Rabu, 12 Oktober 2016

AL-MU’TAZILAH DAN AL-MATURIDIYAH (Sejarah Timbul, Pokok Ajarannya dan Pengaruhnya di Dunia)



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Setelah wafatnya Rasulullah saw. sebagai salah seorang nara sumber utama dalam setiap aspek kehidupan, maka muncullah berbagai problem dalam dunia Islam, baik itu politik, aqidah maupun aliran-aliran pemikiran. Pergulatan aliran pemikiran di dunia Islam ini menjadi aset utama dalam memperkaya corak pemikiran dan menambah khasanah intelektual Muslim di dunia. Sehingga pada abad ke-2 dan ke-3 Masehi para pakar Islam sangat intens dalam membahas tentang prinsip-prinsip fundamental dalam teologi Islam, masilnya tentang dzat dan zifat Tuhan  serta hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, yang melahirkan ilmu baru yang disebut ilmu kalam.[1]
Perbedaan teologis dikalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan.
Selanjutnya ketika muncul beberapa paham dikalangan umat Islam yang menjadikan paham-paham itu dimasanya berjaya diantara pengikut Mu’tazilah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi akan tetapi mereka dalam mengikutinya memiliki kontroversi, kemudian keluar dari ajarannya dan membentuk aliran baru. Abu Hasan al-‘Asyari mendirikan ahlu sunnah wal jama’ah dengan corak pemikiran tradisional yang mengedepankan wahyu dan sunah di atas akal pikiran. Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi mendirikan al-Maturidiyah yang ajarannya sebagian diambil dari pemikiran Mu’tazilah dan Asy-‘ariayah. Pada pergumulan pemikiran, lambat laun ajaran Abu Manshur al-Maturidi yang berpusat  di Samarkand lebih condong kepada Mu’tazilah, sehingga pada akhirnya muncullah dalam tubuh al-Maturidiyah mendirikan aliran baru yang dikenal dengan al-Maturidiyah Bukhara yang lebih condong kepada pemikiran Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi.
            Berdasarkan latar belakang di atas maka disini pemakalah akan membahas tentang Al-Mu’tazilah dan Al-Maturidiyah pokok pikiran dan pengaruhnya.
2.      Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah:
a.       Bagaimana sejarah lahirnya Al-Mu’tazilah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
b.      Bagaimana sejarah lahirnya Al-Maturidiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?











B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Lahirnya Al-Mu’tazilah, Pokok Ajaran Dan Pengaruhnya
a.      Sejarah Lahirnya Al-Mu’tazillah
Latar belakang lahirnya  Mu’tazilah adalah ketika peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu tentang orang yang berdosa besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih tetap mukmin sebagai mana pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad) sebagai mana pendapat golongan Khawarij.
Sebelum Hasan Al-Basri menjawab, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi pula kafir, melainkan fasiq, berada pada posisi diantara posisi (almanzilah baina al-manzilah). Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid. Atas peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan : “Wasil telah menjaukan diri dari kita (‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah”, karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar. 
Al-Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzzail al-Allaf, ia dilahirkan pada tahun 135 H[2] di Bashrah yang kemudian menjadi pusat pengembangan Mu’tazilah dan meninggal pada tahun 235. Ia banyak membaca buku-buku filsafat Yunani yang memberi pengaruh baginya dalam menyusun dasar-dasar pemikirannya. Ia belajar dengan seorang yang bernama Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn kholid ibn thowil pernah belajar dengan Washil ibn ‘Atha’ yang menerima ajaran itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn Hanafiyah.Dikatakan orang ajaran itu diambilnya dari Hasan Bashri.[3] Abu Huzail dikenal sebagai anak yang cerdas dan aktif mengikuti acara diskusi-diskusi. Pada umur 15 tahun dia telah sanggup mengalahkan seorang yahudi dalam suatu perdebatan sengit dimana yahudi tersebut telah banyak mengalahkan ulama-ulama Bashrah.
b.    Pokok Ajaran Mu’tazilah
Pokok ajaran mendasarkan aliran mereka ini, pada lima prinsip yakni: tauhid (keesaan Tuhan), adl (keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah bayn manzila tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy an Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran).
Berdasarkan prinsip tauhid mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah satu dan tidak dapat dilepaskan dari esensi (zat) Tuhan. Sifat-sifat yang tersebut dalam Alquran, khususnya yang bersesuaian  dengan nama-nama Tuhan, mestilah diyakini berada di dalam realitas yang absolut. Sesuatu yang absolut seharusnya tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi yakni tunggal.[4]
Berdasarkan prinsip al-adl, maka mereka mempertegas statmennya bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, yang merupakan keniscayaan dari keadilan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan mestilah berbuat sesuatu yang terbaik (shalah atau ashlah) terhadap dunia yang diciptakannya.[5] Segala perbuatan dan kehendak Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Inilah titik tolak pemikiran rasional mereka tentang pendapat-pendapat keagamaan.[6]
Dengan prinsip ketiga, yakni al-wa’ad wa al-wa’id yang dimaksudkan adalah syurga dan neraka. Menurut keyakinan mereka bahwa jika seseorang masuk neraka , semestinya ia tidak akan menuju ke sana dengan  alasan sifat Rahman Tuhan atau adanya intervensi Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak adil kalau ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.[7]
Prinsip keempat, yakni sebuah posisi di antara dua posisi. Prinsip ini pada satu sisi merupakan metode filsafat mereka, namun pada sisi lain, prinsip ini merupakan wawasan politik dalam kontroversi kesejarahan. Prinsip ini merupakan posisi menengah bagi pembuat dosa besar, tidak posisi mukmin dan tidak kafir. Bukan posisi syurga, bukan pula posisi neraka.
Prinsip kelima, sebuah prinsip yang ditunjukkan untuk pembentukan corak masyarakat Islami.[8] Hal ini tidak berbeda dengan golongan yang lain. Perbedaannya antara golongan tersebut pada bentuk pelaksanannya. Menurut Mu’tazilah, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.
Menurut Harun Nasution, uraian di atas mencerminkan bentuk rasionalisme, tetapi bukan rasionalisme yang menentang dan menolak agama serta tidak percaya kepada kebenaran dan keabsahan wahyu, malahan rasionalisme yang tunduk dan menyesuaikan diri dengan kebenaran wahyu.
Namun dalam pandangan dari uraian di atas juga tercermin bentuk ketidak-rasionalan kaum Mu’tazilah, khususnya pada prinsip kelima.
Menurut al-Khayyat–sebagaimana dikutip Harun Nasution–seseorang belum berhak disebut sebagai penganut Mu’tazilah sebelum benar-benar menerima secara keseluruhan ushul al-khamsah yakni tauhid, keadilan, janji baik dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma’ruf nahi munkar.[9]
c.       Pengaruh Mu’tazillah
Mu’tazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Kamum Mu’tazilah sangat serius membela dan mempertahankan akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya.
Dalam sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham al-Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya:
1)  Bidang orator dan pujangga.
2)  Bidang ilmu balaghah (rethorika)
3) Ilmu perdebatan (jadal)
4)  Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
Setelah peristiwa al-mihnah seperti dibahas sebelumnya, aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran. Sebagai suatu golongan yang kuat, berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, terutama sesudah al-Asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran. Akan tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan pengikut yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, antara lain al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari (wafat 320 H./932 M) pada sepanjang abad keempat Hijriyah, al-Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar dikalangan Ahlussunah waljamaah.
Kegiatan orang-orang Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongol atas dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran Mu’tazilah yang penting masih hidup dikalangan Syi’ah Zaidiah. Harun Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat Islam, terutama dikalangan kaum terpelajar.



2.      Sejarah Lahirnya Al-Maturidiah, Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
a.   Sejarah Lahirnya Al-Maturidiah
Al-Maturidiyah adalah salah satu aliran di dalam aqidah Islam yang muncul pada abad ke 9 M. Munculnya golongan ini didorong oleh suatu kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan golongan ekstrimitas kaum tekstualis yang dimotori oleh kaum Hanabilah (para pengikut Imama Ahmad Ibn Hanbal).[10] Kedua aliran ekstrim tersebut berusaha mengambil sikap tengah diantara aliran itu.
Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, dalam beberapa segi mempunyai persamaan dengan As-‘Ariyah, keduanya berbeda pendapat hanya dalam masalah cabang dan detailitas walaupaum pada awalnya  dipisahakan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian ke Mesir, sedang aliran Maturidiyah di Samarqand dan daerah di sebrang sungai Oxus-pen. Kedua aliran tersebut hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk suatu madzhab, mereka berbeda dalam sudut pandang mengenai fiqh, hal ini merupakan pendorong untuk berlomba dan survive.[11]
Aliran al-Maturidiyah peranan akal/rasio memiliki tempat yang paling penting di dalam menyusun konsep teologinya dan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Akal dan rasio menurut aliran al-Maturidiyah  dapan membantu manusia untuk memahami adanya Allah/keesaan Allah, sifat dan dzat Allah, juga dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Al-Quran dan hal-hal yang memasuk dalam ruang lingkup teologi. Dalam bidang fiqh al-Maturidiyah bermadzhab Hanafi, tetapi banyak mendalami berbagai masalah teologi Islam sehingga berpengaruh kepada para fuqaha dan Muhaditsin.
b.      Pokok Ajaran Al-Maturidiyah
Sebagaimana tokoh-tokoh paham yang lain, al-Maturidi mempunyai konsep pemikiran yang berisi pokok-pokok ajarannya diantaranya:
1)      Kewajibann mengetahui tuhan.
Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah swt.)
2)      Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti: ’Alim (Maha mengetahui), Khabir (Maha mengenal), Hakim (Maha bijaksana), Bashir (Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. Sebagaimana ayat Al-Quran ini yang Artinya:
”Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah/45:13).



3)   Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
4)    Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.
c.    Pengaruh Ajaran Al-Maturidiyah
Kalau kita melihat sepanjang zaman semua ulama yang ikhlas dan benar niat serta kehendak berusaha memahami dan mengamalkan ajaran ummat dengan pemahaman yang shahih yang disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat ada kemungkinan mereka tidak sempurna dan tidak semua perkara maka wajar mereka tersalah dan  pemahaman mereka bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Memahami dan menyampaikan Islam sesuai dengan pesan sucinya merupakan persoalan aktual yang mempunyai concern dengan pembangunan. Dalam hal ini telah terjadi kegoncangan spiritual idiologis ummat Islam sehingga lahirlah aneka ragam metode pemahaman, Misalnya lahirlah rumusan paham teologi Maturidiyah.
Setelah al-Maturidi meninggal, ide-idenya berkembang mulai tahun 333 H hingga 500 H di kalangan murid-muridnya. Banyak dari mereka yang menulis buku yang mengikutinya dalam aqidahnya dan mengikuti fiqh dari Abu Hanifah. Diantara muridnya yaitu: Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail al Hakim al Samarkandi ( meninggal 342 H )dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al bazdawi ( meninggal 390 H ).
Pada masa terakhir tulisandan kumpulan dari akidah al-Maturidiyah dari tahun 500 H dilanjutkan oleh Abu Mu’in  an Nasafi (438–508), pengikutnya hingga 500 orang. Setelah itu Maturidiyah tersebar hingga ke Madaris dari Doubond (1283) hingga ke Brelwies (1272), penguasanya adalah Ahmad Rida Khan seorang Hanafi Maturidi (1340 H ). Sekolah terakhirnya adalah sekolah al-Kauthari yang dikenal sebagi Jarkasi (1296-1371 H), dia sebagai tokoh Maturidi yang menulis semua buku-buku Abu Manshur al-Maturidi.[12]
Doktrin paling menonjol secara faktual yang memberikan ciri dan karakter umat Islam Indonesia adalah Doktrin As’ariyah. Pernyataan doktrin Asy’ariyah yang  membatasi kebebasan akal, bila bertentangan dengan wahyu menyerahkan sepenuhnya  kepada wahyu. Sedang Al-maturidi lebih berani menggunakan kebebasan akal. Permasalahan yang berhubungan dengan pembangunan dalam karakteristik pemahaman teologi yang mapan  yaitu; pemahaman teologi menurut madzhab Ahlu sunnnah wal Jama’ah, ketauhidan menunjuk teologi al-Asy’ari-al-Maturidi dan social kemasyarakatan kepada al-Madzahibil Arba’ah.[13]


C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Al-Mu’tazilah Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzzail al-Allaf, ia dilahirkan pada tahun 135 H. lahirnya  Mu’tazilah adalah ketika peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid. Atas peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan: “Wasil telah menjaukan diri dari kita (‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah”,  adapun pokok jarannya: tauhid (keesaan Tuhan), adl (keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah bayn manzila tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy an Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran). Dan pengaruhnya terhadap dunia berupa: Bidang orator dan pujangga, Bidang ilmu balaghah (rethorika),  Ilmu perdebatan (jadal), dan  Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
b.      Al-Maturidiyah merupakan satu aliran di dalam aqidah Islam yang muncul pada abad ke 9 M. Munculnya golongan ini didorong oleh suatu kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan golongan ekstrimitas kaum tekstualis yang dimotori oleh kaum Hanabilah (para pengikut Imama Ahmad Ibn Hanbal). Adapun diantara pokok ajarannya: Kewajibann mengetahui tuhan, Mengenai sifat-sifat Allah swt., Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan tuhan. Dan pengaruhnya terhadap dunia berupa: kebebasan dalam berfikir menggunakan akal.
2.      Kritik dan Saran
Demikianlah  makalah ini kami susun, penulis  menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan disana-sini, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



















Daftar Pustaka
Al-Fath, Abu, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al Fikri al-‘Ilmiah,1992.
Al-Fayumi, Muhammad Ibrahim, al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2002.
Al-Imam al-Syarastani, Al Mihal wa Nihal, Kairo : Martabah al-Najlu al-Misriah, t.th.
Barani, Ansar Bib, Konsep-Pemikiran-Al-Maturidiyah (September 2015) https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html, (4 Oktober 2016).
Iskandar, Nur, “Teologi alternatif Memadu Pemikiran Al Asy-ariyah dan Al Maturidiyah”, Editor M, Masyhur amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam. Cet. I: LKPSM NU DIY, 1989.
Madkour, Ibrahim Fi al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Nasution, Harun, Teologi Islam dan Intelektual Muslim dalam “Mimbar Agama” No. 38 th. Xv, Jakarta: IAIN, 1999/2000.
-----.  Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI. Press, 1986.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj. Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.




[1][1]Al-Imam al-Syarastani, Al Mihal wa Nihal (Kairo : Martabah al-Najlu al-Misriah, t.th),       h. 48.
[2]Muhammad Ibrahim al-Fayumi,  al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi,2002), h. 190.
[3]Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al Fikri al-‘Ilmiah,1992), h. 44.
[4]Imam Muhammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj. Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 152.
[5]Imam Muhammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj. Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, h. 152.
[6]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI. Press, 1986), h. 152.
[7]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan, h. 152.
[8]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan, h. 152.
[9]Harun Nasution, Teologi Islam dan Intelektual Muslim dalam “Mimbar Agama” No. 38 th. Xv (Jakarta: IAIN, 1999/2000), h. 5.
[10]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),     h. 81.
[11]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, h. 81.

[12]Ansar Bib Barani, Konsep-Pemikiran-Al-Maturidiyah (September 2015) https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html, (4 Oktober 2016).
[13]Nur Iskandar, “Teologi alternatif Memadu Pemikiran Al Asy-ariyah dan Al Maturidiyah”, Editor M, Masyhur amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam (Cet. I: LKPSM NU DIY, 1989), h. 189-194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar