A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Setelah wafatnya Rasulullah saw.
sebagai salah seorang nara sumber utama dalam setiap aspek kehidupan, maka
muncullah berbagai problem dalam dunia Islam, baik itu politik, aqidah maupun
aliran-aliran pemikiran. Pergulatan aliran pemikiran di dunia Islam ini menjadi
aset utama dalam memperkaya corak pemikiran dan menambah khasanah intelektual
Muslim di dunia. Sehingga pada abad ke-2 dan ke-3 Masehi para pakar Islam
sangat intens dalam membahas tentang prinsip-prinsip fundamental dalam teologi
Islam, masilnya tentang dzat dan zifat Tuhan serta hubungan Tuhan dengan
manusia dan alam, yang melahirkan ilmu baru yang disebut ilmu kalam.[1]
Perbedaan
teologis dikalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan.
Selanjutnya
ketika muncul beberapa paham dikalangan umat Islam yang menjadikan paham-paham
itu dimasanya berjaya diantara pengikut Mu’tazilah yang
dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi akan tetapi
mereka dalam mengikutinya memiliki kontroversi, kemudian keluar dari ajarannya
dan membentuk aliran baru. Abu Hasan al-‘Asyari mendirikan ahlu sunnah wal
jama’ah dengan corak pemikiran tradisional yang mengedepankan wahyu dan sunah
di atas akal pikiran. Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi mendirikan
al-Maturidiyah yang ajarannya sebagian diambil dari pemikiran Mu’tazilah dan
Asy-‘ariayah. Pada pergumulan pemikiran, lambat laun ajaran Abu Manshur
al-Maturidi yang berpusat di Samarkand lebih condong kepada Mu’tazilah,
sehingga pada akhirnya muncullah dalam tubuh al-Maturidiyah mendirikan aliran
baru yang dikenal dengan al-Maturidiyah Bukhara yang lebih condong kepada
pemikiran Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi.
Berdasarkan
latar belakang di atas maka disini pemakalah akan membahas tentang
Al-Mu’tazilah dan Al-Maturidiyah pokok pikiran dan pengaruhnya.
2.
Rumusan Masalah
Berangkat dari
uraian di atas, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah:
a.
Bagaimana
sejarah lahirnya Al-Mu’tazilah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
b.
Bagaimana
sejarah lahirnya Al-Maturidiah, pokok ajaran dan pengaruhnya?
B. PEMBAHASAN
1.
Sejarah Lahirnya Al-Mu’tazilah, Pokok Ajaran Dan
Pengaruhnya
a. Sejarah Lahirnya Al-Mu’tazillah
Latar belakang lahirnya Mu’tazilah adalah ketika peristiwa yang
terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan
al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil
Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu tentang orang yang berdosa
besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih tetap mukmin sebagai mana
pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi kafir dalam arti keluar
dari Islam (murtad) sebagai mana pendapat golongan Khawarij.
Sebelum Hasan Al-Basri menjawab, Wasil
mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia
bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi pula kafir, melainkan fasiq, berada
pada posisi diantara posisi (almanzilah baina al-manzilah). Kemudian ia
menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid. Atas
peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan : “Wasil telah menjaukan diri dari kita
(‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn
Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah”, karena mereka
menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar.
Al-Mu’tazilah
(Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn
Huzzail al-Allaf, ia dilahirkan pada tahun 135 H[2] di
Bashrah yang kemudian menjadi pusat pengembangan Mu’tazilah dan meninggal pada
tahun 235. Ia banyak membaca buku-buku filsafat Yunani yang memberi pengaruh
baginya dalam menyusun dasar-dasar pemikirannya. Ia belajar
dengan seorang yang bernama Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn
kholid ibn thowil pernah belajar dengan Washil ibn ‘Atha’ yang menerima ajaran
itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn Hanafiyah.Dikatakan orang ajaran
itu diambilnya dari Hasan Bashri.[3] Abu
Huzail dikenal sebagai anak yang cerdas dan aktif mengikuti acara
diskusi-diskusi. Pada umur 15 tahun dia telah sanggup mengalahkan seorang
yahudi dalam suatu perdebatan sengit dimana yahudi tersebut telah banyak
mengalahkan ulama-ulama Bashrah.
b. Pokok Ajaran
Mu’tazilah
Pokok ajaran mendasarkan
aliran mereka ini, pada lima prinsip yakni: tauhid (keesaan Tuhan), adl
(keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah bayn manzila
tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy an
Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran).
Berdasarkan prinsip
tauhid mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah satu dan tidak dapat
dilepaskan dari esensi (zat) Tuhan. Sifat-sifat yang tersebut dalam Alquran,
khususnya yang bersesuaian dengan
nama-nama Tuhan, mestilah diyakini berada di dalam realitas yang absolut.
Sesuatu yang absolut seharusnya tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi yakni
tunggal.[4]
Berdasarkan
prinsip al-adl, maka mereka mempertegas statmennya bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak, yang merupakan keniscayaan dari keadilan Tuhan. Menurut
mereka, Tuhan mestilah berbuat sesuatu yang terbaik (shalah atau ashlah)
terhadap dunia yang diciptakannya.[5] Segala
perbuatan dan kehendak Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan.
Inilah titik tolak pemikiran rasional mereka tentang pendapat-pendapat
keagamaan.[6]
Dengan prinsip
ketiga, yakni al-wa’ad wa al-wa’id yang dimaksudkan adalah syurga dan neraka.
Menurut keyakinan mereka bahwa jika seseorang masuk neraka , semestinya ia
tidak akan menuju ke sana dengan alasan
sifat Rahman Tuhan atau adanya intervensi Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak
adil kalau ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum
orang yang berbuat jahat.[7]
Prinsip keempat,
yakni sebuah posisi di antara dua posisi. Prinsip ini pada satu sisi merupakan
metode filsafat mereka, namun pada sisi lain, prinsip ini merupakan wawasan
politik dalam kontroversi kesejarahan. Prinsip ini merupakan posisi menengah
bagi pembuat dosa besar, tidak posisi mukmin dan tidak kafir. Bukan posisi
syurga, bukan pula posisi neraka.
Prinsip kelima,
sebuah prinsip yang ditunjukkan untuk pembentukan corak masyarakat Islami.[8] Hal
ini tidak berbeda dengan golongan yang lain. Perbedaannya antara golongan
tersebut pada bentuk pelaksanannya. Menurut Mu’tazilah, perintah berbuat baik
dan larangan berbuat jahat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu
dengan kekerasan.
Menurut Harun
Nasution, uraian di atas mencerminkan bentuk rasionalisme, tetapi bukan
rasionalisme yang menentang dan menolak agama serta tidak percaya kepada
kebenaran dan keabsahan wahyu, malahan rasionalisme yang tunduk dan
menyesuaikan diri dengan kebenaran wahyu.
Namun dalam
pandangan dari uraian di atas juga tercermin bentuk ketidak-rasionalan kaum
Mu’tazilah, khususnya pada prinsip kelima.
Menurut al-Khayyat–sebagaimana
dikutip Harun Nasution–seseorang belum berhak disebut sebagai penganut
Mu’tazilah sebelum benar-benar menerima secara keseluruhan ushul al-khamsah
yakni tauhid, keadilan, janji baik dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan
amar ma’ruf nahi munkar.[9]
c. Pengaruh Mu’tazillah
Mu’tazilah
dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan kekuatan akal
pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Kamum Mu’tazilah sangat
serius membela dan mempertahankan akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya.
Dalam
sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai
aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di
antaranya, paham al-Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik
di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah
umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang
Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai dalil-dalil akal pikiran
dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah.
Dengan
demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar
pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya:
1) Bidang orator dan pujangga.
2) Bidang ilmu balaghah (rethorika)
3) Ilmu
perdebatan (jadal)
4) Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
Setelah peristiwa al-mihnah
seperti dibahas sebelumnya, aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran. Sebagai
suatu golongan yang kuat, berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami
kemunduran, terutama sesudah al-Asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang
pemikiran. Akan tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan
pengikut yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, antara
lain al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari
(wafat 320 H./932 M) pada sepanjang abad keempat Hijriyah, al-Zamakhsyari
dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar dikalangan Ahlussunah
waljamaah.
Kegiatan orang-orang
Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongol atas
dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran Mu’tazilah yang penting masih hidup
dikalangan Syi’ah Zaidiah. Harun Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan
kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat
rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat Islam, terutama
dikalangan kaum terpelajar.
2.
Sejarah Lahirnya Al-Maturidiah,
Pokok Ajaran dan Pengaruhnya
a. Sejarah Lahirnya Al-Maturidiah
Al-Maturidiyah adalah salah satu aliran di dalam aqidah
Islam yang muncul pada abad ke 9 M. Munculnya golongan ini didorong oleh suatu
kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum
rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan golongan ekstrimitas kaum
tekstualis yang dimotori oleh kaum Hanabilah (para pengikut Imama Ahmad Ibn Hanbal).[10]
Kedua aliran ekstrim tersebut berusaha mengambil sikap tengah diantara aliran
itu.
Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah
wal al-Jama’ah, dalam beberapa segi mempunyai persamaan dengan As-‘Ariyah,
keduanya berbeda pendapat hanya dalam masalah cabang dan detailitas walaupaum
pada awalnya dipisahakan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam
(Suriah) kemudian ke Mesir, sedang aliran Maturidiyah di Samarqand dan daerah
di sebrang sungai Oxus-pen. Kedua aliran tersebut hidup dalam lingkungan yang
kompleks dan membentuk suatu madzhab, mereka berbeda dalam sudut pandang
mengenai fiqh, hal ini merupakan pendorong untuk berlomba dan survive.[11]
Aliran al-Maturidiyah peranan akal/rasio memiliki tempat
yang paling penting di dalam menyusun konsep teologinya dan di dalam memahami
ajaran-ajaran agama. Akal dan rasio menurut aliran al-Maturidiyah dapan
membantu manusia untuk memahami adanya Allah/keesaan Allah, sifat dan dzat
Allah, juga dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Al-Quran dan hal-hal yang
memasuk dalam ruang lingkup teologi. Dalam bidang fiqh al-Maturidiyah
bermadzhab Hanafi, tetapi banyak mendalami berbagai masalah teologi Islam
sehingga berpengaruh kepada para fuqaha dan Muhaditsin.
b.
Pokok Ajaran Al-Maturidiyah
Sebagaimana
tokoh-tokoh paham yang lain, al-Maturidi mempunyai konsep pemikiran yang berisi
pokok-pokok ajarannya diantaranya:
1)
Kewajibann mengetahui tuhan.
Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak
sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah swt.)
2)
Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai
sifat-sifat Allah swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah swt. itu
merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah,
iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah swt.
Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah
mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan
dalam Al-Qur’an, seperti: ’Alim (Maha mengetahui), Khabir (Maha
mengenal), Hakim (Maha bijaksana), Bashir (Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah swt. Kemudian
al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah swt., tetapi ia mengatakan
bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat
yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. Sebagaimana
ayat Al-Quran ini yang Artinya:
”Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan
apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah/45:13).
3)
Kebaikan dan kerburukan dapat
diketahui dengan akal
4)
Hikmah dan tujuan perbuatan
tuhan
Perbuatan tuhan mengandung
kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan
larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah,
karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu
perlawanan dengan iradahnya.
c. Pengaruh Ajaran Al-Maturidiyah
Kalau kita
melihat sepanjang zaman semua ulama yang ikhlas dan benar niat serta kehendak
berusaha memahami dan mengamalkan ajaran ummat dengan pemahaman yang shahih yang
disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat ada kemungkinan mereka
tidak sempurna dan tidak semua perkara maka wajar mereka tersalah dan
pemahaman mereka bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Memahami dan menyampaikan Islam sesuai dengan pesan sucinya
merupakan persoalan aktual yang mempunyai concern dengan pembangunan. Dalam hal
ini telah terjadi kegoncangan spiritual idiologis ummat Islam sehingga lahirlah
aneka ragam metode pemahaman, Misalnya lahirlah rumusan paham teologi
Maturidiyah.
Setelah al-Maturidi meninggal, ide-idenya berkembang mulai
tahun 333 H hingga 500 H di kalangan murid-muridnya. Banyak dari mereka yang
menulis buku yang mengikutinya dalam aqidahnya dan mengikuti fiqh dari Abu Hanifah.
Diantara muridnya yaitu: Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail al Hakim
al Samarkandi ( meninggal 342 H )dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa
al bazdawi ( meninggal 390 H ).
