nama rawi pertama yang menerima dari Rasul selanjutnya sampai pada perawi terakhir.[11] Mencari suatu hadis dalam kitab ini sangatlah rumit, tapi dengan terbitnya Tiftah Kunusi, al-Mu’jam al-Mufahrasy dan Taysirul Manfaah, maka kesukaran itu pun hilang.
Al-masanid yang dibuat oleh para ulama hadis sangatlah banyak. Menurut  al-Kattani jumlahnya sebanyak 82 musnad dan menurutnya lebih banyak dari itu. Adapun Musnad yang terkenal adalah : Musnad Imam Ahmad  Bin Hambal (W 241 H), Musnad Abu Dawud Sulaiman Bin Dawud Ar-rashili (W 204 H), Musnad Abu Bakar Abdullah Bin Azzubair Al-humaidy (W 219 H), dan lain-lain.
Musnad-mussnad ini sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak hanya berisi kumpulan-kumpulan hadis shahih saja, tetapi mencakup semua kualitas hadis dan berurutan sesuai bab fiqhi saja tetapi juga berdasarkan urutan nama sahabat.
Karena kitab Musnad jumlahnya cukup banyak maka dalam menentukan title sahabat  ada yang berdasarkan alphabet atau abjad berdasarkan sahabat yang pertama tama masuk Islam, ada yang berdasarkan Al-asyaratul Mubassyirina Fil Jannah atau sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga dan lain-lain.
Salah satu kitab musnad yang dijadikan kitab Al-ushuliy (sumber) adalah musnad Ahmad Bin Hambal. Musnad Ahmad Bin Hambal termasuk kitab termasyhur yang disusun pada periode tahun kelima perkembangan hadis (abad ketiga Hijriyah). Kitab ini menghimpun dan melengkapi kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan satu kitab yang yang dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin dalam dalam hal agama dan dunia pada masanya. Seperti halnya ulama-ulama  abad ketiga semasanya, Imam Ahmad Bin Hambal menyusun kitab haditsnya secara musnad. Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnadnya tersebut  tidak semua diriwayatkan olehnya, akan tetapi sebagiannya merupakan tambahan dari putranya  Abdullah dan juga Abu Bakar Al-qat’i.
 Musnad Ahmad Bin Hambal memuat 40.000 hadis dan 10.000 diantaranya dengan berulang serta tambahan dari putranya Abdullah dan Abu Bakar Al-qat’i kurang lebih 10.000 hadis.
Secara umum terdapat tiga penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis dalam kitab hadis Musnad Ahmad Bin Hambal antara lain : a) Seluruh hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal dapat dijadikan sebagai Hujjah. b) dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan maudhu’. C) dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih dan dhaif dan mendekati hasan.  Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Zahadi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Taimiyah dan Assuyuti.[12]
3.    Metode Sunan
As-sunan yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqhi dan hanya memuat hadis-hadis yang marfu’ saja agar dijadikan sumber bagi  para Fuqaha dalam mengambil sebuah kesimpulan. As-sunan tidak terdapat pembahasan tentang Sirah, Aqidah, Manaqib, dan lain-lain. As-sunan hanya membahas masalah fiqhi dan hadis-hadis  hukum saja. Al-Kittana mengatakan bahwa susunan kitab sunan  berdasarkan bab-bab tentang fiqhi mulai bab tentang Iman, Tharah, Sholat, Zakat, Puasa, Haji, dan seterusnya.[13]
            Kitab-kitab sunan yang terkenal adalah : Sunan Abu Daud karya Sulaiman Bin Asy’ast As-Sijistani (W 275 H), Sunan An-nasa’i karya Abdurrahman Ahmad Bin Syu’aib An-nasa’I (W 303 H), Sunan Ibnu Majah karya Muhammad Bin Yazid bin Majah Al-Qazwiniy (W 275 H), dan yang lainnya.
            Salah satu kitab yang disusun secara sunan adalah kitab Sunan Abu Dawud. Kitab tersebut disusun berdasarkan fiqhi dan hanya memuat hadis-hadis marfu’ dan tidak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu’, sebab menurutnya keduanya tidak disebut sunnah. Dalam Sunan Abu Dawud terdapat beberapa kitab dan setiap kitab terbagi dalam beberapa bab. Adapun perinciannya adalah : 35 Kitab, 1871 Bab, dan 4800 hadis. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis dalam Sunan Abu Dawud berjumah 5274 hadis.[14]
4.    Metode Jam’i
Jam’i berarti sesuatu yang mengumpulkan, mencakup dan menggabungkan. Kitab Jam’i adalah kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik agama, baik Aqidah, Thaharah, Ibadah, Mu’amalah, pernikahan, Sirah, Riwayat Hidup, Tafsir, Tazkiyatun Nafs, dan Lain-lain.[15] Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib bahwa dalam kitab Jam’i termuat hadis-hadis tentang Hukum, Keutamaan Amal, Tata Pergaulan, Sejarah dan Khabar yang akan datang.[16]
Kitab Jam’i yang terkenal adalah Al-Jam’i Al-Shahih karya Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhariy (W 256 H) yang disusun dengan metode Jam’i yang terdiri dari 97 kitab yang kemudian dibagi menjadi 4550 bab yang dimulai dengan bab wudhu, kemudian kitab iman, kitab Al-‘ilm dan seterusnya dengan jumlah secara kesuluruhan 7275 buah hadis dan termasuk 4000 hadis yang berulang.[17]
5.  Metode Ajza’       
Ajza’ menurut istilah muhaddisin adalah kitab yang disusun untuk menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, baik dari generasi sahabat maupun dari generasi sesudahnya. Seperti Juz Hadis Abu Bakar dan Juz Hadis Malik. Pengertian yang lain adalah kitab hadis yang memuat hadis-hadis tentang tema-tema tertentu, seperti Al-juz’u fi Qiyamil lailiy, karya Al-Marwazi dan Fawaidul Hadisiyah, juga kitab Al-wildan karya Imam Muslim dan Yang lainnya.[18]
6.  Metode Shahih
Kitab hadis dinamakan shahih apabila dalam penulisannya penulis hanya mencantumkan hadis-hadis yang dianggap  shahih saja oleh penulis. Contoh kitab shahih adalah Sahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim.
Kitab shahih Bukhari adalah kitab shahih yang mula-mula membukukan hadis shahih. Kebanyakan ulama hadis telah sepakat menetapkan bahwa kitab shahih Bukhari adalah seshahih shahihnya kitab hadis. Al-Bukhari menyelesaiakn kitab shahihnya dalam kurun waktu 16 tahun. Setiap beliau hendak menulis kitabnya beliu memulai dengan mandi dan beristikharah. Beliau menamai kitab shahihnya dengan al Jamius shahih al Musnadu min Hadisirrasul SAW.
7. Metode Athraf
Yang dimaksud dengan jenis al athraf adalah kumpulan hadis dari beberapa kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat. Penyusunan hanyalah menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya dapat dipahami hadis yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada  yang menulisnya dengan lengkap dan ada yang menulisnya dengan mencantumkan sebagiannya saja.[19]
Kiab athraf juga adalah kitab hadis yang hanya menyebut sebagian dari matan-matan hadis tertentu kemudian  menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya maupun dari kitab lainnya. Kitab ayhraf misalnya: Athrafus Shabilaini karya Ibrahim Ad Dimasyqiy.[20]

