Minggu, 23 Oktober 2016

KHALIFAH FATIMIYAH DI MESIR



KHALIFAH FATIMIYAH DI MESIR
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dinasti Fatimiah adalah Dinasti yang beraliran Syiah Ismailiyah.[1] Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan oleh Sa’id bin Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah,[2] seorang persia yang bernama ‘Abdullah Ibnu Maymun.[3]
 Melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah. Satu demi satu daerah yang selama ini masuk dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara itu di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Seiring dengan berjalannya waktu, Dinasti Fatimiyah terus berusaha melakukan perluasan Pengaruh dan kekuasaannya ke wilayah-wilayah sekitar, hingga pada akhirnya berhasil menguasai wilayah Afrika Utara, Suria dan Mesir. Ketika mereka berhasil menguasai mesir, melalui Panglima perangnya yang bernama Jauhar di bangunlah sebuah Kota di Mesir yang di beri nama al Qohirah yang berarti kejayaan yang disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo akhirnya menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahannya.
Pembahasan mengenai Bani Fatimiyah adalah pembahasan yang menarik, karena kontroversi yang ditimbulkan oleh daulah ini cukup menggegerkan dunia Islam. Ada yang mengatakan kerajaan ini memiliki sumbangsih besar mengenalkan umat Islam pada ilmu pengetahuan, karena merekalah yang membangun Universitas al-Azhar. Di sisi lain, kerajaan ini dikatakan sebagai kerajaan ekstrim yang intoleran, menindas muslim Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah. Sejarah kerajaan yang dipenuhi dengan penindasan, penipuan, dan penyimpangan dari ajaran Islam juga menjadi sisi lain yang perlu diangkat dan diketengahkan. [4]
 Untuk mengatahui lebih lanjut tentang Bani Fatimiyah dan perkembangannya,  penulis berusaha memaparkannya dalam sebuah makalah yang singkat dan sangat sederhana ini.  
B.       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana sejarah terbentuknya Daulah Fatimiyyah di Mesir ?
2.    Apa saja kemajuan yang berhasil di capai pada masa kekuasaan Daulah Fatimiyyah, dan apa penyebab kemundurannya hingga akhirnya Daulah ini pun Runtuh ?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Sejarah Terbentuknya Daulah Fatimiyah
Setelah Ja’far As shodiq yang oleh kelompok Syi’ah di klaim sebagai imam yang ke enam meninggal dunia, terjadilah perselisihan di antara kaum Syiah tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai pewaris imamah (Baca: Kepemimpinan) yang ke tujuh. Pada awalnya imam Ja’far telah memilih Anak tertuanya Isma’il sebagai penerusnya, tapi karena melihat sifat-sifat ismail yang serakah dan suka mabuk-mabukan, ia mengubah keputusannya dan memilih anak keduanya, Musa al kadzim sebagai penerusnya. Mayoritas Syiah menetapi perubahan itu dan meyakini Musa sebagai penerusnya, yang kemudian ditetapkan sebagai imam ke tuju dari dua belas imam yang di akui.[5] Tetapi kelompok-kelompok lain – yang mengklaim kedudukan imam sebagai manusia yang terjaga dari dosa, tidak menganggap perilaku sepele seperti mabuk-mabukan bisa menggagalkan imamah - tetap setia kepada Ismail, yang wafat lima tahun lebih dulu dari ayahnya. Sekte inilah yang kemudian di kenal dengan sebutan sekte Isma’iliyah. Aliran ini membatasi Jumlah imam sampai tujuh orang saja, dimana mereka meyakini bahwa Isma’il adalah Mahdi yang tersembunyi, karenanya mereka di sebut juga Kelompok tujuh ( Sab’iyyah ).[6]
Aliran Isma’iliyah dinamai juga dengan al-Batiniyyah (esoteris) atau al-Batiniyyun, dinamakan demikian karena mereka selalu mengatakan bahwa imam mereka tersembunyi. Diatara doktrin yang dibawa gerakan ini adalah ; perintah syariat hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan rasul hanyalah seorang mujaddid, para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al Qur’an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti lahir dan arti batin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma’iliyyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran Syi’ah dengan filsafat neo Platonisme, dan Sufistik Ikhwan Al-Safa.[7]
Philip K. Hitti dalam bukunya History of the arabs edisi terjemahan, mengatakan “ termasuk beberapa ajaran yang sukar dimengerti , seperti penciptaan dunia melalui emanasi dari esensi Tuhan, transmigrasi jiwa, imanensi Ilahi dalam diri Ismai’il dan harapan bahwa ia akan segera kembali    ( raj’ah ).[8]
Menurut Hemat penulis, karena keyakinan-keyakinan inilah sehingga sebagian ulama menganggap bahwa kelompok Isma’iliyah adalah kelompok yang sesat, aqidahnya tidak sesuai dengan aqidah Islam yang benar, bahkan sebagian ada yang menghukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (Kafir).
Berkata adz-Zahabi : “ Pemerintahan Bani ‘Ubaid adalah pemerintahan Majusi dan Yahudi, dan bukan Alawiyyin. Pemerintahan mereka adalah pemerintahan Bathiniyyah dan bukan Fathimiyyah.”[9]
 Al Imam As-Suyuti menyebutkan Daulah Fatimiyyah yang di perintah oleh kelompok Teologi Isma’iliyah ini dengan ungkapan “ Daulah Kotor Al -‘Ubaidillah[10]
Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah ibn Maimun[11] yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini.  Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamia di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusupkan utusan-utusan  keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyah kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[12]
Menjelang awal abad ke-9 muncullah seorang pendukung kuat sekte ini yang bernama Abu Abdullah al-Husein al-Syi’i. Ia adalah seorang penduduk asli Shan’a Yaman yang kemudian memproklamirkan dirinya sebagai pelopor al-mahdi dan menyebarkan hasutan di tengah suku berber di Afrika Utara, khususnya suku Kitamah. Perkenalannya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di Mekkah. Wilayah afrika kecil – Tunisia dan Afrika Utara – ketika itu berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. [13]
Kesusksesan yang diraih oleh al-syi’i di wilayah yang baru ini akhirnya mendorong Sa’id keluar meninggalkan Salamiyah dengan menyamar sebagai pedagang menuju barat laut Afrika. Ketika ia terlempar ke penjara bawah tanah di Sijilmasah atas perintah penguasa  Dinasti Aglabiyah, Ziyadatullah (903-909), Sa’id ditolong oleh al-Syi’i. Yang kemudian pada 909 menghancurkan Dinasti Aglabiyah yang telah berkuasa selama beberapa abad, dan mengusir keturunan terakhir Ziyadatullah keluar dari negeri itu. Dinasti Aglabiyah merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-Sunni di wilayah afrika. Sa’id kemudian memproklamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan imam Ubaydullah al-Mahdi dan mengklaim sebagai keturunan Fatimah melalui jalur Al Husain dan Ismail. Dengan demikian berdirilah pemerintahan pertamanya di Afrika dan sa’id pun menjadi khalifah pertama dari dinasti ini yang kemudian di sebut dengan Dinasti Fatimiyah. Sebahagian ulama diantaranya Ibnu Khallikan, Ibnu al-Idzari, al-Suyuti, dan Ibnu Tagri-Birdi menganggap bahwa klaim Sa’id sebagai keturunan dari Fatimah adalah dusta, dan mereka menganggap bahwa sa’id adalah seorang pendusta yang lihai.[14]
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke  Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.[15]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Keberhasilan yang diraih selama pemerintahan al-Muiz tidak lepas dari peran seorang Jendral yang cemerlang bernama Jawhar al-Shiqilli[16]. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan berhasil menancapkan keunggulan Fatimiyah atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Dengan  persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa  mengalami  kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang berarti kota kejayaan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[17]
Adapun nama-nama pemimpin yang pernah memimpin daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang, Yaitu :
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah    (934 M -  946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2.         Kemajuan yang Dicapai Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiah mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Abu Manshur Nizar al-‘Aziz. Daerah kekuasaannya mencapai seluruh Syiria dan Mesopotamia.
Hasil peradaban yang pernah ditorehkan pada masa dinasti Fatimiah ini antara lain:[18]
a.       Bidang Administrasi
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Periode Dinasti Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian negara terbagi menjadi dua kelompok; pertama adalah para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut: (1) Hakim, (2) pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah, (3) inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan, (4) pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara, (5) regu pembantu istana, (6) petugas pembaca al-Qur’an. Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru tulis dalam berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana diatas, terdapat berbagai jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir terdiri atas empat provinsi, provinsi Mesir bagian atas, Mesir wilayah timur, Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.
Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1) Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah, (2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan  nama khalifah, wazir dan suku. Pusat-pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton, dan di beberapa pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral tinggi.
b.      Bidang Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non muslim. Selama masa ini pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Para orientalis menyebut bahwa Bani Fatimiyah telah mencapai masa keemasan dan mempraktikkan nilai-nilai toleran antara umat beragama. Namun sebagian menganggap bahwa kenyataannya tidak demikian, teloransi di masa Bani Fatimiyah hanyalah mitos belaka. Para orientalis menyebut masa itu sebagai masa toleransi semata-mata karena saat itu populasi Yahudi dan Kristen semakin besar di dunia Islam.
Mengapa dikatakan hal itu hanya mitos? Berikut ini data-data sikap intoleran yang dipraktikkan Daulah Fatimiyah, sekaligus membantah klaim para orientalis tersebut:[19]
1.      Pada masa kekuasaan Fatimiyah, orang-orang Sunni dilarang memasuki Kota Jerussalem, sementara orang-orang Syi’ah Isma’iliyah diperbolehkan bahkan dimotivasi untuk berkunjung ke Jerussalem.
2.      Bani Fatimiyah memiliki hubungan yang dekat dengan orang-orang Qaramitah di Semenanjung arab. Duet ini bertanggung jawab atas tindakan-tindakan ofensif terhadap kaum Muslimin di wilayah tersebut. Tahun 906 M, mereka menyerang kafilah jama’ah haji yang hendak menuju Mekkah yang mengakibatkan 20.000 jama’ah terbunuh. Tahun 928 M, Qaramitah dipimpin oleh abu Thahir menyerang mekkah, membantai penduduknya, dan mencongkel Hajar Aswad. 22 tahun kemudian baru mereka kembalikan Hajar Aswad ke Mekkah setelah diberikan tebusan. Imam ibnu Katsir mengatakan “ Dia(Abu Thahir) telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil haram, yang tidak pernah dilaukukan oleh orang sebelumya dan orang sesudahnya”.
3.      Mereka melakukan penganiayaan dan memaksa Ahlussunnah untuk menganut keyakinan kufur Ismailiyah. Ribuan Ahlussunnah dibunuh lantaran mereka menolak untuk menghina para sahabat nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.[20] Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana Khalifah dihuni 30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkuda dan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
c.       Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian pemerintahan Fatimiah dapat dibilang cukup bagus. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah yang dikuasai dan stabilitas politik yang mapan. Hal ini menjadi mungkin karena pemerintahan Fatimiah menggunakan kekuasaan yang sentralistik. Kondisi ini berdampak majunya bidang ekonomi, termasuk di dalamnya kemajuan bidang perdagangan dan sektor industri. Tentu faktor ekonomi ini juga mendorong lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga dua setengah abad.
Pada masa kekuasaannya, khalifah al-Mu’iz melakukan usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia melakukan pembangunan saluran irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian. Ia juga membangun pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan volume kegiatan perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan perdagangan dengan negara-negara lain seperti Eropa dan India juga mengalami peningkatan.
Selain itu penguasa Fatimiah juga berhasil mengembangkan pelabuhan seperti Iskandariah. Pelabuhan Iskandariah sangat penting artinya dalam pertumbuhan perekonomian Fatimiah. Karena itu, tingkat kemakmuran yang dicapai oleh Bani Fatimiyah cukup bagus.
d)   Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Ibnu Khilis merupakan salah seorang wazir Fatimiah yang sangat mempedulikan pengajaran. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu Khilis ini di dalam istana Al-Aziz terdapat seorang fisikawan besar bernama Muhammad At-Tamim. Al-Khindi sejarawan dan topografer terbesar dan hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal Fathimiyah adalah Qasdi An-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki jabatan Qadhi dan keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukan Mesir sampai pada masa pemerintahan Al-Hakim.
Diantara para khalifah Fatimiah Al Aziz adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk di antara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiah dan besarnya perhatian para khalifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuwan berpindah ke Kairo. Istana Al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali Al-Hasan bin Al-Haitami, seorang fisikawan muslim terbesar dan juga ahli di bidang optik.
Khalifah Fatimiah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan tinggi, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar Al-Hikmah (The House Of Wisdom) merupakan prakarsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim pada tahun 1005 M.[21] Dar Al Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Lembaga tersebut didesain sedemikian  rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan kedokteran.
Pada masa Al Muntasir mendirikan Perpustakaan Istana Martabat al Qashr yang menyimpan sekitar 200 ribu koleksi buku yang dihimpun dari seluruh dunia. Koleksi buku tersebut terdiri atas berbagai cabang ilmu pengetahuan, mulai dari bahasa Arab, astronomi, kimia, sejarah, dan biografi. Perpustakaan ini juga mempunyai 2400 naskah al-Quran.
Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lembaga observasi dibukit al-Makattam. Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Penelitiannya ini telah mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.
e)    Bidang Politik
Keberhasilan pemerintahan Fatimiah yang dapat menaklukkan Mesir merupakan kesuksesan yang besar. Maka tidak heran bila mulai saat itu dapat dikatakan bahwa para penguasa Dinasti Fatimiah berhasil mewujudkan keinginannya untuk membangun sebuah imperium yang kuat, dengan dukungan militer yang tangguh, di seputar Laut Tengah. Kekuasaan Fatimiah selanjutnya cukup luas yang membentang dari Samudera Atlantik di sebelah barat dan sungai Euphrat di sebelah timur, pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Karena itu sesungguhnya secara politis Dinasti Fatimiah merupakan ancaman tersendiri bagi kekuasaan Abbasiyah.
Ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal Dinasti Fatimiah ini untuk melancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain al-Mahdi, khalifah pertama melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga pernah terjadi. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari tindakan al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan. Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Khilafah Fatimiah. Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah kekuasaan.
Pengembangan wilayah kekuasaan ini berkaitan erat dengan kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk menguasai daerah-daerah strategis, dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan posisi Khilafah Fatimiah. Dengan begitu stabilitas politik Fatimiah tetap terjaga.
Dalam kenyataannya apa yang dilakukan para penguasa Fatimiah ini dapat berjalan dengan baik, sehingga hampir seluruh Afrika Utara, terutama wilayah barat, berhasil dikuasai. Bani Fatimiah berhasil menguasai seluruh wilayah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, demikian juga menguasai Rustamiah Khariji di Tabart, demikian juga kekuasaan orang-orang Syi’ah yang lain, Idrisiah di Fez juga berhasil dikuasai. Di luar wilayah tersebut juga tercatat bahwa pulau Sisilia yang sebelumnya dikuasai dinasti Aghlab dapat dikuasai pula.
Pada puncak kejayaan pemerintahan Fatimiah ini daerah yang dikuasai mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syria, dan Arabia Barat. Pencapaian tersebut tidak bisa dilepaskan dari penguasaan awal wilayah Mesir, yang cukup strategis tampaknya untuk melakukan ekspansi-ekspansi berikutnya.
f)    Bidang Kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar sekitar tahun 972 M, dalam masa pemerintahan al Mu’iz. Kemudian menjadi madrasah tingkat tinggi pada tahun 976 M dan sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
Dalam pemerintahan Fatimiyah, terdapat empat perayaan maulud, yakni:
1)      Maulid Nabi Muhammad SAW
2)      Maulid Fatimiyah, putri Nabi
3)      Maulid Ali Ibn Abi Thalib
4)      Maulid Khalifah yang memerintah pada masa tersebut
Dalam masa pemerintahan al Aziz, ia berhasil membawa Fatimiyah pada puncak kemajuan mengungguli bani Abbas pada saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan masjid Karafa serta peresmian masjid al Azhar.
g)   Bidang Arsitektur dan Seni
Salah satu bukti bahwa Dinasti Fatimiyah juga mempunyai prestasi gemilang dalam hal arsitektur dan seni yaitu didirikannya masjid al-Azhar yang dibangun pada masa al-Mu’iz. Mode dan model masjid ini dipengaruhi pola pembangunan masjid Ibnu Tulun di Mesir dan juga terdapat pengaruh pola pembangunan Persia.
Sementara model menara yang pada akhirnya mengalami rekontruksi dengan gaya menara yang berasal dari Irak Utara. Kemudian masjid al-Azhar mengalami perkembangan menjadi sebuah Universitas yaitu pada masa Khalifah al- Aziz, yang sebenarnya dibangunnya al-Azhar adalah untuk menyebarluaskan doktrin Syi’ah akan tetapi kemudian Salahuddin al-Ayyubi mengubahnya menjadi pusat studi Sunni bahkan sampai sekarang.
Selain al-Azhar, pada tahun 990 M dibangun pula masjid al-Hakim yang dimungkinkan selesai pada tahun 1012 M. kontruksi masjid al-Hakim tidak jauh beda dengan masjid al-Azhar. Kemudian pada tahun 1125 M dibangun pula masjid al-Aqmar yang mana masjid ini sangat kentara sekali khas arsitektur Islamnya yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Masjid ini mempunyai tiang dengan gaya kaligrafi Kufi yang kubus, yang mana model ini juga mempunyai persamaan dengan masjid al-Shalih ibn Ruzzak.
Kemudian pada tahun 1125 M juga dibangun masjid al-Aqsa dan pada tahun 1160 M dibangun masjid Salih ibn Ruski dengan gaya kufi. Guna memperlihatkan kegagahan pemerintahan Dinasti Fatimiyah maka dibangunlah beberapa pintu gerbang besar yang mana kelak menjadi simbol bahwa Dinasti ini pernah jaya diantaranya yang masih ada sampai sekarang adalah : bab Zawilah, bab an-Nashr dan bab al-Futuh. Selain itu, di Mesir juga dibangun bangunan megah seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan masjid Karafa. Saat itu pula sudah banyak dikenal seni-seni keramik yang banyak mengikuti pola dari Iran. Penjilidan buku juga sudah ada saat itu yang kemudain berkembang sampai pada seni penghiasan sampul buku dan alat stempel.
Di samping itu terdapat gedung-gedung yang terkenal, seperti gedung emas, gedung pembuat mata uang, gedung perpustakaan dan lain-lain. Bangunan itu dibuat bukan hanya sangat megah, tetapi mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi yang tidak kalah dengan nilai-nilai arsitektur Romawi maupun Bizantium. Perkembangan seni bukan terbatas kepada bangunan dan gedung, seni ukir keramik atau tembikar juga sudah dikenal pada saat itu.
h)   Bidang Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiah adalah ikhwan shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1.      Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyah yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.      Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab al mashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof.
3.      Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4.      Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.      Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6.      Hamiduddin Al-Qirmani.[22]

3. Kemunduran Dinasti Fatimiah
Sebagaimana juga yang terjadi di beberapa kekuasaan lain, maka demikian juga yang terjadi pada Dinasti Fatimiah. Setelah Dinasti ini mengalami kemajuan-kemajuan disana sini, kemudian tiba waktu kemundurannya. Para sejarawan menyimpulkan kemunduran Dinasti Fatimiah ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a)         Figur Khalifah yang Lemah
Dalam sejarah Dinasti Fatimiah yang pernah mengalami kejayaaan di atas terdapat beberapa khalifah yang diangga sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya  adalah diangkat dalam usia yang relatif masih muda. Ada pula kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana serta melakukan sikap yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap Dinasti Fatimiah khususnya kepada Khalifahnya.
Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam usia muda, diantaranya adalah Khalifah Al-Hakim yang diangkat dalam usia 11 tahun, usia yang masih belia untuk ukuran seorang pemimpin negara. Demikian juga Al-Zahir yang menjadi khalifah dalam usia 16 tahun, Al-Muntashir dalam usia 11 tahun, Al-Musta’li dalam usia 9 tahun, Al-Amir dalam usia 5 tahun, Al-Zafir dalam usia 16 tahun, Al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan Al-Adhid, khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun. Pengangkatan khalifah dalam usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis keturunan. Dan sebagai akibat dari pengangkatan khalifah di usia muda itu menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir.
Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang muncul sikap sewenang-wenang khalifah, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang. Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Al-Hakim memang punya prestasi monumental misalnya membangun perpustakaan besar yang kemudian dinamai dengan Darul Hikmah pada tahun 1004 M, tetapi ia juga terkenal sebagai khalifah yang kejam.
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukkan dengan kebenciannya kepada orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang dan merendahkan mereka, harta dan nyawa yang dirampas. Al-Hakim memberi tempat orang-orang asing dan orang-orang yang tidak jelas moralnya untuk mengurusi masalah-masalah pemerintahan. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunnya ketenteraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap amoral.
b)        Perebutan Kekuasaan ditingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia muda mengakibatkan peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetitif, sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi. Ini terutama terjadi diantara para wazir yang sangat ambisius terhadap jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di Istana, terlebih lagi dengan melihat kondisi khalifah yang sangat lemah. Ada juga wazir yang berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Hal tersebut bisa dilihat misalnya yang terjadi pada pengganti khalifah al-Muntashir, dimana setelah al-Muntashir meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal yang menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian al-Muntashir, padahal al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para pejabat senior untuk menerima keputusannya itu. Besar kemungkinan apa yang dilakukan oleh al-Afdal dalam rangka agar ketika anaknya berkuasa nanti akan dapat dikendalikannya.
Apa yang dilakukan wazir al-Afdal yang memaksakan kehendaknya, menjadikan Nizar yang mestinya mempunyai hak menjadi khalifah lari ke Iskandaria dan disana ia menyatakan diri sebagai khalifah. al-Afdal kemudian dengan membawa pasukan besar bergerak untuk menyerang dan menangkap Nizar. Akhirnya Nizar menyerah. Walau tadinya dijanjikan keselamatan. Tetapi dia lenyap tidak diketahui.
Hal ini membawa perpecahan di dalam pergerakan Ismailiah. Rakyat yang loyal kepada al-Muntashir pecah menjadi dua golongan. Pertama, di Iran dan sebagian wilayah Syiria, pengikut Madzhab Ismailiah mendukung anaknya yang paling tua yaitu Nizar dan Kedua, di Mesir, Yaman dan Sind pengikut Ismailiah berkeyakinan bahwa adik Nizar yang bernama al-Musta’li. Kedua kelompok Ismailiyah ini, sama-sama mewarisi Dinasti Fatimiah, tetapi sejarah dan perkembangan mereka berjalan dalam arah yang berlainan. Kenyataan ini tentu secara politis tidak menguntungkan.
Demikian juga terjadi pertentangan antara para wazir dan klik-klik militer terjadi pada masa al-Hafid. Yaitu konflik antara Bahram dan Ridwan yang keduanya pernah menjabat penguasa Armenia yang kemudian menjadi wazir. Konflik internal ini jelas semakin hari semakin melemakan kekuasaan Bani Fatimiah. Demikian juga pada masa al-Adhid juga terjadi pertentangan yang serupa, terutama perebutan wazir antara Syawar dan Dirgham.
c)         Konflik di Tubuh Militer
Pada saat Al-Aziz menjabat sebagai khalifah keempat, dia membuat kebijakan untuk merekrut orang-orang Turki dan Negro. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal dari suku Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekrutmen ini menimbulkan kemelut di dalam tubuh militer dan antar mereka terus menerus terjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fatimiah.
Demikian juga pada masa Khalifah Al-Muntashir, di masa ini kekuasaan Dinasti Fatimiah mulai merosot tajam. Tentara profesional betul-betul tidak bisa dikendalikan sang khalifah. Kelompok-kelompok militer yang terdiri dari orang-orang Turki, Sudan, Barbar dan Armenia bersaing sengit, dan terkadang terjadi pertempuran diantara mereka. Bahkan panglima tentara berkebangsaan Turki, Nasir mampu menguasai Kairo pada tahun 1068 sempat menjarah istana kekhalifahan. Sebuah peristiwa cukup membahayakan eksistensi pemerintahan Fatimiah. Tentu saja kemelut di kalangan Militer ini berdampak pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman lagi.
d)        Bencana Alam Berkepanjangan
Pada masa Al-Muntashir, selama tujuh tahun, Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil yang merupakan urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang menyebabkan pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela dimana-mana. Penguasa mengalami kesulitan mengatasi kondisi yang demikian. Sehingga dalam waktu sembilan tahun pernah terjadi pergantian pejabat wazir sampai empat puluh kali. Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fatimiah.
Kemudian Khalifah al-Muntashir meminta bantuan kepada seorang jenderal dari suku Armenia yang bernama Badr al-Jama, yang menjabat Gubernur Arce untuk mengatasi bencana tersebut. Orang ini segera berlayar ke Mesir dengan pengawal Armenia dan sepasukan bala tentara yang setia. Sebelum maksud pemanggilannya, oleh al-Muntashir diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah. Dia berusaha semaksimal mungkin memperbaiki keadaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Fatimiah.
e)         Keterlibatan Non-Islam dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak Khalifah Fatimiah yang terkenal memiliki andil dalam memajukan Dinasti ini adalah Khalifah al-Aziz. Dia memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan Dinasti Fatimiah. Diantara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering memberikan pos-pos penting dan strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya kebijakan ini memang turut memajukan Fatimiah tetapi pada sisi yang lain justru menjadi salah satu faktor yng mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata menimbulkan kecemburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum Syiah Isma’iliyah. Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik Fatimiah.
Sebagian orang non-muslim tersebut ada yang dipercaya menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga terdapat para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Kenyataan seperti ini, secara berangsur-angsur dapat melemahkan dan menggerogoti kondisi kekhalifahan Fatimiah.
Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian bani Fatimiah mengalami kehancurannya. Kehancuran khilafah ini terjadi pada masa kekhalifahan al-Adhid. Kehancuran khilafah ini selain dari akumulasi berbagai faktor yang menyebabkan kemunduran di atas, juga disebabkan oleh adanya kekuatan Kaum Salajiqah dan Pasukan Salib yang banyak terlibat dalam urusan-urusan kekhalifahan, juga karena diminta oleh para wazir yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sehingga konflik kerap muncul di masa khalifah al-Adhid.
Pertentangan tingkat istana itu memuncak saat seorang khalifah Fatimiah memerintahkan untuk membunuh Ibnu Ruzzik, seorang wazir sejak masa al-Faiz. Kemudian Ibnu Ruzzik digantikan oleh anaknya sendiri yang bernama al-Adhil yang kemudian direbut oleh Syawar yang berasal dari Arab yang juga teman dari Ibnu Ruzzik. Anak Syawar, Tayy, kemudian membunuh al-Adil pada tahun 1163.
Dari adanya peristiwa tersebut kemudian Dirgham bersama pendukung al-Adil melakukan pemberontakan. Pada pemberontakan tersebut pasukan Syawar mengalami kekalahan dan lari ke Syiria, dan berakhirnya tersingkirnya dari jabatannya sebagai wazir. Karena Syawar tersingkir maka kedudukan wazir dipegang oleh Dirgham.
Pada saat itu, Syawar menyusun sebuah strategi dengan cara diam-diam meminta bantuan kepada Nuruddin, penguasa Damaskus di masa dinasti Saljuq, yang merupakan afiliasi Abbasiyah di Baghdad. Syawar menjanjikan kepada Nuruddin akan membiayai ekspedisi militer dan memberikan sepertiga pajak Mesir sebagai upeti tahunan jika negara itu dapat dikuasai lagi.
Akhirnya Nuruddin mengirimkan ekspedisi militer dengan tentara asal Turki dibawah pimpinan Panglima Syirkuh. Dirgham yang baru saja mengalami kekalahan dari Raja Almaric, penguasa Yerussalem, tidak berkutik sampai dia meninggal dunia. Sehingga kemenangan berada di pihak Nuruddin.
Setelah kemenangan terjadi, dan Syawar kemudian dapat kembali menjadi wazir di Fatimiah pada tahun 1164 M, ternyata ia mengingkari janjinya dulu kepada Nuruddin, dan bukan itu saja, ia bahkan dengan bantuan pasukan salib yang berasal dari tentara Perancis selanjutnya ia mengusir panglima Syirkuh dari Mesir, pasukan yang dulu membantunya dalam mengalahkan Dirgham.
Setelah terusir dari Mesir kemudian panglima Syirkuh bersama Shalahuddin al-Ayyubi dengan didukung pasukan tangguh kemudian berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166 M. Pasukan ini bukan hanya membantu melawan pasukan Salib tetapi juga sekaigus untuk menguasai Mesir. Dengan pertimbangan bahwa Mesir lebih baik mereka kuasai dari pada dikuasai oleh pasukan salib. Disamping itu sebagai akibat dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazir Syawar. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan salib serta sekaligus menguasai Mesir tahun 1169 M. Akhirnya atas perintah Khalifah, Syawar dibunuh dan kemudian yang diangkat sebagai wazir pada tahun 1169 M adalah Syirkuh.
Syirkuh menjabat sebagai wazir hanya selama dua tahun, selanjutnya ia digantikan oleh Salahuddin. Salahuddin adalah orang yang bertabiat ramah, ia cepat mendapat simpati rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh Khalifah. Posisi ini tentu menjadi rawan bagai possi khalifah Fatimiah.
Dalam keadaan seperti itu kemudian ada perintah dari istana untuk membunuh Salahuddin di bawah pimpinan Najah. Salahuddin tidak terbunuh tetapi justru Najah yang ditangkap dan akhirnya dibunuh. Kemudian terjadilah peperangan antara tentara asal Sudan yang berada di pihak Khalifah berjumlah 50.000 orang melawan tentara asal Turki dari pihak Salahuddin. Karena posisi Salahuddin dan pasukannya sudah kuat maka kemenangan berada di pihak Salahuddin al-Ayyubi.
Setelah kemenangan Salahuddin tersebut kemudian disusul mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Syubik. Setelah meraih kemenangan, pada tahun 1170 M ia meminta kepada Nuruddin untuk mengirim orang tua dan kerabatnya ke Mesir. Mayoritas rakyat Mesir baik Syi’ah maupun Sunni dari kalangan Turki menganggap Salahuddin sebagai pelindung mereka menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin meminta kepada Salahuddin untuk menyebut nama Khalifah Abbasiyah dalam setiap khutbah menggantikan nama Khalifah Fatimiah, tetapi Salahuddin tidak langsung mengabulkannya.
Pada saat khalifah al-Adid sakit, kemudian Salahuddin mengadakan rapat pimpinan soal permintaan Nuruddin itu. Tetapi rapat tersebut tidak membuahkan hasil mungkin karena ada konsekuensi besar dari penyebutan nama Khalifah Abbasiyah tersebut. Pada saat demikian dalam rapat itu tampil seorang keturunan Persia, al-Amir, yang mengusulkan untuk melaksanakan keinginan Nuruddin. Maka pada hari Jum’at pertama bulan Muharram, sebelum khatib naik mimbar, ia mendahului naik dan menyebut nama Khalifah Abbasiyah, al-Mustadli. Karena tidak ada reaksi negatif dari jamaah, Salahuddin menginstruksikan agar para khatib menyebut nama Khalifah Abbasiyah pada hari-hari Jum’at.
Pada tahun 1171 M Khalifah al-Adhid meninggal dunia, dengan meninggalnya khalifah al-adhid dan di khutbah-khutbah jumah disebut nama khalifah Abbasiyah maka dengan demikian hancurnya sudah kekuasaan khilafah Fatimiah secara politis setelah berkuasa sekitar 280 tahun. Jatuhnya kekuasaan Fatimiah ini kemudian kekuasaan dipimpin oleh Salahuddin dengan dinasti keturunannya yaitu dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini tunduk dan berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah.







BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.      Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali ibn Abi Thalib dan Fatimiah dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi system agama dan politik oleh Abdullah ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti Fatimiah. Tokoh-tokohnya meliputi: Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi, Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah, Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah, Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah, Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah, Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah, Abu al-Hasan Ali-Zhahir, Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir.
2.      Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang yaitu administrasi, sosial, ekonomi dan perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesusastraan, politik, kebudayaan, arsitektur dan seni, pemikiran dan filsafat.
3.      Kemunduran Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah, perebutan kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, bencana Alam berkepanjangan dan keterlibatan non-islam dalam pemerintahan yang kemudian pada tahun 1171 M dengan meninggalnya khalifah al-Adhid dan di khutbah-khutbah jum’at tidak disebut nama khalifah Fatimiah melainkan disebut nama khalifah Abbasiyah, maka dengan demikian hancur kekuasaan Bani Fatimiah.
B.     SARAN DAN KRITIK
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
K. Hitti, Philip. 2013. History of the Arabs, Penterjemah: R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi slamet Riyadi. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta
Ali, Mufrodi.1997. Islam Di Kawasan Kebudayaan arab. Jakarta. Logos
MZ, Barsihannor. 2013. Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam. Makassar. alauddin University Press
As-Suyuti, Imam.2013. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman. Jakarta. Pustaka Al Kautsar
Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi.1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoave
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam.Jakarta. Raja Grafindo Persada
Watt, W. Montgomery, penterjemah: Hartono Hadikusumo. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis.Yogyakarta. Tiara Wacana
Ahmad, Zainal Abidin.1979. Sejarah Islam dan Ummatnya. Jakarta. Bulan Bintang
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,. Yogyakarta. Teras
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Amzah
Hadi, Nur Fitri. Artikel Muslim. www. Kisah Muslim.Com















[1]  Lihat Mufrodi Ali. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab ( Jakarta: Logos, 1997 ), h.116
[2]  Pendiri awalnya adalah Imam Isma’il ( w. 760 H )
[3]  Lihat Philip K. Hiti, History Of The Arabs, penterjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  (Cet. 1: Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2013) h. 787
[4]  Nurfitri Hadi, Artikel Muslim www. Kisah Muslim.Com
[5]  Sekte ini kemudian di kenal dengan istilah Syi’ah dua belas ( Itsna Asyariyah )
[6]  Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, Terjemahan, h. 559-560
[7]  Barsihannor MZ. Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, (cet. 1 : Makassar, alauddin University Press, 2013 ) h.69-70
[8]  Philip K. Hiti. History Of The Arabs, Terjemahan, h.561
[9]  Lihat Imam As-Suyuti. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman (cet. 10 : Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2013) h.27
[10] Lihat Imam As-Suyuti. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman, h.590
[11] Maimun al-Qaddah pernah berpraktik sebagai okulis atau ahli batin di al-Ahwaz sebelum pindah ke Yerussalem. Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, Terjemahan, h.561
[12] ] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, ( Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 245.
[13]  Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, h. 787
[14]  Lihat Philip K. Hiti, History Of The Arabs, h. 788

[15] Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 113
[16] Ia adalah orang sisilia atau disebut juga al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia adalah seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin sisilia, yang dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke kairawan ibukota Bani Fatimiyah saat itu. Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, h. 790

[17]W.Montgomery Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990) h. 216

[18] Khoiriyah. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta,Teras, 2012) h. 175 

[19] Nurfitri Hadi, Artikel Muslim www. Kisah Muslim.Com
[20] ] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Amzah, 2010), h.264-265
[21] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h.266-268
[22] Khoiriyah. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, h. 175