Pada masa terakhir tulisandan kumpulan dari akidah al-Maturidiyah
dari tahun 500 H dilanjutkan oleh Abu Mu’in an Nasafi (438–508),
pengikutnya hingga 500 orang. Setelah itu Maturidiyah tersebar hingga ke
Madaris dari Doubond (1283) hingga ke Brelwies (1272), penguasanya adalah Ahmad
Rida Khan seorang Hanafi Maturidi (1340 H ). Sekolah terakhirnya adalah
sekolah al-Kauthari yang dikenal sebagi Jarkasi (1296-1371 H), dia sebagai
tokoh Maturidi yang menulis semua buku-buku Abu Manshur al-Maturidi.[12]
Doktrin paling menonjol secara faktual yang memberikan ciri
dan karakter umat Islam Indonesia adalah Doktrin As’ariyah. Pernyataan doktrin
Asy’ariyah yang membatasi kebebasan akal, bila bertentangan dengan wahyu
menyerahkan sepenuhnya kepada wahyu. Sedang Al-maturidi lebih berani
menggunakan kebebasan akal. Permasalahan yang berhubungan dengan pembangunan
dalam karakteristik pemahaman teologi yang mapan yaitu; pemahaman teologi
menurut madzhab Ahlu sunnnah wal Jama’ah, ketauhidan menunjuk teologi
al-Asy’ari-al-Maturidi dan social kemasyarakatan kepada al-Madzahibil Arba’ah.[13]
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Al-Mu’tazilah Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn
Huzzail al-Allaf, ia dilahirkan pada tahun 135 H. lahirnya Mu’tazilah adalah ketika peristiwa yang
terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri
Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain
di Masjid. Atas peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan: “Wasil telah menjaukan
diri dari kita (‘itazal’anna). Sikap
Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn Ubaid. Maka keduanya dan
pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah”, adapun pokok jarannya: tauhid (keesaan
Tuhan), adl (keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah
bayn manzila tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa
al-Nahy an Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran). Dan
pengaruhnya terhadap dunia berupa: Bidang orator dan pujangga, Bidang ilmu
balaghah (rethorika), Ilmu perdebatan (jadal), dan Bidang ilmu
Kalam (Theologi Islam).
b.
Al-Maturidiyah merupakan satu aliran di dalam aqidah
Islam yang muncul pada abad ke 9 M. Munculnya golongan ini didorong oleh suatu
kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum
rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan golongan ekstrimitas kaum
tekstualis yang dimotori oleh kaum Hanabilah (para pengikut Imama Ahmad Ibn
Hanbal). Adapun diantara pokok ajarannya: Kewajibann mengetahui tuhan, Mengenai
sifat-sifat Allah swt., Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah
dan tujuan perbuatan tuhan. Dan pengaruhnya terhadap dunia berupa: kebebasan
dalam berfikir menggunakan akal.
2.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah ini kami susun, penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan
disana-sini, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Daftar Pustaka
Al-Fath, Abu,
Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal, Beirut: Dar al Fikri al-‘Ilmiah,1992.
Al-Fayumi,
Muhammad Ibrahim, al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, Kairo: Dar
al-Fikri al-‘Arabi, 2002.
Al-Imam
al-Syarastani, Al Mihal wa Nihal, Kairo : Martabah al-Najlu al-Misriah,
t.th.
Barani, Ansar
Bib, Konsep-Pemikiran-Al-Maturidiyah
(September 2015) https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html, (4 Oktober
2016).
Iskandar, Nur, “Teologi alternatif Memadu Pemikiran Al Asy-ariyah dan Al Maturidiyah”,
Editor M, Masyhur amin,
Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam. Cet. I:
LKPSM NU DIY, 1989.
Madkour, Ibrahim
Fi al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani,
terj. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Nasution, Harun, Teologi Islam dan Intelektual Muslim dalam
“Mimbar Agama” No. 38 th. Xv, Jakarta: IAIN, 1999/2000.
-----. Teologi Islam;
Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI. Press,
1986.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj.
Abd. rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Cet.
I; Jakarta: Logos, 1996.
[2]Muhammad Ibrahim al-Fayumi, al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi
(Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi,2002), h. 190.
[3]Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa
al-Nihal (Beirut: Dar al Fikri al-‘Ilmiah,1992), h. 44.
[4]Imam
Muhammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj. Abd. rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I;
Jakarta: Logos, 1996), h. 152.
[5]Imam
Muhammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyag, terj. Abd. rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, h. 152.
[6]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan (Cet.
V; Jakarta: UI. Press, 1986), h. 152.
[7]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan,
h. 152.
[8]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah analisa dan Perbandingan,
h. 152.
[9]Harun
Nasution, Teologi Islam dan Intelektual Muslim dalam “Mimbar
Agama” No. 38 th. Xv (Jakarta: IAIN, 1999/2000), h. 5.
[10]Ibrahim Madkour, Fi
al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani, terj.
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam (Cet. III;
Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 81.
[11]Ibrahim Madkour, Fi
al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Sani, terj.
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, h.
81.
[12]Ansar Bib Barani, Konsep-Pemikiran-Al-Maturidiyah
(September 2015) https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html, (4 Oktober 2016).
[13]Nur Iskandar, “Teologi alternatif Memadu Pemikiran Al Asy-ariyah dan Al Maturidiyah”,
Editor M, Masyhur amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran
Islam (Cet. I: LKPSM NU DIY, 1989), h. 189-194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar