Minggu, 23 Oktober 2016

HADIS SAHIH DAN HASAN



HADIS SAHIH DAN HASAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
       Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadis juga merupakan keharusan bagi setiap muslim. Karena untuk beramal dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi, seseorang minimal harus mengetahui hal-hal yang diajarkan di dalamnya. Di samping memahami dan mengkaji hadis, mempelajari ilmu hadis juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang terkait dengan hadis Nabi khususnya dari segi dapat tidaknya di jadikan hujjah atau dalil agama Islam.[1]
       Diantara pembahasan yang sangat penting dalam ilmu hadis yang harus diketahui adalah pembagian hadis, baik di tinjau dari segi kuantitas sanadnya maupun dari segi Kualitasnya. Dilihat dari kuantitas sanadnya hadis dapat di klasifikasikan menjadi hadis Mutawatir dan ahad. Sedangkan jika ditinjau dari segi kualitas maka hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis Sahih, hasan, dha’if dan maudhu.
        Dalam bahasan makalah yang singkat ini, penulis hanya akan mengulas secara singkat seputar permasalahan hadis sahih dan hasan.

                                                                                            
B.    Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
  1. Apakah pengertian, syarat-syarat, pembagian, serta bagaimana kehujjahan hadis sahih?
  2. Apakah pengertian, pembagian, serta bagaimana kehujjahan hadis hasan?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Sahih
1.      Pengertian Hadis Sahih
Kata sahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Para ulama biasa menyebut kata sahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka hadit sahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah dan sempurna, dan yang tidak sakit.[2]
Dr. Mahmud Thohhan, dalam kitabnya Taysir Mushtholah Hadis[3] menyebutkan  bahwa,  Sahih Secara bahasa berarti “  " ضِدُّ السَّقَمِ  lawan dari sakit.
Sedangkan menurut istilah beliau mengatakan :
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا عِلَّةٍ
Artinya: “ Hadis yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang ‘adil lagi dhabit dari orang yang semisal dengannya ( adil dan dhabit) sampai pada ujungnya tanpa syadz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).

Dalam kitab ‘Ulumul Hadis, Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis sahih, beliau mengatakan :
أَمَّا الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ : فَهُوَ الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الَّذِي يَتَّصِل ُإِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّلاً. [4]
Artinya: “Adapun hadis sahih ialah hadis yang disandarkan kepada Nabi  Shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil lagi dhabit diterima dari orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) sampai akhir sanad, tidak syadz (tidak ada kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat ( cacat ).”[5]
Ibnu Hajar al-‘Atsqalani mendefinisikan hadis sahih yaitu :
مَارَوَاهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلِ وَ لَا شَاذٍ
Artinya : “ Hadis yang diriwayatkan oleh oarang yang adil, sempurna ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak bersyadz.[6]

Menurut Imam Nawawi, sebagaimana yang disebutkan oleh M. Syuhudi Ismail, Hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith, serta tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan cacat.[7]
Dalam Muqaddimah at Thariqoh al Muhammadiyah sebagaimana disebutkan oleh M. Hasby as Shiddieqy, di jelaskan bahwa hadis sahih :
مَا سَلِمَ لَفْظُهُ مِنْ رَكَاكَةٍ وَ مَعْنَاهُ مِنْ مُخَالَفَةِ اَيَةٍ, أَوْ خَبَرُ مُتَوَاتِرٍ أَوْ إِجَمَاعٍ. وَكَانَ رُوَاتُهُ عُدُوْلاً
Artinya: “ Hadis yang sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil “.[8]

Dari definisi-definisi yang diutarakan oleh para ulama tentang hadis sahih di atas walaupun dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis sahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan sahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke Rasulullah Shallaahu ‘alaihi washallam, dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syadz (kejanggalan) maupun ‘illat ( cacat ).


2.      Syarat- syarat Hadis Sahih
Sebuah hadis dikatakan sebagai hadis Sahih, jika memenuhi 5 syarat, yaitu : sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi washallam, diriwayatkan oleh orang yang adil, diriwayatkan oleh orang yang dhabit (memiliki hafalan yang kuat), terhindar dari Syadz dan bebas dari ‘illat.[9]
a.      Sanad Bersambung ( إِتِّصَالُ السَّنَدِ )
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah sanad hadis itu sejak dari mukharrijnya ( yang mengeluarkan atau menghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai kepada Nabi tidak ada yang terputus.[10] Dimana tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu. Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij hadis (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang  menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi.[11]
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut     M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a)      Mencatat semua nama periwayat dalam sanad hadis yang diteliti
b)      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat, yang dilakukan:
1)      Melalui kitab-kitab rijal al-hadis, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Atsqalani, dan kitab al-Kasyif oleh muhammad Ibn al-Dzahabi.
2)      Hal itu dimaksudkan untuk :
                                                  a.      Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang tsiqoh ( adil dan dhabith), serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat).
                                                  b.      Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis.
                                                  c.      Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni kata-kata atau metode yang dipakai dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarabana, akhbarani, sami’tu, sami’na dan sebagainya[12].
b.      Periwayat Bersifat ‘Adil (Kredibel)
Menurut mahmud Thohhan seseorang disebut ‘adil apabila;
a)      Beragama Islam
b)      Telah balig
c)      Berakal
d)     Tidak Fasiq ( bukan pelaku maksiat )
e)      Tidak melanggar muru’ah ( estetika atau kehormatan diri ) [13]
Sedangkan menurut M. Syuhudi Ismail kriteria-kriteria periwayat yang bersifat ‘adil adalah:
a.       Istiqomah dalam agamanya ( Islam )
b.      Akhlaknya baik
c.       Tidak fasiq ( antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar )
d.      Memelihara muru’ahnya ( memelihara kehormatan dirinya ) [14]
Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara, yaitu :
1.      Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan ke-‘adil-annya.
2.      Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-ta’dil) dan kekurangannya (al-tarjih) yang ada pada diri periwayat hadis.
3.      Penerapan kaidah al jarh wa ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[15]

c.       Periwayat Hadis Bersifat Dhabith
Secara sederhana kata dhabith dapat diartikan kuat hafalan. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dhabith-an terkait dengan kualitas intelektual. Antara sifat adil dan sifat dhabith terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur, amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya, orang yang mampu memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadis keadilan dan ke-dhabith-an periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. [16]
Dikalangan ulama, pengertian dhabith dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn Hajar al-‘Atsqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang dikatakan dhabith adalah orang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki . Muhammad Abu Zahrah berpendapat, seseorang disebut dhabith apabila mampu mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna , sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik. Sementara itu, Shubhi al-Shalih menyatkan bahwa orang yang dhabith adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman yang mendetail kemudian hafal secara sempurna; dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari mendengar riwayat itu sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[17] 
Adapun cara untuk mengetahui ke-dhabith-an periwayat hadis menurut berbagai pendapat ulama adalah :
1.      Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama;
2.      Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah;
3.      Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi.[18]
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya (teks book) ia disebut dhabith kitab.



d.      Terhindar Dari Syadz (Kejanggalan)
Menurut istilah ulama hadis, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadis. Menurut al- Syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung Syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. [19]
e.       Terhindar dari ‘Illat
Secara bahasa kata ‘illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit, dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn al-Shalah, al-Nawawi dan Nur Al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada zahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih[20].
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan diantara para periwayatnya, dan memperhtikan status hafalan, keteguhan, dan ke-dhabith-an masing-masing periwayat. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang mampu meneliti ‘illat  hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat, dan ahli di bidang sanad dan matan hadis.[21]
Menurut Mahmud al-Thahhan, kriteria yang membantu untuk mengetahui suatu hadis yang mengandung ‘illat adalah sebagai berikut :
1.      Periwayatnya menyendiri;
2.      Periwayat lain bertentangan dengannya;
3.      Qorinah-qorinah (indikasi) lain yang terkait dengan dua unsur diatas.[22]
Contoh hadis sahih : [23]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرٍ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِا الطُّوْرِ. أخرجه البخاري.
Hadis ini adalah hadis yang sahih, karena telah memenuhi kriteria hadis sahih yaitu:
-          Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah shallaahu ‘alaihi wasallam
-          Para periwayatnya adalah orang-orang yang ‘adil dan dhabith.
Inilah Penilaian para ulama kritikus hadis terhadap mereka :
(1)   Abdullah bin Yusuf  : seorang yang tsiqoh dan kuat hafalannya
(2)   Malik bin Anas : seorang imam yang hafidz ( penghafal yang kuat)
(3)   Ibnu Syihab az-Zuhry : seorang yang faqih, hafidz yang disepakati kehebatan dan kekuatan hafalannya
(4)   Muhammad bin Jubair : seorang yang tsiqoh
(5)   Jubair bin Muth’im : sahabat Nabi
-          Hadisnya tidak Syadz ( tidak ada kejanggalan ) karena tidak ada yang menyelisinya dari hadis-hadis yang lebih kuat kesahihannya.
-          Tidak ada ‘illat (cacat) padanya.
3.      Pembagian Hadis Sahih
            Para ulama hadis membagi hadis sahih menjadi dua macam:[24]
a.         Sahih Li Dzatihi ( صَحِيْحٌ لِذَاتِهِ )
Yaitu hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis sahih yang lima sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu hadis yang sanadnya bersambung, periwayatnya ‘adil dan dhabith, serta terlepas dari syadz dan ‘illat.   
b.         Sahih Li Ghairihi ( صَحِيْحٌ لِغَيْرِهِ )
Yaitu hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya hadis sahih lain. Pada mulanya hadis kategori ini memiliki kelemahan berupa periwayat yang kurang dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis sahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih lidzatihi, maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi sahih lighairihi. Dengan kata lain, hadis sahih   lighairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena ada hadis sahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis sahih.
     Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya yang diistilahkan oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid (sanad yang paling sahih).
Adapun  mata rantai sanad yang disebut oleh para ulama dengan istilah “ Ashahhul asanid atau silsilatudz dzahab ) adalah :
1.      Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radiallahu ‘anhu ( menurut Imam Al Bukhari ini jalur yang paling sahih)
2.      Az-Zuhri dari Salim ibnu Abdullan bin umar dari ayahnya ( Abdullah bin umar Radiallahu ‘anhu)
3.      Zainul Abidin dari Hasan dari Ali ibn Abi Thalib ( Zainul abidin ‘an abihi ‘an jaddihi )
4.      Muhammad bin sirin dari Abdullah bin ‘amr dari Ali bin abi Thalib
5.      Ibrahim an-Nakha’i dari ‘al-Qomah dari Ibnu Mas’ud[25]

Adapun urutan tingkatan kualitas kesahihah hadis jika dilihat dari segi yang mengeluarkan atau meriwayatkan hadis tersebut dan menghimpunya dalam kitab-kitab hadis adalah sebagai berikut:[26]
1)      Hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaihi)
2)      Hadis yang di riwayatkan oleh Imam al Bukhari saja
3)      Hadis yang di riwayatkan oleh Imam Muslim saja
4)      Hadis yang sesuai dengan syarat sahihnya al Bukhari dan Muslim namun keduanya tidak meriwayatkannya
5)      Hadis yang sesuai dengan syarat sahihnya al Bukhari namun beliau tidak meriwayatkannya
6)      Yang sesuai dengan syaratnya Muslim namun beliau tidak meriwayatkannya
7)      Hadis yang dinilai sahih oleh ulama-ulama hadis yang lain selain al Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban yang syarat sahihnya tidak sesui dengan syarat al Bukhari dan Muslim
4.      Kehujjahan Hadis Sahih.
Jumhur ulama sepakat bahwa hadis sahih adalah hujjah ( landasan) dalam persoalan hukum syariat islam sehingga wajib diamalkan. Adapun dalam persoalan akidah ulama berbeda pendapat, diantara mereka ada yang menyatakan bahwa hadis sahih dapat saja digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah akidah. Alasannya karena hadis sahih memberikan faidah ilmu dan faidah ilmu wajib untuk diamalkan, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara persoalan akidah ataupun bukan akidah. Adapun pendapat yang kedua mengatakan hadis sahih tidak bisa di jadikan landasan pokok dalam persoalan akidah karena ia adalah hadis ahad dan hadis ahad sifatnya dzanny (dugaan) sedangkan persoalan akidah adalah adalah persoalan keyakinan.[27]
Penulis sepakat dengan kelompok ulama yang pertama yang berpendapat bahwa hadis ahad yang memenuhi syarat sahih adalah hujjah ( landasan ) dalam persoalan hukum sehingga wajib untuk di amalkan maupun dalam persoalan akidah sehingga wajib untuk di imani atau di yakini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fatawa Al ‘Aqidah ketika menjelaskan kekeliruan pendapat yang tidak menerima hadis ahad yang sahih dalam persoalan akidah dengan argumentasi sebagai berikut :
1.      Pendapat ulama yang menyatakan hadits ahad hanya berfaidah zhann (persangkaan) tidaklah mutlak. Bahkan khabar ahad  bisa berfaidah yakin apabila ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan benarnya khabar tersebut. Sebagaimana telah sepakat ummat untuk menerima hadits-hadits (yang sahih) tersebut. Misalnya hadits Umar ibn Al Khathab radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya”
ini khabar ahad, padahal kita telah yakin dan mengetahui bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam-lah yang mengucapkannya. Inilah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Al Hafizh Ibn Hajar, dan selainnya.
2.      Bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam telah mengutus beberapa shahabat seorang diri untuk menjelaskan pokok-pokok aqidah, yaitu persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah, dan mengutusnya sebagai hujjah yang tetap. Sebagaimana diutusnya Mu’adz ke Yaman, dan pengutusan beliau adalah hujjah yang ditetapkan bagi penduduk Yaman agar menerimanya.
3.      Apabila kita katakan bahwa masalah aqidah tidak bisa ditetapkan dengan khabar ahad, dapatlah kita katakan: masalah syariat juga tidak bisa ditetapkan dengan khabar ahad juga. Karena masalah praktik hukum amaliyah beriringan dengan aqidah bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan hal tersebut, atau melarang sesuatu hal. Apabila argumen ini diterima, maka tertolaklah berbagai hal dalam masalah syariat. Dan apabila argumen ini ditolak, maka tertolaklah pula pendapat bahwa aqidah tidak bisa ditetapkan melalui khabar ahad. Karena tidak ada beda antara keduanya.
Alhasil, khabar ahad apabila menunjukkan indikasi kebenarannya, menghasilkan ilmu. Khabar ahad menjadi argumen yang valid dalam perkara amaliyah maupun ilmiyah. Tidak ada satu pun dalil untuk membedakan keduanya. Barangsiapa yang menisbatkan hal tersebut kepada para imam dalam agama ini, tentang pembedaan antara keduanya maka ia harus menunjukkan sanad yang shahih, kemudian menjelaskan dalil tersebut.
4.      Bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk kembali pada perkataan ahli ilmu, bagi siapa saja yang jahil, tidak tahu atau bodoh, dan hal ini adalah di antara masalah yang agung dalam aqidah, yaitu risalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ * بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
Terjemahannya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab” (QS. An Nahl: 43-44).

           






B.     Hadis Hasan
1.      Pengertian Hadis Hasan
Hasan secara bahasa berarti :
مَا تَمِيْلُ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَ تَرْتَاحُ إِلَيْهِ
Artinya: “ yang dirindui nafsu (jiwa) dan yang disenanginya “[28]
Orang yang pertama kali memopulerkan istilah hadis hasan adalah al-Turmudzi. Ia mendefinisikan hadis Hasan dengan :
كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مِنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ الْحَدِيْثُ شَاذاً وَ يُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهِ نَحْوِ ذَلِكَ
Artinya: “ Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.

Ibnu Hajar al-‘Atsqalani mendifiniskan hadis hasan yaitu :
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya: “ Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat dan tidak pula mengandung syadz.[29]
Menurut Subhi Shalih dan M. Syuhudi Ismail, Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun tidak terlalu kuat ingatannya  dan terhindar dari keganjilan serta penyakit.[30]
Dengan demikian hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja pada hadis hasan diantara salah seorang periwayatnya ada yang kurang dhabith, sedangkan pada hadis sahih seluruh periwayatnya dhabith.[31]
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis sahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat ke-dhabith-annya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis sahih.
Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.    Sanad hadis harus bersambung.
b.   Perawinya adil
c.    Perawinya mempunyai sifat dhabith namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis sahih ( خَفِيْفُ الضّبْطِ )
d.   Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.    Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[32]
Contoh hadis Hasan : [33]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَة حَدَّثَنَا جَعْفَر بن سُلَيْمَان الَضُبَعي عَنْ أَبِي عِمْرَان الجَوْني عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي مُوْسى الأَشْعَرِي قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُو يَقٌوْل : قَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْه وسَلَّم : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوْفِ .... الِحَدِيْث .) أَخْرَجَهُ الترمذي   (
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kemi Qutaibag, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’i dari Aby ‘Imran al-Jauny dari Aby Bakr bin Aby Musa al-Asy’ari dia berkata: sayat telah mendengar Ayah saya ketika berhadapan dengan musuh (di medan perang) berkata : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga berada dibawah naungan pedang-pedang.......” (Hadis ini di keluarkan oleh At Tirmidzy).
            Hadis ini adalah hadis hasan karena seluruh periwayat hadits ini tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman, kata para ulama beliau hasan al hadis ( tingkat kedhabitan beliau agak rendah).
2.      Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.         Hadis hasan li dzatihi ( حَسَنٌ لِذَاتِهِ )
         Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.         Hadis hasan li ghairihi ( حَسَنٌ لِغَيْرِهِ )
         Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab ke-dha’if-annya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[34]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.                                                     
3.      Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis sahih, meskipun derajatnya dibawah hadis sahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini.[35]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah yang penulis paparkan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1.      Hadis Sahih
  1. Hadis sahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabith dari orang yang adil lagi dhabith pula, sampai ujungnya, tidak syaz (janggal) dan tidak mu’allal (cacat).
  2. Syarat-syarat hadis sahih ada lima, yaitu :
a)      Sanadnya bersambung
b)      Para perawinya adil
c)      Para perawinya dhabith
d)     Tidak Syadz (janggal)
e)      Terhindar dari ‘illat (cacat).
  1. Hadis sahih terbagi atas dua:
1) sahih lidzatihi;
2) sahih li ghairihi.
  1. Hadis sahih adalah hujjah (landasan) dalam persoalan hukum yang wajib untuk diamalkan demikian pula dalam persoalan ‘aqidah sehingga wajib untuk di yakini.


2.      Hadis Hasan
  1. Hadis hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syadz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis sahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
1)      hasan li dzatihi
2)      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis sahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis sahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan             hukum maupun dalam beramal.
B.      SARAN DAN KRITIK
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PURSTAKA
Idri, Studi Hadis, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2010
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,1977
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Cet. XX; Bandung: Angkasa, 1987
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, jilid 1, Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Thohhan, Mahmud,  Taysir Mushtholah Hadis, Cet. VIII; Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1987
Sholah, Ibnu, ‘Ulumul Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001





[1] Idri, Studi Hadis, (Cet.1: Jakarta, Kencana, 2010) h. v
[2] Idri, Studi Hadis, h. 157
[3] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, ( Cet: VIII: Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1987) h. 34
[4] Ibnu Sholah, ‘Ulumul Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), h. 11-12
[5] Lihat Idri, Studi Hadis, h. 158
[6] Idri, Studi Hadis, h. 158
[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet: X, Bandung, Angkasa, 1987) h. 179
[8] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Cet:VII, Jilid. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1987), h. 109
[9] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, ( Cet: VIII: Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1987) h. 35
[10] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h. 179
[11]Lihat  Idri, Studi Hadis, h. 160
[12]Idri, Studi Hadis, h. 161-162
[13] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 34
[14] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h. 179
[15] Idri, Studi Hadis, h. 163

[16] Idri, Studi Hadis, h. 164-165

[17] Idri, Studi Hadis, h. 165
[18] Idri, Studi Hadis, h. 167
[19] Idri, Studi Hadis, h. 168
[20] Idri, Studi Hadis, h. 170
[21] Idri, Studi Hadis, h. 171
[22] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 101
[23] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 35-36
[24] Lihat Idri, Studi Hadis, h. 172-173
[25] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h.119
[26] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 43-44

[27] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 158
[28] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 161
[29] Lihat Idri, Studi Hadis, h. 159, dan M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.182
[30] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Cet. I : Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993) h.142
[31] Idri, Studi Hadis, h. 159
[32] Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
[33]Lihat,  Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 46-47
[34] Nawir Yuslem, Ulumul hadis h. 230
[35] Nawir Yuslem, Ulumul hadis h. 233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar