HADIS SAHIH DAN HASAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis Nabi
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim wajib
mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena
sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadis juga merupakan keharusan bagi
setiap muslim. Karena untuk beramal dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam
hadis-hadis Nabi, seseorang minimal harus mengetahui hal-hal yang diajarkan di
dalamnya. Di samping memahami dan mengkaji hadis, mempelajari ilmu hadis juga
menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang terkait dengan
hadis Nabi khususnya dari segi dapat tidaknya di jadikan hujjah atau dalil
agama Islam.[1]
Diantara pembahasan
yang sangat penting dalam ilmu hadis yang harus diketahui adalah pembagian
hadis, baik di tinjau dari segi kuantitas sanadnya maupun dari segi
Kualitasnya. Dilihat dari kuantitas sanadnya hadis dapat di klasifikasikan
menjadi hadis Mutawatir dan ahad. Sedangkan jika ditinjau dari
segi kualitas maka hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis Sahih, hasan,
dha’if dan maudhu.
Dalam bahasan makalah yang singkat ini,
penulis hanya akan mengulas secara singkat seputar permasalahan hadis sahih
dan hasan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
- Apakah pengertian, syarat-syarat, pembagian, serta bagaimana kehujjahan hadis sahih?
- Apakah pengertian, pembagian, serta bagaimana kehujjahan hadis hasan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Sahih
1. Pengertian
Hadis Sahih
Kata sahih secara bahasa berarti sehat, selamat,
benar, sah dan sempurna. Para ulama biasa menyebut kata sahih ini
sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka hadit sahih secara
bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah dan sempurna, dan yang tidak
sakit.[2]
Dr. Mahmud Thohhan, dalam kitabnya Taysir Mushtholah Hadis[3]
menyebutkan bahwa, Sahih Secara bahasa berarti “ " ضِدُّ السَّقَمِ lawan dari sakit.
Sedangkan menurut istilah beliau mengatakan :
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ
الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا
عِلَّةٍ
Artinya: “ Hadis yang
sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang ‘adil lagi dhabit
dari orang yang semisal dengannya ( adil dan dhabit) sampai pada
ujungnya tanpa syadz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Dalam kitab ‘Ulumul Hadis, Ibnu
shalah mengemukakan definisi hadis sahih, beliau mengatakan :
أَمَّا الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ
: فَهُوَ الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الَّذِي يَتَّصِل ُإِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ عَنْ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا
مُعَلَّلاً. [4]
Artinya: “Adapun hadis sahih
ialah hadis yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil lagi dhabit diterima dari orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) sampai akhir sanad, tidak syadz (tidak ada kejanggalan)
dan tidak mengandung ‘illat ( cacat ).”[5]
Ibnu Hajar al-‘Atsqalani mendefinisikan hadis sahih
yaitu :
مَارَوَاهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلَّلِ وَ لَا شَاذٍ
Artinya : “ Hadis yang
diriwayatkan oleh oarang yang adil, sempurna ke-dhabith-annya,
bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak bersyadz.[6]
Menurut Imam Nawawi, sebagaimana yang disebutkan oleh M.
Syuhudi Ismail, Hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith, serta tidak
terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan cacat.[7]
Dalam Muqaddimah at Thariqoh al Muhammadiyah
sebagaimana disebutkan oleh M. Hasby as Shiddieqy, di jelaskan bahwa hadis sahih
:
مَا سَلِمَ لَفْظُهُ مِنْ رَكَاكَةٍ وَ مَعْنَاهُ مِنْ مُخَالَفَةِ
اَيَةٍ, أَوْ خَبَرُ مُتَوَاتِرٍ أَوْ إِجَمَاعٍ. وَكَانَ رُوَاتُهُ عُدُوْلاً
Artinya: “ Hadis yang
sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari
menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang
yang adil “.[8]
Dari definisi-definisi yang diutarakan oleh para ulama tentang hadis sahih di atas walaupun dengan
kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri
hadis sahih. Dengan kata
lain, bahwa sebuah hadis dikatakan sahih, jika hadis tersebut memiliki sanad
yang bersambung (muttashil) sampai ke Rasulullah Shallaahu ‘alaihi
washallam, dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa
adanya unsur syadz (kejanggalan) maupun ‘illat (
cacat ).
2.
Syarat- syarat Hadis Sahih
Sebuah
hadis dikatakan sebagai hadis Sahih,
jika memenuhi 5 syarat, yaitu : sanadnya
bersambung sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi washallam, diriwayatkan
oleh orang yang adil, diriwayatkan oleh orang yang dhabit (memiliki
hafalan yang kuat), terhindar dari Syadz dan
bebas dari ‘illat.[9]
a. Sanad Bersambung ( إِتِّصَالُ السَّنَدِ )
Yang
dimaksud dengan sanad bersambung adalah sanad hadis itu sejak dari mukharrijnya ( yang mengeluarkan atau
menghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai kepada Nabi tidak ada yang
terputus.[10]
Dimana tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis
menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu. Persambungan sanad itu
terjadi semenjak mukharrij hadis (penghimpun riwayat hadis dalam
kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi.[11]
Untuk
mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh
tata kerja penelitian sebagai berikut:
a)
Mencatat semua nama periwayat dalam sanad
hadis yang diteliti
b)
Mempelajari sejarah hidup masing-masing
periwayat, yang dilakukan:
1)
Melalui kitab-kitab rijal
al-hadis, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahdzib
al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Atsqalani, dan kitab al-Kasyif oleh
muhammad Ibn al-Dzahabi.
2)
Hal itu dimaksudkan untuk
:
a.
Apakah setiap periwayat
dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang tsiqoh ( adil dan dhabith),
serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat).
b.
Apakah antara para
periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan
kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis.
c.
Meneliti kata-kata yang
menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad,
yakni kata-kata atau metode yang dipakai dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarabana,
akhbarani, sami’tu, sami’na dan sebagainya[12].
b. Periwayat Bersifat ‘Adil (Kredibel)
Menurut mahmud Thohhan
seseorang disebut ‘adil apabila;
a)
Beragama Islam
b)
Telah balig
c)
Berakal
d)
Tidak Fasiq ( bukan
pelaku maksiat )
e)
Tidak melanggar muru’ah
( estetika atau kehormatan diri ) [13]
Sedangkan menurut M. Syuhudi Ismail
kriteria-kriteria periwayat yang bersifat ‘adil
adalah:
a.
Istiqomah dalam agamanya (
Islam )
b.
Akhlaknya baik
c.
Tidak fasiq (
antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar )
Untuk mengetahui ‘adil
tidaknya periwayat hadis, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara,
yaitu :
1.
Melalui popularitas
keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan
pribadinya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan ke-‘adil-annya.
2.
Penilaian dari para
kritikus periwayat hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-ta’dil)
dan kekurangannya (al-tarjih) yang ada pada diri periwayat hadis.
3.
Penerapan kaidah al
jarh wa ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadis
tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[15]
c. Periwayat Hadis Bersifat Dhabith
Secara sederhana kata dhabith dapat diartikan kuat hafalan.
Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan
dengan kapasitas pribadi, maka ke-dhabith-an
terkait dengan kualitas intelektual. Antara sifat adil dan sifat dhabith terdapat hubungan yang sangat
erat. Seseorang yang adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur,
amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima informasinya
apabila ia tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya,
orang yang mampu memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang
diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi
yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadis
keadilan dan ke-dhabith-an periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan
istilah tsiqah.
[16]
Dikalangan ulama, pengertian dhabith dinyatakan dengan redaksi
beragam. Ibn Hajar al-‘Atsqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang
dikatakan dhabith
adalah orang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki . Muhammad Abu Zahrah
berpendapat, seseorang disebut dhabith
apabila mampu mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami
pembicaraan itu secara benar, kemudian menghafal dengan sungguh-sungguh dan
berhasil hafal dengan sempurna , sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada
orang lain dengan baik. Sementara itu, Shubhi al-Shalih menyatkan bahwa orang
yang dhabith
adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana seharusnya, memahami
dengan pemahaman yang mendetail kemudian hafal secara sempurna; dan memiliki
kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari mendengar riwayat itu sampai
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[17]
Adapun cara untuk mengetahui
ke-dhabith-an periwayat hadis menurut
berbagai pendapat ulama adalah :
1. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui
berdasarkan kesaksian ulama;
2.
Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui
juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya,
baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah;
3. Periwayat yang sekali-kali
mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabith asalkan kesalahan itu tidak
sering terjadi.[18]
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak
menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku
catatannya (teks book) ia disebut dhabith
kitab.
d. Terhindar Dari Syadz (Kejanggalan)
Menurut
istilah ulama hadis, syadz adalah
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah
dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh
kebanyakan ulama hadis. Menurut al- Syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung
Syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. [19]
e. Terhindar dari ‘Illat
Secara bahasa kata ‘illat berarti: cacat,
kesalahan baca, penyakit, dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis ‘illat
berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn
al-Shalah, al-Nawawi dan Nur Al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis,
yang menyebabkan hadis yang pada zahirnya tampak berkualitas sahih
menjadi tidak sahih[20].
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat
hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan
diantara para periwayatnya, dan memperhtikan status hafalan, keteguhan, dan ke-dhabith-an
masing-masing periwayat. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang mampu
meneliti ‘illat hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki
hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, mendalam
pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat, dan ahli
di bidang sanad dan matan hadis.[21]
Menurut Mahmud al-Thahhan, kriteria yang membantu untuk
mengetahui suatu hadis yang mengandung ‘illat adalah sebagai berikut :
1.
Periwayatnya menyendiri;
2.
Periwayat lain
bertentangan dengannya;
Contoh hadis sahih : [23]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ
يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرٍ
بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَرَأَ
فِي الْمَغْرِبِ بِا الطُّوْرِ. أخرجه البخاري.
Hadis ini adalah hadis yang sahih, karena telah
memenuhi kriteria hadis sahih yaitu:
-
Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah shallaahu ‘alaihi
wasallam
-
Para periwayatnya adalah
orang-orang yang ‘adil dan dhabith.
Inilah Penilaian para ulama kritikus hadis terhadap
mereka :
(1)
Abdullah bin Yusuf : seorang yang tsiqoh dan kuat
hafalannya
(2)
Malik bin Anas : seorang
imam yang hafidz ( penghafal yang kuat)
(3)
Ibnu Syihab az-Zuhry :
seorang yang faqih, hafidz yang disepakati kehebatan dan kekuatan
hafalannya
(4)
Muhammad bin Jubair :
seorang yang tsiqoh
(5)
Jubair bin Muth’im :
sahabat Nabi
-
Hadisnya tidak Syadz
( tidak ada kejanggalan ) karena tidak ada yang menyelisinya dari hadis-hadis
yang lebih kuat kesahihannya.
-
Tidak ada ‘illat
(cacat) padanya.
3.
Pembagian Hadis Sahih
Para ulama hadis membagi hadis sahih
menjadi dua macam:[24]
a.
Sahih Li Dzatihi ( صَحِيْحٌ لِذَاتِهِ )
Yaitu hadis yang memenuhi
kriteria-kriteria hadis sahih yang lima sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, yaitu hadis yang sanadnya bersambung, periwayatnya ‘adil dan dhabith,
serta terlepas dari syadz dan ‘illat.
b.
Sahih Li Ghairihi ( صَحِيْحٌ لِغَيْرِهِ )
Yaitu hadis yang
kesahihannya dibantu oleh adanya hadis sahih lain. Pada mulanya hadis
kategori ini memiliki kelemahan berupa periwayat yang kurang dhabith,
sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis sahih.
Tetapi setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama
dan berkualitas sahih lidzatihi, maka hadis tersebut naik derajatnya
menjadi sahih lighairihi. Dengan kata lain, hadis sahih lighairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena ada
hadis sahih dengan matan yang sama maka hadis hasan
tersebut naik menjadi hadis sahih.
Dari
sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kepada
ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit
dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya yang diistilahkan oleh para muhaddisin sebagai ashahhul
asanid (sanad yang paling sahih).
Adapun mata rantai
sanad yang disebut oleh para ulama dengan istilah “ Ashahhul asanid
atau silsilatudz dzahab ) adalah :
1.
Malik dari Nafi’ dari Ibnu
Umar Radiallahu ‘anhu ( menurut Imam Al Bukhari ini jalur yang paling sahih)
2.
Az-Zuhri dari Salim ibnu
Abdullan bin umar dari ayahnya ( Abdullah bin umar Radiallahu ‘anhu)
3.
Zainul Abidin dari Hasan
dari Ali ibn Abi Thalib ( Zainul abidin ‘an abihi ‘an jaddihi )
4.
Muhammad bin sirin dari
Abdullah bin ‘amr dari Ali bin abi Thalib
5.
Ibrahim an-Nakha’i dari
‘al-Qomah dari Ibnu Mas’ud[25]
Adapun urutan tingkatan kualitas kesahihah hadis jika
dilihat dari segi yang mengeluarkan atau meriwayatkan hadis tersebut dan menghimpunya
dalam kitab-kitab hadis adalah sebagai berikut:[26]
1)
Hadis yang diriwayatkan
oleh al Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaihi)
2)
Hadis yang di riwayatkan
oleh Imam al Bukhari saja
3)
Hadis yang di riwayatkan
oleh Imam Muslim saja
4)
Hadis yang sesuai dengan
syarat sahihnya al Bukhari dan Muslim namun keduanya tidak meriwayatkannya
5)
Hadis yang sesuai dengan
syarat sahihnya al Bukhari namun beliau tidak meriwayatkannya
6)
Yang sesuai dengan
syaratnya Muslim namun beliau tidak meriwayatkannya
7)
Hadis yang dinilai sahih
oleh ulama-ulama hadis yang lain selain al Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban yang syarat sahihnya tidak sesui dengan syarat al
Bukhari dan Muslim
4.
Kehujjahan Hadis Sahih.
Jumhur ulama sepakat bahwa
hadis sahih adalah hujjah ( landasan) dalam persoalan hukum
syariat islam sehingga wajib diamalkan. Adapun dalam persoalan akidah ulama
berbeda pendapat, diantara mereka ada yang menyatakan bahwa hadis sahih dapat
saja digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah akidah. Alasannya
karena hadis sahih memberikan faidah ilmu dan faidah ilmu wajib untuk
diamalkan, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara persoalan akidah
ataupun bukan akidah. Adapun pendapat yang kedua mengatakan hadis sahih tidak
bisa di jadikan landasan pokok dalam persoalan akidah karena ia adalah hadis ahad
dan hadis ahad sifatnya dzanny (dugaan) sedangkan persoalan
akidah adalah adalah persoalan keyakinan.[27]
Penulis sepakat dengan kelompok ulama yang pertama yang
berpendapat bahwa hadis ahad yang memenuhi syarat sahih adalah hujjah
( landasan ) dalam persoalan hukum sehingga wajib untuk di amalkan maupun dalam
persoalan akidah sehingga wajib untuk di imani atau di yakini. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikh
Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fatawa Al ‘Aqidah ketika
menjelaskan kekeliruan pendapat yang tidak menerima hadis ahad yang sahih
dalam persoalan akidah dengan argumentasi sebagai berikut :
1.
Pendapat ulama yang
menyatakan hadits ahad hanya berfaidah zhann (persangkaan)
tidaklah mutlak. Bahkan khabar ahad bisa berfaidah yakin
apabila ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan benarnya khabar
tersebut. Sebagaimana telah sepakat ummat untuk menerima hadits-hadits (yang sahih)
tersebut. Misalnya hadits Umar ibn Al Khathab radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya”
ini khabar ahad, padahal kita telah yakin dan mengetahui bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam-lah yang mengucapkannya. Inilah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Al Hafizh Ibn Hajar, dan selainnya.
ini khabar ahad, padahal kita telah yakin dan mengetahui bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam-lah yang mengucapkannya. Inilah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Al Hafizh Ibn Hajar, dan selainnya.
2.
Bahwasanya Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam telah mengutus beberapa shahabat seorang diri untuk
menjelaskan pokok-pokok aqidah, yaitu persaksian bahwa tiada sesembahan yang
berhak selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah, dan mengutusnya sebagai hujjah
yang tetap. Sebagaimana diutusnya Mu’adz ke Yaman, dan pengutusan beliau adalah
hujjah yang ditetapkan bagi penduduk Yaman agar menerimanya.
3.
Apabila kita katakan
bahwa masalah aqidah tidak bisa ditetapkan dengan khabar ahad, dapatlah
kita katakan: masalah syariat juga tidak bisa ditetapkan dengan khabar
ahad juga. Karena masalah praktik hukum amaliyah beriringan dengan
aqidah bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan hal tersebut, atau melarang
sesuatu hal. Apabila argumen ini diterima, maka tertolaklah berbagai hal dalam
masalah syariat. Dan apabila argumen ini ditolak, maka tertolaklah pula
pendapat bahwa aqidah tidak bisa ditetapkan melalui khabar ahad. Karena
tidak ada beda antara keduanya.
Alhasil, khabar ahad apabila menunjukkan indikasi kebenarannya, menghasilkan ilmu. Khabar ahad menjadi argumen yang valid dalam perkara amaliyah maupun ilmiyah. Tidak ada satu pun dalil untuk membedakan keduanya. Barangsiapa yang menisbatkan hal tersebut kepada para imam dalam agama ini, tentang pembedaan antara keduanya maka ia harus menunjukkan sanad yang shahih, kemudian menjelaskan dalil tersebut.
Alhasil, khabar ahad apabila menunjukkan indikasi kebenarannya, menghasilkan ilmu. Khabar ahad menjadi argumen yang valid dalam perkara amaliyah maupun ilmiyah. Tidak ada satu pun dalil untuk membedakan keduanya. Barangsiapa yang menisbatkan hal tersebut kepada para imam dalam agama ini, tentang pembedaan antara keduanya maka ia harus menunjukkan sanad yang shahih, kemudian menjelaskan dalil tersebut.
4.
Bahwa Allah Ta’ala
memerintahkan untuk kembali pada perkataan ahli ilmu, bagi siapa saja yang jahil,
tidak tahu atau bodoh, dan hal ini adalah di antara masalah yang agung dalam
aqidah, yaitu risalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي
إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ * بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ
Terjemahannya:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Mereka Kami utus) dengan membawa
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab” (QS. An Nahl: 43-44).
B. Hadis Hasan
1.
Pengertian Hadis Hasan
Hasan secara bahasa berarti :
مَا تَمِيْلُ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَ تَرْتَاحُ إِلَيْهِ
Artinya: “ yang dirindui nafsu (jiwa) dan yang
disenanginya “[28]
Orang yang pertama kali memopulerkan istilah hadis hasan
adalah al-Turmudzi. Ia mendefinisikan hadis Hasan dengan :
كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مِنْ
يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ الْحَدِيْثُ شَاذاً وَ يُرْوَى مِنْ غَيْرِ
وَجْهِ نَحْوِ ذَلِكَ
Artinya: “ Tiap-tiap hadis
yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat
kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.
Ibnu Hajar al-‘Atsqalani mendifiniskan hadis hasan
yaitu :
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ
قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya: “ Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat
dan tidak pula mengandung syadz.[29]
Menurut Subhi Shalih dan M. Syuhudi Ismail, Hadis hasan
ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil
namun tidak terlalu kuat ingatannya dan
terhindar dari keganjilan serta penyakit.[30]
Dengan demikian hadis hasan hampir sama dengan
hadis sahih, hanya saja pada hadis hasan diantara salah seorang
periwayatnya ada yang kurang dhabith, sedangkan pada hadis sahih
seluruh periwayatnya dhabith.[31]
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah
dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan,
kriterianya sama dengan hadis sahih, Hanya saja pada hadis hasan
terdapat perawi yang tingkat ke-dhabith-annya kurang atau lebih rendah
dari perawi hadis sahih.
Sehingga
dapatlah disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai
berikut:
a.
Sanad hadis harus bersambung.
b.
Perawinya adil
c.
Perawinya mempunyai sifat dhabith namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari
yang dimiliki oleh perawi hadis sahih ( خَفِيْفُ الضّبْطِ )
d.
Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
Contoh hadis Hasan : [33]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَة حَدَّثَنَا جَعْفَر بن سُلَيْمَان
الَضُبَعي عَنْ أَبِي عِمْرَان الجَوْني عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي مُوْسى
الأَشْعَرِي قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُو يَقٌوْل : قَلَ رَسُوْلُ
اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْه وسَلَّم : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ
السُّيُوْفِ .... الِحَدِيْث .) أَخْرَجَهُ الترمذي (
Artinya: “ Telah
menceritakan kepada kemi Qutaibag, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin
Sulaiman ad-Dhuba’i dari Aby ‘Imran al-Jauny dari Aby Bakr bin Aby Musa al-Asy’ari
dia berkata: sayat telah mendengar Ayah saya ketika berhadapan dengan musuh (di
medan perang) berkata : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
sesungguhnya pintu-pintu syurga berada dibawah naungan pedang-pedang.......” (Hadis
ini di keluarkan oleh At Tirmidzy).
Hadis ini adalah hadis hasan karena seluruh
periwayat hadits ini tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman, kata para ulama
beliau hasan al hadis ( tingkat kedhabitan beliau agak rendah).
2.
Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Hadis hasan li dzatihi ( حَسَنٌ لِذَاتِهِ )
Hadis
hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi
kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan
riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.
Hadis hasan li ghairihi ( حَسَنٌ لِغَيْرِهِ )
Hadis
hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya
berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab ke-dha’if-annya bukan karena perawinya fasik atau
pendusta.[34]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada
mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena
ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat
penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
3.
Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis sahih,
meskipun derajatnya dibawah hadis sahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para
ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat
tentang kehujjahan hadis hasan ini.[35]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian makalah yang penulis paparkan di atas,
dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Hadis Sahih
- Hadis sahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabith dari orang yang adil lagi dhabith pula, sampai ujungnya, tidak syaz (janggal) dan tidak mu’allal (cacat).
- Syarat-syarat hadis sahih ada lima, yaitu :
a)
Sanadnya bersambung
b)
Para perawinya adil
c)
Para perawinya dhabith
d) Tidak Syadz (janggal)
e)
Terhindar dari ‘illat
(cacat).
- Hadis sahih terbagi atas dua:
1) sahih lidzatihi;
2) sahih li ghairihi.
- Hadis sahih adalah hujjah (landasan) dalam persoalan hukum yang wajib untuk diamalkan demikian pula dalam persoalan ‘aqidah sehingga wajib untuk di yakini.
2.
Hadis Hasan
- Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syadz dan illat.
- Kriteria hadis hasan :
1)
Sanad hadis bersambung.
2)
Perawinya adil
3)
Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari
yang dimiliki oleh perawi hadis sahih
4)
Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)
Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.
Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
1) hasan li
dzatihi
2) hasan li
ghairi
b.
Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis sahih,
meskipun derajatnya dibawah hadis sahih,
adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
B.
SARAN DAN KRITIK
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari
bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatatnya membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PURSTAKA
Idri, Studi Hadis, Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2010
As-Shalih, Subhi. Membahas
Ilmu-ilmu Hadis, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,1977
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar
Ilmu Hadis, Cet. XX; Bandung: Angkasa, 1987
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits, jilid 1, Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Thohhan, Mahmud, Taysir
Mushtholah Hadis, Cet. VIII; Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1987
Sholah, Ibnu, ‘Ulumul
Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Yuslem,
Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
[1] Idri, Studi Hadis, (Cet.1: Jakarta, Kencana, 2010)
h. v
[6] Idri, Studi Hadis, h. 158
[8] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
(Cet:VII, Jilid. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1987), h. 109
[9] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, ( Cet: VIII:
Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1987) h. 35
[13] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis, h. 34
[21] Idri, Studi Hadis, h. 171
[22] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis,
h. 101
[23] Mahmud Thohhah, Taysir Mushtholah Hadis,
h. 35-36
[24] Lihat Idri, Studi Hadis, h. 172-173
[25] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
h.119
[27] M. Hasby as Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h.
158
[31] Idri, Studi Hadis, h. 159
[32] Nawir
Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
[34] Nawir
Yuslem, Ulumul hadis h. 230
[35] Nawir
Yuslem, Ulumul hadis h. 233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar