KHALIFAH FATIMIYAH DI MESIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinasti
Fatimiah adalah Dinasti yang beraliran Syiah Ismailiyah.[1]
Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi
penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Bani
Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan oleh Sa’id bin Husain, kemungkinan
keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah,[2]
seorang persia yang bernama ‘Abdullah Ibnu Maymun.[3]
Melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah
di awal abad kesembilan menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah. Satu demi
satu daerah yang selama ini masuk dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah,
menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan Bani Abbasiyah di
Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di
bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah,
Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara itu di bagian
barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah,
Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Seiring
dengan berjalannya waktu, Dinasti Fatimiyah terus berusaha melakukan
perluasan Pengaruh dan kekuasaannya ke wilayah-wilayah sekitar, hingga pada
akhirnya berhasil menguasai wilayah Afrika Utara, Suria dan Mesir. Ketika
mereka berhasil menguasai mesir, melalui Panglima perangnya yang bernama Jauhar
di bangunlah sebuah Kota di Mesir yang di beri nama al Qohirah yang berarti
kejayaan yang disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo akhirnya
menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat
pemerintahannya.
Pembahasan
mengenai Bani Fatimiyah adalah pembahasan yang menarik, karena
kontroversi yang ditimbulkan oleh daulah ini cukup menggegerkan dunia Islam.
Ada yang mengatakan kerajaan ini memiliki sumbangsih besar mengenalkan umat
Islam pada ilmu pengetahuan, karena merekalah yang membangun Universitas al-Azhar.
Di sisi lain, kerajaan ini dikatakan sebagai kerajaan ekstrim yang intoleran,
menindas muslim Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah. Sejarah
kerajaan yang dipenuhi dengan penindasan, penipuan, dan penyimpangan dari
ajaran Islam juga menjadi sisi lain yang perlu diangkat dan diketengahkan. [4]
Untuk mengatahui lebih lanjut tentang Bani
Fatimiyah dan perkembangannya, penulis berusaha memaparkannya dalam sebuah makalah
yang singkat dan sangat sederhana ini.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah terbentuknya Daulah Fatimiyyah di Mesir ?
2.
Apa
saja kemajuan yang berhasil di capai pada masa kekuasaan Daulah Fatimiyyah,
dan apa penyebab kemundurannya hingga akhirnya Daulah ini pun Runtuh ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Terbentuknya Daulah
Fatimiyah
Setelah
Ja’far As shodiq yang oleh kelompok Syi’ah di klaim sebagai imam yang ke enam
meninggal dunia, terjadilah perselisihan di antara kaum Syiah tentang siapa
yang akan menggantikannya sebagai pewaris imamah (Baca: Kepemimpinan)
yang ke tujuh. Pada awalnya imam Ja’far telah memilih Anak tertuanya
Isma’il sebagai penerusnya, tapi karena melihat sifat-sifat ismail yang serakah
dan suka mabuk-mabukan, ia mengubah keputusannya dan memilih anak keduanya,
Musa al kadzim sebagai penerusnya. Mayoritas Syiah menetapi perubahan itu dan
meyakini Musa sebagai penerusnya, yang kemudian ditetapkan sebagai imam ke tuju
dari dua belas imam yang di akui.[5]
Tetapi kelompok-kelompok lain – yang mengklaim kedudukan imam sebagai manusia
yang terjaga dari dosa, tidak menganggap perilaku sepele seperti mabuk-mabukan
bisa menggagalkan imamah - tetap setia kepada Ismail, yang wafat lima
tahun lebih dulu dari ayahnya. Sekte inilah yang kemudian di kenal dengan
sebutan sekte Isma’iliyah. Aliran ini membatasi Jumlah imam sampai tujuh
orang saja, dimana mereka meyakini bahwa Isma’il adalah Mahdi yang tersembunyi,
karenanya mereka di sebut juga Kelompok tujuh ( Sab’iyyah ).[6]
Aliran Isma’iliyah
dinamai juga dengan al-Batiniyyah (esoteris) atau al-Batiniyyun,
dinamakan demikian karena mereka selalu mengatakan bahwa imam mereka
tersembunyi. Diatara doktrin yang dibawa gerakan ini adalah ; perintah syariat
hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan rasul hanyalah seorang mujaddid,
para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al
Qur’an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti
lahir dan arti batin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja.
Keyakinan gerakan Isma’iliyyah yang aneh ini berakar dari perpaduan
ajaran Syi’ah dengan filsafat neo Platonisme, dan Sufistik Ikhwan
Al-Safa.[7]
Philip K.
Hitti dalam bukunya History of the arabs edisi terjemahan, mengatakan “
termasuk beberapa ajaran yang sukar dimengerti , seperti penciptaan dunia
melalui emanasi dari esensi Tuhan, transmigrasi jiwa, imanensi Ilahi dalam diri
Ismai’il dan harapan bahwa ia akan segera kembali ( raj’ah
).[8]
Menurut
Hemat penulis, karena keyakinan-keyakinan inilah sehingga sebagian ulama
menganggap bahwa kelompok Isma’iliyah adalah kelompok yang sesat,
aqidahnya tidak sesuai dengan aqidah Islam yang benar, bahkan sebagian ada yang
menghukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (Kafir).
Berkata
adz-Zahabi : “ Pemerintahan Bani ‘Ubaid adalah pemerintahan Majusi dan
Yahudi, dan bukan Alawiyyin. Pemerintahan mereka adalah pemerintahan Bathiniyyah
dan bukan Fathimiyyah.”[9]
Al Imam As-Suyuti menyebutkan Daulah
Fatimiyyah yang di perintah oleh kelompok Teologi Isma’iliyah ini
dengan ungkapan “ Daulah Kotor Al -‘Ubaidillah “[10]
Sekte Ismailiyah
ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah
ibn Maimun[11] yang
kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah
ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun
860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamia di Syiria dan disinilah mereka
membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya
Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusupkan utusan-utusan keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan
Mesir untuk menyebarkan Ismailiyah kepada rakyat. Dengan cara inilah
mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di
Afrika dan Mesir.[12]
Menjelang
awal abad ke-9 muncullah seorang pendukung kuat sekte ini yang bernama Abu
Abdullah al-Husein al-Syi’i. Ia adalah seorang penduduk asli Shan’a Yaman yang
kemudian memproklamirkan dirinya sebagai pelopor al-mahdi dan
menyebarkan hasutan di tengah suku berber di Afrika Utara, khususnya suku Kitamah.
Perkenalannya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di Mekkah.
Wilayah afrika kecil – Tunisia dan Afrika Utara – ketika itu berada di bawah
kekuasaan Aglabiyah. [13]
Kesusksesan
yang diraih oleh al-syi’i di wilayah yang baru ini akhirnya mendorong Sa’id
keluar meninggalkan Salamiyah dengan menyamar sebagai pedagang menuju
barat laut Afrika. Ketika ia terlempar ke penjara bawah tanah di Sijilmasah
atas perintah penguasa Dinasti
Aglabiyah, Ziyadatullah (903-909), Sa’id ditolong oleh al-Syi’i. Yang
kemudian pada 909 menghancurkan Dinasti Aglabiyah yang telah berkuasa
selama beberapa abad, dan mengusir keturunan terakhir Ziyadatullah keluar dari
negeri itu. Dinasti Aglabiyah merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-Sunni
di wilayah afrika. Sa’id kemudian memproklamirkan dirinya sebagai penguasa
dengan julukan imam Ubaydullah al-Mahdi dan mengklaim sebagai
keturunan Fatimah melalui jalur Al Husain dan Ismail. Dengan demikian berdirilah
pemerintahan pertamanya di Afrika dan sa’id pun menjadi khalifah pertama dari
dinasti ini yang kemudian di sebut dengan Dinasti Fatimiyah. Sebahagian
ulama diantaranya Ibnu Khallikan, Ibnu al-Idzari, al-Suyuti, dan Ibnu
Tagri-Birdi menganggap bahwa klaim Sa’id sebagai keturunan dari Fatimah adalah
dusta, dan mereka menganggap bahwa sa’id adalah seorang pendusta yang lihai.[14]
Pada tahun
914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia,
menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya.
Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang
kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim
(934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan
wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering
dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal,
kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan
Abu Yazid Makad.[15]
Pada tahun
945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan
menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Keberhasilan yang diraih
selama pemerintahan al-Muiz tidak lepas dari peran seorang Jendral yang
cemerlang bernama Jawhar al-Shiqilli[16].
Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke
atlentik, dan berhasil menancapkan keunggulan Fatimiyah atas seluruh
Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas
tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk
menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan
penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Dengan persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda
politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos
Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami
kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah
secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak
berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah
Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun
cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar
segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah
yang berarti kota kejayaan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M
kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat
pemerintahan.[17]
Adapun nama-nama pemimpin yang
pernah memimpin daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang,
Yaitu :
1. Abu
Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2.
Kemajuan
yang Dicapai Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiah mencapai
puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Abu Manshur Nizar al-‘Aziz. Daerah
kekuasaannya mencapai seluruh Syiria dan Mesopotamia.
Hasil
peradaban yang pernah ditorehkan pada masa dinasti Fatimiah ini antara lain:[18]
a.
Bidang Administrasi
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah
mencakup wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia,
pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Periode Dinasti
Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Khalifah berwenang mengangkat
dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian negara terbagi menjadi dua kelompok;
pertama adalah para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok
pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah.
Sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut:
(1) Hakim, (2) pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu
pengetahuan atau Dar al-Hikmah, (3) inspektur pasar yang bertugas menertibkan
pasar dan jalan, (4) pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan
negara, (5) regu pembantu istana, (6) petugas pembaca al-Qur’an. Tingkat
terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu
petugas penjaga dan juru tulis dalam berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana diatas, terdapat
berbagai jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria,
dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir terdiri atas empat
provinsi, provinsi Mesir bagian atas, Mesir wilayah timur, Mesir wilayah barat,
dan wilayah Alexandria, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut
diserahkan kepada penguasa setempat.
Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok,
yaitu (1) Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah,
(2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Komando-komando resimen yang
masing-masing menyandang nama berbeda seperti hafiziyyah, Juyushiyyah
dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama khalifah,
wazir dan suku. Pusat-pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika,
Ascaton, dan di beberapa pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang
Admiral tinggi.
b.
Bidang Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat
dan penuh perhatian kepada urusan agama non muslim. Selama masa ini pemeluk
kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim
yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia
tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah
muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam
di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian
pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan
kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang kopti.
Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar,
pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Para orientalis menyebut bahwa Bani Fatimiyah
telah mencapai masa keemasan dan mempraktikkan nilai-nilai toleran antara umat
beragama. Namun sebagian menganggap bahwa kenyataannya tidak demikian,
teloransi di masa Bani Fatimiyah hanyalah mitos belaka. Para orientalis
menyebut masa itu sebagai masa toleransi semata-mata karena saat itu populasi
Yahudi dan Kristen semakin besar di dunia Islam.
Mengapa dikatakan
hal itu hanya mitos? Berikut ini data-data sikap intoleran yang dipraktikkan Daulah
Fatimiyah, sekaligus membantah klaim para orientalis tersebut:[19]
1.
Pada masa kekuasaan Fatimiyah,
orang-orang Sunni dilarang memasuki Kota Jerussalem, sementara
orang-orang Syi’ah Isma’iliyah diperbolehkan bahkan dimotivasi untuk
berkunjung ke Jerussalem.
2.
Bani Fatimiyah memiliki
hubungan yang dekat dengan orang-orang Qaramitah di Semenanjung arab.
Duet ini bertanggung jawab atas tindakan-tindakan ofensif terhadap kaum
Muslimin di wilayah tersebut. Tahun 906 M, mereka menyerang kafilah jama’ah
haji yang hendak menuju Mekkah yang mengakibatkan 20.000 jama’ah terbunuh.
Tahun 928 M, Qaramitah dipimpin oleh abu Thahir menyerang mekkah,
membantai penduduknya, dan mencongkel Hajar Aswad. 22 tahun kemudian baru
mereka kembalikan Hajar Aswad ke Mekkah setelah diberikan tebusan. Imam ibnu
Katsir mengatakan “ Dia(Abu Thahir) telah melakukan ilhad (kekufuran) di
Masjidil haram, yang tidak pernah dilaukukan oleh orang sebelumya dan orang
sesudahnya”.
3.
Mereka melakukan penganiayaan dan
memaksa Ahlussunnah untuk menganut keyakinan kufur Ismailiyah.
Ribuan Ahlussunnah dibunuh lantaran mereka menolak untuk menghina para
sahabat nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup
mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam
paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama
sejumlah penari rupawan.[20]
Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia
menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona
dengan pakaian kebesarannya. Istana Khalifah dihuni 30.000 orang,
diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkuda
dan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan,
rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum
yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus
untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
c.
Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian pemerintahan Fatimiah dapat
dibilang cukup bagus. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah
yang dikuasai dan stabilitas politik yang mapan. Hal ini menjadi mungkin karena
pemerintahan Fatimiah menggunakan kekuasaan yang sentralistik. Kondisi
ini berdampak majunya bidang ekonomi, termasuk di dalamnya kemajuan bidang
perdagangan dan sektor industri. Tentu faktor ekonomi ini juga mendorong
lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga dua setengah abad.
Pada masa kekuasaannya, khalifah al-Mu’iz melakukan
usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia melakukan pembangunan saluran
irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian. Ia juga membangun
pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan volume kegiatan
perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan perdagangan dengan
negara-negara lain seperti Eropa dan India juga mengalami peningkatan.
Selain itu penguasa Fatimiah juga berhasil
mengembangkan pelabuhan seperti Iskandariah. Pelabuhan Iskandariah
sangat penting artinya dalam pertumbuhan perekonomian Fatimiah. Karena
itu, tingkat kemakmuran yang dicapai oleh Bani Fatimiyah cukup bagus.
d) Bidang Ilmu
Pengetahuan dan Kesusastraan
Ibnu Khilis merupakan salah seorang wazir Fatimiah
yang sangat mempedulikan pengajaran. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan
dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu Khilis ini di dalam
istana Al-Aziz terdapat seorang fisikawan besar bernama Muhammad At-Tamim.
Al-Khindi sejarawan dan topografer terbesar dan hidup di Fustat dan meninggal
di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal Fathimiyah adalah Qasdi
An-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki jabatan Qadhi dan
keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukan Mesir sampai pada masa
pemerintahan Al-Hakim.
Diantara para khalifah Fatimiah Al Aziz adalah
tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk di antara
khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan
pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga
pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiah dan besarnya
perhatian para khalifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuwan
berpindah ke Kairo. Istana Al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus,
pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali Al-Hasan bin Al-Haitami,
seorang fisikawan muslim terbesar dan juga ahli di bidang optik.
Khalifah Fatimiah mendirikan
sejumlah sekolah dan perguruan tinggi, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga
ilmu pengetahuan. Dar Al-Hikmah (The House Of Wisdom) merupakan prakarsa
terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga
ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syi’ah
Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim pada tahun 1005 M.[21]
Dar Al Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al
Makmun di Bahgdad. Lembaga tersebut didesain sedemikian rupa untuk memberikan konstribusi terhadap
kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan
kedokteran.
Pada masa Al Muntasir mendirikan Perpustakaan Istana Martabat
al Qashr yang menyimpan sekitar 200 ribu koleksi buku yang dihimpun dari
seluruh dunia. Koleksi buku tersebut terdiri atas berbagai cabang ilmu
pengetahuan, mulai dari bahasa Arab, astronomi, kimia, sejarah, dan biografi.
Perpustakaan ini juga mempunyai 2400 naskah al-Quran.
Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian
astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lembaga observasi dibukit al-Makattam.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus
kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus
karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah
dihasilkan. Penelitiannya ini telah mengilhami para ilmuwan Barat, seperti
Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.
e) Bidang
Politik
Keberhasilan pemerintahan Fatimiah yang dapat
menaklukkan Mesir merupakan kesuksesan yang besar. Maka tidak heran bila mulai
saat itu dapat dikatakan bahwa para penguasa Dinasti Fatimiah berhasil mewujudkan
keinginannya untuk membangun sebuah imperium yang kuat, dengan dukungan militer
yang tangguh, di seputar Laut Tengah. Kekuasaan Fatimiah selanjutnya
cukup luas yang membentang dari Samudera Atlantik di sebelah barat dan sungai
Euphrat di sebelah timur, pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah
selatan. Karena itu sesungguhnya secara politis Dinasti Fatimiah
merupakan ancaman tersendiri bagi kekuasaan Abbasiyah.
Ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para
penguasa awal Dinasti Fatimiah ini untuk melancarkan stabilitas politik,
yaitu antara lain al-Mahdi, khalifah pertama melakukan pembersihan
figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang progamnya.
Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga pernah terjadi.
Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung
Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari tindakan
al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan.
Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Khilafah Fatimiah.
Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah kekuasaan.
Pengembangan wilayah kekuasaan ini berkaitan erat
dengan kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk menguasai
daerah-daerah strategis, dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang
membahayakan posisi Khilafah Fatimiah. Dengan begitu stabilitas politik Fatimiah
tetap terjaga.
Dalam kenyataannya apa yang dilakukan para penguasa Fatimiah
ini dapat berjalan dengan baik, sehingga hampir seluruh Afrika Utara,
terutama wilayah barat, berhasil dikuasai. Bani Fatimiah berhasil
menguasai seluruh wilayah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di
Tunisia, demikian juga menguasai Rustamiah Khariji di Tabart,
demikian juga kekuasaan orang-orang Syi’ah yang lain, Idrisiah di Fez
juga berhasil dikuasai. Di luar wilayah tersebut juga tercatat bahwa pulau Sisilia
yang sebelumnya dikuasai dinasti Aghlab dapat dikuasai pula.
Pada puncak kejayaan pemerintahan Fatimiah ini
daerah yang dikuasai mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia,
Mesir, Syria, dan Arabia Barat. Pencapaian tersebut tidak bisa dilepaskan dari
penguasaan awal wilayah Mesir, yang cukup strategis tampaknya untuk melakukan
ekspansi-ekspansi berikutnya.
f) Bidang
Kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama
setelah didirikannya Masjid al-Azhar sekitar tahun 972 M, dalam masa
pemerintahan al Mu’iz. Kemudian menjadi madrasah tingkat tinggi pada
tahun 976 M dan sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar),
yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan
dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
Dalam pemerintahan Fatimiyah, terdapat empat
perayaan maulud, yakni:
1)
Maulid Nabi
Muhammad SAW
2)
Maulid Fatimiyah,
putri Nabi
3)
Maulid Ali
Ibn Abi Thalib
4)
Maulid Khalifah
yang memerintah pada masa tersebut
Dalam masa pemerintahan al Aziz, ia berhasil membawa Fatimiyah
pada puncak kemajuan mengungguli bani Abbas pada saat itu. Bangunan
megah ia dirikan di Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl
Pavillion, dan masjid Karafa serta peresmian masjid al Azhar.
g) Bidang
Arsitektur dan Seni
Salah satu bukti bahwa Dinasti Fatimiyah juga
mempunyai prestasi gemilang dalam hal arsitektur dan seni yaitu didirikannya
masjid al-Azhar yang dibangun pada masa al-Mu’iz. Mode dan model masjid
ini dipengaruhi pola pembangunan masjid Ibnu Tulun di Mesir dan juga
terdapat pengaruh pola pembangunan Persia.
Sementara model menara yang pada akhirnya mengalami
rekontruksi dengan gaya menara yang berasal dari Irak Utara. Kemudian masjid al-Azhar
mengalami perkembangan menjadi sebuah Universitas yaitu pada masa Khalifah
al- Aziz, yang sebenarnya dibangunnya al-Azhar adalah untuk menyebarluaskan
doktrin Syi’ah akan tetapi kemudian Salahuddin al-Ayyubi mengubahnya
menjadi pusat studi Sunni bahkan sampai sekarang.
Selain al-Azhar, pada tahun 990 M dibangun pula
masjid al-Hakim yang dimungkinkan selesai pada tahun 1012 M. kontruksi
masjid al-Hakim tidak jauh beda dengan masjid al-Azhar. Kemudian
pada tahun 1125 M dibangun pula masjid al-Aqmar yang mana masjid ini
sangat kentara sekali khas arsitektur Islamnya yaitu ceruk (muqarnas)
stalaktit. Masjid ini mempunyai tiang dengan gaya kaligrafi Kufi
yang kubus, yang mana model ini juga mempunyai persamaan dengan masjid al-Shalih
ibn Ruzzak.
Kemudian pada tahun 1125 M juga dibangun masjid al-Aqsa
dan pada tahun 1160 M dibangun masjid Salih ibn Ruski dengan gaya kufi.
Guna memperlihatkan kegagahan pemerintahan Dinasti Fatimiyah maka
dibangunlah beberapa pintu gerbang besar yang mana kelak menjadi simbol bahwa Dinasti
ini pernah jaya diantaranya yang masih ada sampai sekarang adalah : bab
Zawilah, bab an-Nashr dan bab al-Futuh. Selain itu, di Mesir juga dibangun
bangunan megah seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan
masjid Karafa. Saat itu pula sudah banyak dikenal seni-seni keramik yang
banyak mengikuti pola dari Iran. Penjilidan buku juga sudah ada saat itu yang
kemudain berkembang sampai pada seni penghiasan sampul buku dan alat stempel.
Di samping itu terdapat gedung-gedung yang terkenal,
seperti gedung emas, gedung pembuat mata uang, gedung perpustakaan dan
lain-lain. Bangunan itu dibuat bukan hanya sangat megah, tetapi mempunyai nilai
seni dan arsitektur yang tinggi yang tidak kalah dengan nilai-nilai arsitektur
Romawi maupun Bizantium. Perkembangan seni bukan terbatas kepada
bangunan dan gedung, seni ukir keramik atau tembikar juga sudah dikenal pada
saat itu.
h) Bidang
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti
Fatimiah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok
ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiah adalah ikhwan
shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah
Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang
telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti
Fatimiyah ini adalah:
1. Abu Hatim
Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyah yang pemikirannya lebih
banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya
kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak
membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2. Abu Abdillah
An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab al mashul. Kitab ini lebih
banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya
ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian
ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul
Alam dan al-Kaunul Mujrof.
3. Abu Ya’qup
as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4. Abu Hanifah
An-Nu’man Al-Magribi
5. Ja’far Ibnu
Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.[22]
3. Kemunduran
Dinasti Fatimiah
Sebagaimana juga yang terjadi di beberapa kekuasaan
lain, maka demikian juga yang terjadi pada Dinasti Fatimiah. Setelah Dinasti
ini mengalami kemajuan-kemajuan disana sini, kemudian tiba waktu kemundurannya.
Para sejarawan menyimpulkan kemunduran Dinasti Fatimiah ini disebabkan
oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a)
Figur Khalifah yang
Lemah
Dalam sejarah Dinasti Fatimiah yang
pernah mengalami kejayaaan di atas terdapat beberapa khalifah yang diangga
sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal.
Diantaranya adalah diangkat dalam usia
yang relatif masih muda. Ada pula kelemahan itu karena khalifah terlena dengan
kemewahan istana serta melakukan sikap yang sewenang-wenang dan cenderung
amoral, yang menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap Dinasti Fatimiah
khususnya kepada Khalifahnya.
Terdapat beberapa nama khalifah yang
diangkat dalam usia muda, diantaranya adalah Khalifah Al-Hakim yang diangkat
dalam usia 11 tahun, usia yang masih belia untuk ukuran seorang pemimpin negara.
Demikian juga Al-Zahir yang menjadi khalifah dalam usia 16 tahun, Al-Muntashir
dalam usia 11 tahun, Al-Musta’li dalam usia 9 tahun, Al-Amir dalam usia 5
tahun, Al-Zafir dalam usia 16 tahun, Al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan Al-Adhid,
khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun. Pengangkatan khalifah dalam
usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian
khalifah secara garis keturunan. Dan sebagai akibat dari pengangkatan khalifah
di usia muda itu menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan
umumnya didominasi oleh para wazir.
Karena faktor usia khalifah masih muda
terkadang muncul sikap sewenang-wenang khalifah, seperti yang dilakukan oleh
khalifah al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang.
Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Al-Hakim memang punya
prestasi monumental misalnya membangun perpustakaan besar yang kemudian dinamai
dengan Darul Hikmah pada tahun 1004 M, tetapi ia juga terkenal sebagai khalifah
yang kejam.
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukkan
dengan kebenciannya kepada orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang
dan merendahkan mereka, harta dan nyawa yang dirampas. Al-Hakim memberi tempat
orang-orang asing dan orang-orang yang tidak jelas moralnya untuk mengurusi
masalah-masalah pemerintahan. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan
pemerintahan, menurunnya ketenteraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap
amoral.
b)
Perebutan Kekuasaan
ditingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di
usia muda mengakibatkan peranan wazir menjadi sangat penting dan
kompetitif, sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan
lagi. Ini terutama terjadi diantara para wazir yang sangat ambisius
terhadap jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di Istana, terlebih lagi
dengan melihat kondisi khalifah yang sangat lemah. Ada juga wazir
yang berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah
menunjuk pengganti dirinya.
Hal tersebut bisa dilihat misalnya yang
terjadi pada pengganti khalifah al-Muntashir, dimana setelah al-Muntashir
meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal yang
menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian al-Muntashir,
padahal al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi
al-Afdal justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk
para pejabat senior untuk menerima keputusannya itu. Besar kemungkinan apa yang
dilakukan oleh al-Afdal dalam rangka agar ketika anaknya berkuasa nanti akan
dapat dikendalikannya.
Apa yang dilakukan wazir al-Afdal
yang memaksakan kehendaknya, menjadikan Nizar yang mestinya mempunyai hak
menjadi khalifah lari ke Iskandaria dan disana ia menyatakan diri sebagai khalifah.
al-Afdal kemudian dengan membawa pasukan besar bergerak untuk menyerang dan
menangkap Nizar. Akhirnya Nizar menyerah. Walau tadinya dijanjikan keselamatan.
Tetapi dia lenyap tidak diketahui.
Hal ini membawa perpecahan di dalam
pergerakan Ismailiah. Rakyat yang loyal kepada al-Muntashir pecah
menjadi dua golongan. Pertama, di Iran dan sebagian wilayah Syiria, pengikut
Madzhab Ismailiah mendukung anaknya yang paling tua yaitu Nizar dan
Kedua, di Mesir, Yaman dan Sind pengikut Ismailiah berkeyakinan bahwa
adik Nizar yang bernama al-Musta’li. Kedua kelompok Ismailiyah ini, sama-sama
mewarisi Dinasti Fatimiah, tetapi sejarah dan perkembangan mereka
berjalan dalam arah yang berlainan. Kenyataan ini tentu secara politis tidak
menguntungkan.
Demikian juga terjadi pertentangan antara
para wazir dan klik-klik militer terjadi pada masa al-Hafid. Yaitu
konflik antara Bahram dan Ridwan yang keduanya pernah menjabat penguasa Armenia
yang kemudian menjadi wazir. Konflik internal ini jelas semakin hari semakin
melemakan kekuasaan Bani Fatimiah. Demikian juga pada masa al-Adhid juga
terjadi pertentangan yang serupa, terutama perebutan wazir antara Syawar dan
Dirgham.
c)
Konflik di Tubuh
Militer
Pada saat Al-Aziz menjabat sebagai khalifah
keempat, dia membuat kebijakan untuk merekrut orang-orang Turki dan Negro.
Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang
telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal dari suku
Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekrutmen ini menimbulkan kemelut di
dalam tubuh militer dan antar mereka terus menerus terjadi perselisihan yang
melemahkan kekuasaan Fatimiah.
Demikian juga pada masa Khalifah
Al-Muntashir, di masa ini kekuasaan Dinasti Fatimiah mulai merosot
tajam. Tentara profesional betul-betul tidak bisa dikendalikan sang khalifah.
Kelompok-kelompok militer yang terdiri dari orang-orang Turki, Sudan, Barbar
dan Armenia bersaing sengit, dan terkadang terjadi pertempuran diantara mereka.
Bahkan panglima tentara berkebangsaan Turki, Nasir mampu menguasai Kairo pada
tahun 1068 sempat menjarah istana kekhalifahan. Sebuah peristiwa cukup
membahayakan eksistensi pemerintahan Fatimiah. Tentu saja kemelut di
kalangan Militer ini berdampak pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman
lagi.
d)
Bencana Alam
Berkepanjangan
Pada masa Al-Muntashir, selama tujuh tahun,
Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil yang merupakan
urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang menyebabkan
pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela dimana-mana.
Penguasa mengalami kesulitan mengatasi kondisi yang demikian. Sehingga dalam
waktu sembilan tahun pernah terjadi pergantian pejabat wazir sampai empat puluh
kali. Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fatimiah.
Kemudian Khalifah al-Muntashir meminta
bantuan kepada seorang jenderal dari suku Armenia yang bernama Badr al-Jama,
yang menjabat Gubernur Arce untuk mengatasi bencana tersebut. Orang ini segera
berlayar ke Mesir dengan pengawal Armenia dan sepasukan bala tentara yang
setia. Sebelum maksud pemanggilannya, oleh al-Muntashir diketahui dia telah
menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang
mungkin menimbulkan masalah. Dia berusaha semaksimal mungkin memperbaiki
keadaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Fatimiah.
e)
Keterlibatan Non-Islam
dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak Khalifah
Fatimiah yang terkenal memiliki andil dalam memajukan Dinasti ini
adalah Khalifah al-Aziz. Dia memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
kemajuan Dinasti Fatimiah. Diantara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz
sering memberikan pos-pos penting dan strategis kepada orang-orang non-Islam.
Tampaknya kebijakan ini memang turut memajukan Fatimiah tetapi pada sisi
yang lain justru menjadi salah satu faktor yng mengakibatkan kemunduran dinasti
ini, karena kebijakan ini ternyata menimbulkan kecemburuan, kejengkelan dan
bahkan kemarahan di kalangan kaum Syiah Isma’iliyah. Benih-benih
kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik Fatimiah.
Sebagian orang non-muslim tersebut ada yang
dipercaya menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga terdapat para dokter dan para
pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Kenyataan
seperti ini, secara berangsur-angsur dapat melemahkan dan menggerogoti kondisi kekhalifahan
Fatimiah.
Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad,
kemudian bani Fatimiah mengalami kehancurannya. Kehancuran khilafah
ini terjadi pada masa kekhalifahan al-Adhid. Kehancuran khilafah ini
selain dari akumulasi berbagai faktor yang menyebabkan kemunduran di atas, juga
disebabkan oleh adanya kekuatan Kaum Salajiqah dan Pasukan Salib yang banyak
terlibat dalam urusan-urusan kekhalifahan, juga karena diminta oleh para wazir
yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sehingga konflik kerap
muncul di masa khalifah al-Adhid.
Pertentangan tingkat istana itu memuncak saat seorang khalifah
Fatimiah memerintahkan untuk membunuh Ibnu Ruzzik, seorang wazir
sejak masa al-Faiz. Kemudian Ibnu Ruzzik digantikan oleh anaknya sendiri yang
bernama al-Adhil yang kemudian direbut oleh Syawar yang berasal dari Arab yang
juga teman dari Ibnu Ruzzik. Anak Syawar, Tayy, kemudian membunuh al-Adil pada
tahun 1163.
Dari adanya peristiwa tersebut kemudian Dirgham
bersama pendukung al-Adil melakukan pemberontakan. Pada pemberontakan tersebut
pasukan Syawar mengalami kekalahan dan lari ke Syiria, dan berakhirnya
tersingkirnya dari jabatannya sebagai wazir. Karena Syawar tersingkir maka
kedudukan wazir dipegang oleh Dirgham.
Pada saat itu, Syawar menyusun sebuah strategi dengan
cara diam-diam meminta bantuan kepada Nuruddin, penguasa Damaskus di masa
dinasti Saljuq, yang merupakan afiliasi Abbasiyah di Baghdad. Syawar menjanjikan
kepada Nuruddin akan membiayai ekspedisi militer dan memberikan sepertiga pajak
Mesir sebagai upeti tahunan jika negara itu dapat dikuasai lagi.
Akhirnya Nuruddin mengirimkan ekspedisi militer dengan
tentara asal Turki dibawah pimpinan Panglima Syirkuh. Dirgham yang baru saja
mengalami kekalahan dari Raja Almaric, penguasa Yerussalem, tidak berkutik
sampai dia meninggal dunia. Sehingga kemenangan berada di pihak Nuruddin.
Setelah kemenangan terjadi, dan Syawar kemudian dapat
kembali menjadi wazir di Fatimiah pada tahun 1164 M, ternyata ia
mengingkari janjinya dulu kepada Nuruddin, dan bukan itu saja, ia bahkan dengan
bantuan pasukan salib yang berasal dari tentara Perancis selanjutnya ia
mengusir panglima Syirkuh dari Mesir, pasukan yang dulu membantunya dalam
mengalahkan Dirgham.
Setelah terusir dari Mesir kemudian panglima Syirkuh
bersama Shalahuddin al-Ayyubi dengan didukung pasukan tangguh kemudian
berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166 M. Pasukan ini bukan hanya membantu
melawan pasukan Salib tetapi juga sekaigus untuk menguasai Mesir. Dengan
pertimbangan bahwa Mesir lebih baik mereka kuasai dari pada dikuasai oleh
pasukan salib. Disamping itu sebagai akibat dari pengkhianatan yang dilakukan
oleh wazir Syawar. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan salib
serta sekaligus menguasai Mesir tahun 1169 M. Akhirnya atas perintah Khalifah,
Syawar dibunuh dan kemudian yang diangkat sebagai wazir pada tahun 1169 M
adalah Syirkuh.
Syirkuh menjabat sebagai wazir hanya selama dua tahun,
selanjutnya ia digantikan oleh Salahuddin. Salahuddin adalah orang yang
bertabiat ramah, ia cepat mendapat simpati rakyat dan bahkan mengalahkan
pengaruh Khalifah. Posisi ini tentu menjadi rawan bagai possi khalifah
Fatimiah.
Dalam keadaan seperti itu kemudian ada perintah dari
istana untuk membunuh Salahuddin di bawah pimpinan Najah. Salahuddin tidak
terbunuh tetapi justru Najah yang ditangkap dan akhirnya dibunuh. Kemudian
terjadilah peperangan antara tentara asal Sudan yang berada di pihak Khalifah
berjumlah 50.000 orang melawan tentara asal Turki dari pihak Salahuddin. Karena
posisi Salahuddin dan pasukannya sudah kuat maka kemenangan berada di pihak
Salahuddin al-Ayyubi.
Setelah kemenangan Salahuddin tersebut kemudian
disusul mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Syubik.
Setelah meraih kemenangan, pada tahun 1170 M ia meminta kepada Nuruddin untuk
mengirim orang tua dan kerabatnya ke Mesir. Mayoritas rakyat Mesir baik Syi’ah
maupun Sunni dari kalangan Turki menganggap Salahuddin sebagai pelindung mereka
menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin meminta kepada Salahuddin untuk
menyebut nama Khalifah Abbasiyah dalam setiap khutbah menggantikan nama Khalifah
Fatimiah, tetapi Salahuddin tidak langsung mengabulkannya.
Pada saat khalifah al-Adid sakit, kemudian Salahuddin
mengadakan rapat pimpinan soal permintaan Nuruddin itu. Tetapi rapat tersebut
tidak membuahkan hasil mungkin karena ada konsekuensi besar dari penyebutan
nama Khalifah Abbasiyah tersebut. Pada saat demikian dalam rapat itu
tampil seorang keturunan Persia, al-Amir, yang mengusulkan untuk melaksanakan
keinginan Nuruddin. Maka pada hari Jum’at pertama bulan Muharram, sebelum
khatib naik mimbar, ia mendahului naik dan menyebut nama Khalifah Abbasiyah,
al-Mustadli. Karena tidak ada reaksi negatif dari jamaah, Salahuddin
menginstruksikan agar para khatib menyebut nama Khalifah Abbasiyah pada
hari-hari Jum’at.
Pada tahun 1171 M Khalifah al-Adhid meninggal dunia,
dengan meninggalnya khalifah al-adhid dan di khutbah-khutbah jumah disebut nama
khalifah Abbasiyah maka dengan demikian hancurnya sudah kekuasaan khilafah
Fatimiah secara politis setelah berkuasa sekitar 280 tahun. Jatuhnya
kekuasaan Fatimiah ini kemudian kekuasaan dipimpin oleh Salahuddin
dengan dinasti keturunannya yaitu dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini tunduk dan
berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567
H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syria. Dinamakan dinasti
Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Fatimah, putri
Rasulullah, istri Ali ibn Abi Thalib dan Fatimiah dari Ismail anak
Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan
dibentuk menjadi system agama dan politik oleh Abdullah ibn Maimun. Setelah itu
berubah menjadi gerakan kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian
sekte ini menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti Fatimiah.
Tokoh-tokohnya meliputi: Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi, Abu
al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah, Abu Tahir
Isma’il Al-Manshur Billah, Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah, Abu Manshur
Nizar Al-‘Aziz Billah, Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah, Abu al-Hasan
Ali-Zhahir, Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir.
2.
Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi
berbagai bidang yaitu administrasi, sosial, ekonomi dan perdagangan, ilmu
pengetahuan dan kesusastraan, politik, kebudayaan, arsitektur dan seni,
pemikiran dan filsafat.
3.
Kemunduran Dinasti Fatimiah
disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah, perebutan
kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, bencana Alam
berkepanjangan dan keterlibatan non-islam dalam pemerintahan yang kemudian pada
tahun 1171 M dengan meninggalnya khalifah al-Adhid dan di
khutbah-khutbah jum’at tidak disebut nama khalifah Fatimiah melainkan
disebut nama khalifah Abbasiyah, maka dengan demikian hancur kekuasaan Bani
Fatimiah.
B. SARAN DAN KRITIK
Demikian Makalah yang dapat kami
susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
K.
Hitti, Philip. 2013. History of the Arabs, Penterjemah: R.Cecep Lukman
Yasin dan Dedi slamet Riyadi. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta
Ali,
Mufrodi.1997. Islam Di Kawasan Kebudayaan arab. Jakarta. Logos
MZ,
Barsihannor. 2013. Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam. Makassar. alauddin
University Press
As-Suyuti,
Imam.2013. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman. Jakarta. Pustaka
Al Kautsar
Ensiklopedi
Islam, Dewan Redaksi.1994. Ensiklopedi
Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoave
Thohir,
Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam.Jakarta. Raja Grafindo Persada
Watt,
W. Montgomery, penterjemah: Hartono Hadikusumo. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis.Yogyakarta.
Tiara Wacana
Ahmad, Zainal Abidin.1979. Sejarah Islam dan Ummatnya. Jakarta. Bulan Bintang
Khoiriyah.
2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,. Yogyakarta. Teras
Amin,
Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Amzah
Hadi, Nur Fitri.
Artikel Muslim. www. Kisah Muslim.Com
[2] Pendiri awalnya adalah Imam Isma’il ( w. 760 H
)
[3] Lihat Philip K. Hiti, History Of The Arabs,
penterjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Cet. 1: Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2013)
h. 787
[6] Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs,
Terjemahan, h. 559-560
[7] Barsihannor MZ.
Dialog Tiga Mazhab Besar Teologi Islam, (cet. 1 : Makassar, alauddin
University Press, 2013 ) h.69-70
[8] Philip K. Hiti. History Of The Arabs,
Terjemahan, h.561
[9] Lihat Imam
As-Suyuti. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman (cet. 10 : Jakarta,
Pustaka Al Kautsar, 2013) h.27
[10] Lihat Imam
As-Suyuti. Tarikh Khulafa, Penterjemah : Samson Rahman, h.590
[11] Maimun al-Qaddah
pernah berpraktik sebagai okulis atau ahli batin di al-Ahwaz sebelum pindah
ke Yerussalem. Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, Terjemahan,
h.561
[12] ] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (
Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 245.
[13] Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs,
h. 787
[14] Lihat Philip K. Hiti, History Of The Arabs,
h. 788
[15] Ajid Thohir. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,
2004), h. 113
[16] Ia adalah
orang sisilia atau disebut juga al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia adalah
seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin sisilia, yang dari sana
ia dibawa sebagai seorang budak ke kairawan ibukota Bani Fatimiyah saat itu.
Lihat Philip K. Hiti. History Of The Arabs, h. 790
[17]W.Montgomery
Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo. Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta, Tiara Wacana,
1990) h. 216
[19] Nurfitri Hadi,
Artikel Muslim www. Kisah Muslim.Com
[21] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h.266-268