8. Metode Mustakhraj.
Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian sipenyusun meriwayatkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya: mustakhraj shahih bukhary susunan Al Jurjaniy.[21]
9. Metode Al Mustadrak.
Penyusun kitab al mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal hadis itu shahih menurut syarat yang dipergunakan oleh ulama tersebut. Salah satu kitab Mustadrak yang terkenal  adalah al Mustadrak ala Shahihaini karya al Hakim al Naisabury (321-405 H).[22]


BAB III
KESIMPULAN
A.  Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan materi diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Diantara hal-hal yang melatarbelakangi pembukuan hadis adalah:
  Karena Al-Qur’an telah dibukukan.
  Banyak perawi hadis yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan hadis-hadis akan hilang dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap pemeliharaan hadis.
  Daerah kekuasaan islam semakin meluas.
  Terjadinya berbagai macam pemalsuan hadis.
2.      Mushannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab  fiqhi, yang didalamnya terdapat hadis marfu’, mauquf dan maqtu’. Karena mushannaf adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab fiqhi, maka muwatta’ termasuk didalamnya.
3.      Dinamakan musnad apabila ia  memasukkan semua hadis yang pernah ia terimah dengan tanpa menerangkan derajat ataupun menyaring hadis-hadis tersebut. Kiitab musnad berisi tentang kumpulan hadis-hadis, baik itu hadis shahih, hasan dan dhaif.
4.      As Sunnah yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab tentang fiqhi, dan hanya memuat hadis-hadis yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber bagi para fuqaha dalam mengambil kesimpulan. As Sunnah tidak terdapat pembahasan tentang sirah, aqidah, manaqib, dan lain-lain.
5.      Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, mencakup dan menggabungkan. Kitab jami’ adalah kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik agama, baik aqidah, tharhah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat  hidup, adab, tafsir, tazkiyatu nafs dan lain-lain.
6.      Ajza’ menurut istilah muhaddisin adalah kitab yang disusun untuk menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu  orang, baik dari generasi sahabat maupun generasi sesudahnya. Seperti Juz  hadis abu Bakar, dan juz hadis Malik. Pengertian yang lain adalah kitab hadis yang memuat hadis-hadis tentang tema-tema tertentu.
7.      Kitab hadis dinamakan shahih apabila didalam penulisannya, penulis hanya mencantumkan hadis-hadis yang dianggap shahih saja oleh penulis. Contoh kitab shahih adalah kitab shahih al-Bukhariy dan kitab shahih Muslim.
8.      Yang dimaksud dengan jenis al athraf adalah kumpulan hadis dari beberapa kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat. Penyusunan hanyalah menyenbutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya dapat dipahami hadis yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada  yang menulisnya dengan lengkap dan ada yang menulisnya dengan mencantumkan sebagiannya saja.
9.      Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis ya ng diriwayatkan oleh Bukhary atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian sipenyusun meriwayatkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya: mustakhraj shahih bukhary susunan Al Jurjaniy.
10.  Penyusun kitab al mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal hadis itu shahih menurut syarat yang dipergunakan oleh ulama tesebut. Salah satu kitab Mustadrak yang terkenal  adalah al Mustadrak ala Shahihaini karaya al Hakim al Naisabury (321-405 H).



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, Studu Kitab Hadis, Cet, I; Yogyakarta : Teras, 2003.
Al-Naisaburiy, Abu Abdillah Al-Hakim, Al-Mustadrak Al-Shahihain, Juz I, Beirut : Dar Al-Fikr, 1918., Siddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jilid II; Cet, VIII; Jakarta : Bulan Bintang,tth)
Al-Shalih, Subhi, Ulumul Hadis wa Mustaluhu, Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1988.
Arifuddin, Ahmad, Paradigama Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I ;Jakarta : Insan Cemerlang,tth)
Ash-Shiddiqiy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet.VIII ;Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Assiba’iy , Mustafa, Al-sunnah Wa Makanatuh fi Altasyri’ Al-Islam, diterjemahkan oleh Nurkholis Madjid dengan judul Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam : Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Cet.I; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992.
As-Syarbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991.
Mahdi, Abdul, Abu Muhammad, Thariq Takhrij Hadis Rasulullah SAW, diterjemahkan oleh Said Agil Husin Munawar dk. Dengan Judul Metode Takhrijul Hadis, (Cet, I; Semarang : Dina Utama Semarang, 1994)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.



[1]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi  (cet.I; Jakarta: Insang Cemerlang,tth), h. 63.
[2]Lihat Mustafa Assiba’iy, Al-Sunnah Wa Makanatuh Fi Altasyriy’ Al Islami, diterjemahkan oleh Nur Kholis Majid dengan judul Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukun Islam :Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (cet,I; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992), h. 32.
[3]Subhi Al-Shalih, Ulumul Hadis Wa Mustalahuhu (Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1988), h. 24.
[4]Munzier Suparta, IlmunHadis (Jakarta : PT Raja Grapindo Prasada, 2006), h. 90.

[5]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu  Hadis  (Cet,II; Bandung: Angkasa, 1991), h. 102.
[6]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu  Hadis, h. 103.
[7]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis (Cet.VIII; Semarang: pustaka rizki putra, 2001), h. 194.
[8]Ahmad As-Syarbbasi, Sejarah dan Biografi Empat Mazhab (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.104.
[9]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.
[10]Ahmad As-Syarbbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Mazhab (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 104.
[11]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.

[12]Subhi Al-Shalih, Ulumul Hadis Wa Mustalahuhu, h. 116.

[13]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadi,  h. 117.
[14]M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis (Cet I; Yogyakarta : teras, 2003), h. 93.
[15]M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadi, h. 83.
[16]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.
[17]M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 50.
[18]M. hasbi As Shiddiqiiy, pokok-pokok ilmu dirayah hadis, (Jilid II; Cet, VIII;J akarta : Bulan Bintang, tth), h. 325.
[19]Abu Muhammad Abduh Mahdi, Thariq Tahkrij Hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, diterjemahkan oleh Said Agil Husin Munawar dk. Dengan judul Metode Tahkrijul Hadis,(cet I; Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 79.
[20]Abu Abdillah al Hakim Al Naisaburiy,  Al Mustadrak  Al Shahihaini, Juz I (Bairut : Dar Al-Fikr, 1918), h. 3.

[21]M. Shudi Ismail, Cara Prakti Mencari Hadis, h. 121.
[22]Abu Abdillah al Hakim Al Naisaburiy,  Al Mustadrak  Al Shahihaini, Juz I, h. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar