BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
rentan waktu yang cukup panjang telah banyak terjadi pemalsuan hadis yang
dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.[1]
Maka
tidaklah mengherankan jika umat Islam sangat memberikan perhatian yang khusus
terhadap hadis terutama dalam usaha pemeliharaan jangan sampai punah atau
hilang bersama dengan hilangnya generasi sahabat, mengingat pada sejarah awal
Islam, hadis dilarang ditulis dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran
antara al-Quran dan hadis sehingga yang datang kemudian sulit untuk membedakan
antara hadis dan al-Quran.[2]
Dalam
berbagai riwayat menyebutkan bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak
yang menulis hadis secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain
dimaksudkan untuk kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.[3]
Atas
kenyataan inilah maka ulama hadis berusaha membukukan hadis Nabi. Dalam proses
pembukuan selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat
yang terbesar diberbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan
penyelesaian terhadap suatu hadis yang akan mereka bukukan. Karena
itu proses pembukuan hadis secara menyeluruh mengalami waktu yang
sangat panjang.
Adapun
sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan
pemerintah barulah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz
tahun 100 hijriyah, dengan alasan beliau khawatir terhadap hilangnya hadis nabi
bersamaan dengan meninggalnya para ulama dimedan perang dan juga khawatir
akan bercampurnya hadis-hadis sahih dengan hadis-hadis palsu.
Dipihak
lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan
antara tabi’in yang satu dengan lainnya tidak sama, maka dengan jelas
memerlukan adanya kodofikasi atau pembukaan hadis.[4]
Sepanjang
sejarah, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis, telah melalui
proses penelitian yang sangat rumit, baru menghasilkan hadis yang diinginkan
oleh para penghimpunnya. Sebagai implikasi dari penyeleksian dan pembukuan
hadis-hadis tersebut maka muncullah berbagai kitab hadis dengan
berbagai macam corak dan metode seperti kitab Al Muwatta (al- musannaf), kitab
shahih, kitab sunan, kitab musnad, kitab jami’, dan kitab ajza’.
Kitab-kitab
inipun merupakan implikasi dari nuansa dan perbedaan penyusunan dalam
menggunakan pendekatan metode, kriteria dan teknik penulisan. Dalam usaha
pembukuan hadis tentunya para ulama berbeda dalam memilih metode
yang digunakan sesuai dengan argumen dan latar belakangnya
yang berbeda-beda.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
berbagai pemaparan dalam latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan
rumusan masalah yaitu:
1. Hal-hal
apa saja yang melatar belakangi pembukuan hadis?
2. Apa
yang dimaksud dengan metode Musannaf/Muatta’, Musnad, Sunan, Jami’, Shahih,
Atraf, Mustakhraj, dan Mustadrak?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Pembukuan Hadits
Diantaranya
hal-hal yang melatarbelakangi pembukuan hadis adalah:
1. Karena
al-Quran telah dibukukan.
2. Banyak perawi
hadis yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan hadis-hadis akan hilang
bersamaan dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak
terlalu menaruh perhatian terhadap pemeliharaan hadis.
3. Daerah
kekuasaan Islam semakin meluas.
4. Terjadinya
berbagai macam pemalsuan hadis.[5]
Melihat
keadaan tersebut khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang berkuasa pada waktu itu
berinisiatif untuk melakukan pembukuan hadis-hadis yang masih ada pada para
sahabat. Dengan demikian pembukuan hadis secara resmi dilakukan pada waktu itu
dan dipelopori oleh dua ulama besar yaitu Abu Bakar Ibnu Hazm dan
Muhammad muslim ibn Syihab Al zuhri.[6]
B. Metode
Penyusunan
1. Mushannaf
Menurut
istilah ahli hadis mushannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab fiqhi, yang didalamnya terdapat hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’.
Karena mushannaf adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab fiqih, maka
Muwatta’ termasuk didalamnya.[7]
Salah
satu contoh hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab al muwatta’ karya
Imam Malik. Secara eksplisit tidak ada pernyataan yang tegas tentang
metode yang dipakai oleh Imam Malik dalam menghimpun kitabnya al muwatta’,
namun secara implicit dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya dapat
diketahui bahwa metode yang ia gunakan adalah metode mushannaf atau muwatta’.
Disamping
itu Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan penyeleksian terhadap
hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, kepada sahabat atau fatwa sahabat,
fatwa tabi’in, ijma' ahli Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri. Dalam hal
ini ada empat kriteria yang diutarakan oleh Imam Malik dalam
mengkritisi para periwayat hadis yaitu:
a.
Periwayat hadis bukan orang yang
berprilaku jelek
b.
Bukan ahlul bid’ah.
c.
Bikan orang suka berdusta.
d.
Bukan orang yang tau ilmu tapi
enggang mengamalkannya.[8]
Meskipun
Imam Malik telah berusaha seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang
ia terima untuk dihimpun, tetap saja ulama hadis berbeda pendapat dalam
memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya. Misalnya Sufyan bin
Uyainah dan al Suyuti mengatakan seluruh hadis yang diriwayatkan oleh imam
Malik adalah sahih karena diriwayatkan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Abu
Bakar Al Abhari berpendapat tidak semua hadis dalam kitab al
muwatta’ sahih, ada yang mursal, mauquf, dan maqtu’. Ibnu Hazm berpendapat
bahwa dalam kitab All Muwatta’ terdapat 300 hadis mursal dan 70 hadis dhaif.
Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa didalamnya terdapat hadis
mursal bahkan hadis mungqati’.[9]
Berdasarkan
kitab yang telah ditahqiq oleh M. Fuad abdul Baqi’, kitab al muwatta’ Malik
terdiri dari 2 juz, 61 bab, dan 1824 hadis. Berbeda dengan pendapat M. Syuhudi
Ismail yang mengatakan bahwa kitab almuwatta’ terdiri dari 1804 hadis.[10]
2.
Musnad
Sebuah
kitab hadis dinamakan musnad apabila ia memasukkan semua hadis yang pernah ia
terima dengan tanpa menerangkan derajat ataupun nyaring hadis-hadis tersebut.
Kitab musnad berisi tentang hadis-hadis kumpulan hadis, baik itu hadis shahih,
hasan dhaif. Atau kitab hadis yang disusun menurut nama rawi pertama yang
menerima dari Rasul selanjutnya sampai pada perawi terakhir.[11]
Mencari suatu hadis dalam kitab ini sangatlah rumit, tapi dengan terbitnya
Tiftah Kunusi, al-Mu’jam al-Mufahrasy dan Taysirul Manfaah, maka kesukaran itu
pun hilang.
Al-masanid
yang dibuat oleh para ulama hadis sangatlah banyak.
Menurut al-Kattani jumlahnya sebanyak 82 musnad dan menurutnya lebih
banyak dari itu. Adapun Musnad yang terkenal adalah : Musnad Imam
Ahmad Bin Hambal (W 241 H), Musnad Abu Dawud Sulaiman Bin Dawud
Ar-rashili (W 204 H), Musnad Abu Bakar Abdullah Bin Azzubair Al-humaidy (W 219
H), dan lain-lain.
Musnad-mussnad
ini sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak hanya berisi kumpulan-kumpulan
hadis shahih saja, tetapi mencakup semua kualitas hadis dan berurutan sesuai
bab fiqhi saja tetapi juga berdasarkan urutan nama sahabat.
Karena
kitab Musnad jumlahnya cukup banyak maka dalam menentukan title
sahabat ada yang berdasarkan alphabet atau abjad berdasarkan sahabat
yang pertama tama masuk Islam, ada yang berdasarkan Al-asyaratul
Mubassyirina Fil Jannah atau sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga dan
lain-lain.
Salah
satu kitab musnad yang dijadikan kitab Al-ushuliy (sumber) adalah musnad Ahmad
Bin Hambal. Musnad Ahmad Bin Hambal termasuk kitab termasyhur yang disusun pada
periode tahun kelima perkembangan hadis (abad ketiga Hijriyah). Kitab ini
menghimpun dan melengkapi kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan
satu kitab yang yang dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin dalam dalam hal
agama dan dunia pada masanya. Seperti halnya ulama-ulama abad ketiga
semasanya, Imam Ahmad Bin Hambal menyusun kitab haditsnya secara musnad.
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnadnya tersebut tidak semua
diriwayatkan olehnya, akan tetapi sebagiannya merupakan tambahan dari
putranya Abdullah dan juga Abu Bakar Al-qat’i.
Musnad
Ahmad Bin Hambal memuat 40.000 hadis dan 10.000 diantaranya dengan berulang
serta tambahan dari putranya Abdullah dan Abu Bakar Al-qat’i kurang lebih
10.000 hadis.
Secara
umum terdapat tiga penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis dalam
kitab hadis Musnad Ahmad Bin Hambal antara lain : a) Seluruh hadis yang
terdapat dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal dapat dijadikan sebagai Hujjah. b)
dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan
maudhu’. C) dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih dan dhaif
dan mendekati hasan. Diantara mereka yang berpendapat demikian
adalah Al-Zahadi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Taimiyah dan Assuyuti.[12]
3. Metode
Sunan
As-sunan
yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqhi dan hanya
memuat hadis-hadis yang marfu’ saja agar dijadikan sumber bagi para
Fuqaha dalam mengambil sebuah kesimpulan. As-sunan tidak terdapat pembahasan
tentang Sirah, Aqidah, Manaqib, dan lain-lain. As-sunan hanya membahas masalah
fiqhi dan hadis-hadis hukum saja. Al-Kittana mengatakan bahwa
susunan kitab sunan berdasarkan bab-bab tentang fiqhi mulai bab
tentang Iman, Tharah, Sholat, Zakat, Puasa, Haji, dan seterusnya.[13]
Kitab-kitab
sunan yang terkenal adalah : Sunan Abu Daud karya Sulaiman Bin Asy’ast
As-Sijistani (W 275 H), Sunan An-nasa’i karya Abdurrahman Ahmad Bin Syu’aib
An-nasa’I (W 303 H), Sunan Ibnu Majah karya Muhammad Bin Yazid bin Majah
Al-Qazwiniy (W 275 H), dan yang lainnya.
Salah
satu kitab yang disusun secara sunan adalah kitab Sunan Abu Dawud. Kitab
tersebut disusun berdasarkan fiqhi dan hanya memuat hadis-hadis marfu’ dan
tidak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu’, sebab menurutnya keduanya tidak
disebut sunnah. Dalam Sunan Abu Dawud terdapat beberapa kitab dan setiap kitab
terbagi dalam beberapa bab. Adapun perinciannya adalah : 35 Kitab, 1871 Bab,
dan 4800 hadis. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis dalam Sunan Abu Dawud
berjumah 5274 hadis.[14]
4. Metode
Jam’i
Jam’i
berarti sesuatu yang mengumpulkan, mencakup dan menggabungkan. Kitab Jam’i adalah
kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik agama, baik
Aqidah, Thaharah, Ibadah, Mu’amalah, pernikahan, Sirah, Riwayat Hidup, Tafsir,
Tazkiyatun Nafs, dan Lain-lain.[15]
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib bahwa dalam kitab Jam’i termuat hadis-hadis
tentang Hukum, Keutamaan Amal, Tata Pergaulan, Sejarah dan Khabar yang akan
datang.[16]
Kitab
Jam’i yang terkenal adalah Al-Jam’i Al-Shahih karya Abu Abdillah Muhammad
Bin Ismail Al-Bukhariy (W 256 H) yang disusun dengan metode Jam’i yang terdiri
dari 97 kitab yang kemudian dibagi menjadi 4550 bab yang dimulai dengan bab
wudhu, kemudian kitab iman, kitab Al-‘ilm dan seterusnya dengan jumlah secara
kesuluruhan 7275 buah hadis dan termasuk 4000 hadis yang berulang.[17]
5.
Metode Ajza’
Ajza’
menurut istilah muhaddisin adalah kitab yang disusun untuk menghimpun
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, baik dari generasi sahabat
maupun dari generasi sesudahnya. Seperti Juz Hadis Abu Bakar dan Juz Hadis
Malik. Pengertian yang lain adalah kitab hadis yang memuat hadis-hadis tentang
tema-tema tertentu, seperti Al-juz’u fi Qiyamil lailiy, karya Al-Marwazi dan
Fawaidul Hadisiyah, juga kitab Al-wildan karya Imam Muslim dan Yang lainnya.[18]
6.
Metode Shahih
Kitab
hadis dinamakan shahih apabila dalam penulisannya penulis hanya mencantumkan
hadis-hadis yang dianggap shahih saja oleh penulis. Contoh kitab
shahih adalah Sahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim.
Kitab
shahih Bukhari adalah kitab shahih yang mula-mula membukukan hadis shahih.
Kebanyakan ulama hadis telah sepakat menetapkan bahwa kitab shahih Bukhari
adalah seshahih shahihnya kitab hadis. Al-Bukhari menyelesaiakn kitab shahihnya
dalam kurun waktu 16 tahun. Setiap beliau hendak menulis kitabnya beliu memulai
dengan mandi dan beristikharah. Beliau menamai kitab shahihnya dengan al Jamius
shahih al Musnadu min Hadisirrasul SAW.
7. Metode
Athraf
Yang
dimaksud dengan jenis al athraf adalah kumpulan hadis dari beberapa kitab
induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadis yang diriwayatkan
oleh setiap sahabat. Penyusunan hanyalah menyebutkan beberapa kata atau
pengertian yang menurutnya dapat dipahami hadis yang dimaksud. Sedangkan
sanad-sanadnya terkadang ada yang menulisnya dengan lengkap dan ada
yang menulisnya dengan mencantumkan sebagiannya saja.[19]
Kiab
athraf juga adalah kitab hadis yang hanya menyebut sebagian dari matan-matan
hadis tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu,
baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya maupun dari
kitab lainnya. Kitab ayhraf misalnya: Athrafus Shabilaini karya
Ibrahim Ad Dimasyqiy.[20]
8. Metode
Mustakhraj.
Mustakhraj
adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary
atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian sipenyusun meriwayatkan
matan-matan hadis tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
mustakhraj shahih bukhary susunan Al Jurjaniy.[21]
9. Metode
Al Mustadrak.
Penyusun
kitab al mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang
tidak dimuat didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal hadis itu shahih
menurut syarat yang dipergunakan oleh ulama tersebut. Salah satu kitab
Mustadrak yang terkenal adalah al Mustadrak ala Shahihaini karya al
Hakim al Naisabury (321-405 H).[22]
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari
berbagai pemaparan materi diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Diantara
hal-hal yang melatarbelakangi pembukuan hadis adalah:
Karena Al-Qur’an
telah dibukukan.
Banyak perawi hadis
yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan hadis-hadis akan hilang dengan
wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak terlalu menaruh
perhatian terhadap pemeliharaan hadis.
Daerah kekuasaan
islam semakin meluas.
Terjadinya berbagai
macam pemalsuan hadis.
2. Mushannaf
adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqhi,
yang didalamnya terdapat hadis marfu’, mauquf dan maqtu’. Karena mushannaf
adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab fiqhi, maka muwatta’ termasuk
didalamnya.
3. Dinamakan
musnad apabila ia memasukkan semua hadis yang pernah ia terimah
dengan tanpa menerangkan derajat ataupun menyaring hadis-hadis tersebut. Kiitab
musnad berisi tentang kumpulan hadis-hadis, baik itu hadis shahih, hasan dan
dhaif.
4. As
Sunnah yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab tentang fiqhi, dan hanya
memuat hadis-hadis yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber bagi para
fuqaha dalam mengambil kesimpulan. As Sunnah tidak terdapat pembahasan tentang
sirah, aqidah, manaqib, dan lain-lain.
5. Jami’
berarti sesuatu yang mengumpulkan, mencakup dan menggabungkan. Kitab jami’
adalah kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik
agama, baik aqidah, tharhah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah,
riwayat hidup, adab, tafsir, tazkiyatu nafs dan lain-lain.
6. Ajza’
menurut istilah muhaddisin adalah kitab yang disusun untuk menghimpun
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, baik dari generasi
sahabat maupun generasi sesudahnya. Seperti Juz hadis abu Bakar, dan
juz hadis Malik. Pengertian yang lain adalah kitab hadis yang memuat
hadis-hadis tentang tema-tema tertentu.
7. Kitab
hadis dinamakan shahih apabila didalam penulisannya, penulis hanya mencantumkan
hadis-hadis yang dianggap shahih saja oleh penulis. Contoh kitab shahih adalah
kitab shahih al-Bukhariy dan kitab shahih Muslim.
8. Yang
dimaksud dengan jenis al athraf adalah kumpulan hadis dari beberapa kitab
induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadis yang diriwayatkan
oleh setiap sahabat. Penyusunan hanyalah menyenbutkan beberapa kata atau
pengertian yang menurutnya dapat dipahami hadis yang dimaksud. Sedangkan
sanad-sanadnya terkadang ada yang menulisnya dengan lengkap dan ada
yang menulisnya dengan mencantumkan sebagiannya saja.
9. Mustakhraj
adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis ya ng diriwayatkan oleh
Bukhary atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian sipenyusun
meriwayatkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda.
Misalnya: mustakhraj shahih bukhary susunan Al Jurjaniy.
10. Penyusun kitab al
mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat
didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal hadis itu shahih menurut syarat
yang dipergunakan oleh ulama tesebut. Salah satu kitab Mustadrak yang
terkenal adalah al Mustadrak ala Shahihaini karaya al Hakim al
Naisabury (321-405 H).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, Studu Kitab Hadis, Cet, I;
Yogyakarta : Teras, 2003.
Al-Naisaburiy, Abu Abdillah Al-Hakim, Al-Mustadrak
Al-Shahihain, Juz I, Beirut : Dar Al-Fikr, 1918., Siddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadis, (Jilid II; Cet, VIII; Jakarta : Bulan Bintang,tth)
Al-Shalih, Subhi, Ulumul Hadis wa Mustaluhu, Dar
Al-Ilm Al-Malayin, 1988.
Arifuddin, Ahmad, Paradigama Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I
;Jakarta : Insan Cemerlang,tth)
Ash-Shiddiqiy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, Cet.VIII ;Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Assiba’iy , Mustafa, Al-sunnah Wa Makanatuh fi Altasyri’
Al-Islam, diterjemahkan oleh Nurkholis Madjid dengan judul Sunnah
dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam : Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Cet.I;
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992.
As-Syarbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat
Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Cet. II;
Bandung: Angkasa, 1991.
Mahdi, Abdul, Abu Muhammad, Thariq Takhrij Hadis
Rasulullah SAW, diterjemahkan oleh Said Agil Husin Munawar dk. Dengan
Judul Metode Takhrijul Hadis, (Cet, I; Semarang : Dina Utama
Semarang, 1994)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2006.
[1]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi (cet.I; Jakarta: Insang Cemerlang,tth), h.
63.
[2]Lihat Mustafa Assiba’iy, Al-Sunnah Wa
Makanatuh Fi Altasyriy’ Al Islami, diterjemahkan oleh Nur Kholis Majid
dengan judul Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukun Islam :Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni (cet,I; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992), h. 32.
[3]Subhi
Al-Shalih, Ulumul Hadis Wa Mustalahuhu (Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1988),
h. 24.
[4]Munzier Suparta, IlmunHadis (Jakarta
: PT Raja Grapindo Prasada, 2006), h. 90.
[5]Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis (Cet,II; Bandung:
Angkasa, 1991), h. 102.
[6]Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, h. 103.
[7]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis (Cet.VIII; Semarang: pustaka rizki putra, 2001), h. 194.
[8]Ahmad As-Syarbbasi, Sejarah
dan Biografi Empat Mazhab (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.104.
[9]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.
[10]Ahmad As-Syarbbasi, Sejarah
Dan Biografi Empat Mazhab (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 104.
[11]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.
[12]Subhi Al-Shalih, Ulumul
Hadis Wa Mustalahuhu, h. 116.
[13]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadi, h. 117.
[14]M. Abdurrahman, Studi Kitab
Hadis (Cet I; Yogyakarta : teras, 2003), h. 93.
[15]M. Abdurrahman, Studi Kitab
Hadi, h. 83.
[16]M. Hasbi Ash shiddiqiy, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis, h. 196.
[17]M. Abdurrahman, Studi Kitab
Hadis, h. 50.
[18]M. hasbi As Shiddiqiiy, pokok-pokok
ilmu dirayah hadis, (Jilid II; Cet, VIII;J akarta : Bulan Bintang,
tth), h. 325.
[19]Abu Muhammad Abduh Mahdi, Thariq
Tahkrij Hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, diterjemahkan
oleh Said Agil Husin Munawar dk. Dengan judul Metode Tahkrijul Hadis,(cet
I; Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 79.
[20]Abu Abdillah al Hakim Al
Naisaburiy, Al Mustadrak Al
Shahihaini, Juz I (Bairut : Dar Al-Fikr, 1918), h. 3.
[21]M. Shudi Ismail, Cara
Prakti Mencari Hadis, h. 121.
[22]Abu Abdillah al Hakim Al
Naisaburiy, Al Mustadrak Al
Shahihaini, Juz I, h. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar