TA’ABBUDI
DAN TA’AQQULI
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Semester dua (II)
Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 10
Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A.
Dr. Misbahuddin, M.H.I.
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam merupakan ajaran
terakhir yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Sesudah beliau,
tidak ada lagi Rasul yang diutus dan juga wahyu yang diturunkan untuk mengatur
kehidupan manusia di permukaan bumi ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama
Islam adalah agama terakhir yang sempurna. Islam membawa ajaran yang lengkap
dan mengatur segala kehidupan manusia baik yang bersifat duniawi maupun
akhirat.
Sebagaimana diketahui, Allah
swt. telah menetapkan hukum terhadap suatu kejadian, sebahagian dari hukum itu
ditetapkan dengan nash al-Qur’an dan sebahagian lagi dijelaskan lebih
lanjut dengan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai sumber yang utama dalam
penerapan hukum Islam. Al-Qur’an, disamping mengandung hukum-hukum yang sudah
rinci dan menurut sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang
masih memerlukan penafsiran lebih lanjut dan mempunyai potensial untuk
berkembang. Didalam al-Qur’an terdapat hukum ketetapan yang telah ditetapkan
oleh Allah dan telah menjadi bahan kajian untuk kita sebagai hambanya. Untuk
kajian tersebut tentulah butuh penjelasan, ketika nash al-Quran tersebut masih belum jelas, maka dalam sunnah
Rasulullah saw. inilah yang akan menjadi penjelas atau berupa sumber kedua
setelah al-Quran guna petunjuk untuk umat Islam itu sendiri.
Al-Qur’an dan hadis memuat dua aspek dari din al-Islām,
yaitu a) keyakinan dasar atau pokok-pokok agama (usul al-dỉn), dan b)
hukum-hukum syariat atau cabang-cabang agama (furu al-dỉn).[1] Selaras dengan klasifikasi ini Abdul Wahhab Khallaf membagi
kandungan al-Qur’an menjadi tiga bagian besar: aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan
dengan etika atau akhlak. Sedangkan amaliyah berkaitan dengan
aspek-aspek hukum yang timbul dari ucapan dan perbuatan manusia. Materi hukum
Islam itu sendiri dibagi menjadi dua bagian besar: ibadah dan muamalah.[2]
Ibadah berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia dengan
Tuhannya, sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya.
Sedangkan muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia
atau dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.[3]
Dalam kaitan ini al-Qur’an hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan
penjelasan (bayan)nya oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya.
2. Rumsan Masalah
Dari persoalan
di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.
Apa
pengertian ta’abbudi dan ta’aqquli ?
b.
Bagaimana
objek ta’abbudi dan ta’aqquli ?
c.
Bagaimana
implikasi ta’abbudi dan ta’aqquli terhadap hukum Islam ?
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Ta’abbudi berasal
dari bahasa Arab, sebagai masdar dari fi’il
ta’abbada-yata’abbadu-ta’abbudan yang berarti penghambaan diri, ketundukan
dan kerendahan diri[4]
kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah swt. Secara terminologi, ta’abbudi
adalah ketentuan hukum di dalam nas (al-Qur’an dan sunnah) yang harus
diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan ta’aqquli,
adalah ketentuan nas yang masih bisa diinterpretasi.[5]
Menurut al-Syatibi, ta’abbudi adalah “hanya mengikuti
apa yang telah ditetapkan oleh Syảr’i, atau “sesuatu yang secara khusus
menjadi hak Allah.”[6]
Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur, ta’abbudi adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari al-Qur’an
maupun Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.[7]
Dengan demikian dalam masalah ta’abbudi, manusia
hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai
dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas yang
bersifat ta’abbudi, adalah gair ma’qul al-ma’na, atau mutlak,
tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam
bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi (gairu ma’qulah al-ma’na),
dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyariatkan.[8]
Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah kaifiyat
(tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga
manusia tidak bisa merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik
salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah
disyariatkan.
Makna ta’abbudi di atas pada dasarnya selaras dalam
QS. Al-Bayyinah/98:5;
!$tBur
(#ÿrâÉDé&
žwÎ)
(#r߉ç6÷èu‹Ï9
©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC
ã&s!
tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Terjemahnya:
“Padahal mereka hanya diperintah
menyembah Allah, dengan ikhlas mentaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama”…[9]
Dapat dipahami bahwa dalam bidang ibadah, manusia bersifat
pasif dalam arti tidak bisa menetapkan sesuatu ibadah hanya berdasarkan nalar
rasionya. Suatu ibadah harus didasarkan kepada wahyu atau nas baik al-Qur’an
maupun hadis Nabi saw. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai ketentuan ibadah
dalam syariat Islam, yang pada umumnya tidak bisa diketahui rahasianya, seperti
salat zuhur, asar, dan isya masing-masing empat rakaat, salat magrib tiga
rakaat dan salat subuh hanya dua rakaat. Mengapa jumlah rakaatnya berbeda-beda?
Akal manusia belum, bahkan tidak akan mampu mengetahui alasan rasional dari
jumlah rakaat masing-masing salat lima waktu tersebut.
Sedangkan ta’aqquli berasal dari fi’il ta’aqqala-
yata’aqqalu- ta’aqqulan, yang berarti sesuatu yang masuk akal (rasional).[10]
Jadi, ta’aqquli adalah bersifat ma’qul al-ma’na, yaitu
hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan,
baik sebab maupun illat ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar manusia
(mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah, baik bagi
bagi individu maupun publik.[11]
Jadi, nas-nas yang bersifat ta’aqquli adalah
ma’qul al-ma’na, atau relatif, sehingga membutuhkan pemikiran dalam
pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan perkembangan
situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman dan tempat.[12]
Sehingga al-Islām sālihun likulli zaman wa makan.
Perbedaan konsep ta’abbudi dan ta’aqquli tersebut
hanya terletak pada kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun
hikmah-hikmah hukum yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum
yang ma’qul al-ma’na sendiri tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi dan
ta’aqquli dalam arti luas.[13]
Makna ta’abbudi dan ta’aqquli di atas
berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang
harus patuh kepada-Nya. Untuk itu manusia harus melakukan perbuatan yang
menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat
dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ibadat yang fungsi utamanya
mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala
konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut mahdah. Kedua,
muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan tulang
punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia akan
rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh
nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), maka yang pertama tadi bersifat
ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haqq Allah).[14]
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa ta’abbudi
adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan
hadis) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai wujud penghambaan dan
kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan rasional, sehingga bersifat
mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa mengalami perluasan seperti
objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di zaman klasik, sesuai
dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena itu dalam ibadah tetap
terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia (dimensi ta’aqqulat).
Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum
Islam ketentuan nas (al-Qur’an dan Hadis) yang diterima dan ditaati oleh
seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio
manusia selaras dengan kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga bersifat
relatif sesuai perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian hukum-hukum
yang bersifat ta’aqquli tetap mengandung dimensi ibadah. Karena itu
muamalah tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi.
2. Objek
Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, bahwa hukum Islam
dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal (rasio)
manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan ini
menurut hasil penelitian ulama, jumlah nas yang bisa dinalar akal manusia jauh
lebih banyak dibanding nas yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, bahwa hukum
Islam, ada yang masuk dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian lainnya
masuk dalam wilayah ta’aqquli.
Objek ta’abbudi dan ta’qquli menjadi kajian
ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh telah konsensus, bahwa
hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah[15]
(murni) dan hal-hal yang daruriyyah
termasuk dalam objek ta’abbudi.[16]
Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas
dan hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat
lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu
bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nas
(al-Qur’an, hadis).
Demikian juga hukum-hukum daruriyyah yang merupakan
kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan
fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima aspek daruriyyah
yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan
keturunan.[17]
Semua ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta’abbudi, tidak
membutuhkan interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Di samping itu beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-ahwal
al-syakhsiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta’abbudi, di
antaranya ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali
(QS. Al-Baqarah/2:229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu
seorang isteri yang ditalak suaminy (QS. al-Baqarah/2:228, dan 234; QS.
at-Talaq/65:4), sanksi kaffarat terhadap pelaku zihar dan ila’
(QS. al-Baqarah/2:226, al-Mujadalah/58:2-4). Semua ini dijelaskan Allah
secara gamblang dan terperinci. Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan
ijtihad.
Termasuk juga dalam objek ta’abuddi adalah hal-hal
yang berkaitan dengan akhlak yang bersifat permanen, misalnya kewajiban anak
berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah
walau salah satu atau kedua orang tuanya telah murtad sekalipun. Dalam kaitan
ini Allah menegaskan dalam QS. al-Isra/17:23;
4Ó|Ós%ur y7•u‘ žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Îur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.
Jika salah satu di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik.[18]
Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya itu
merupakan salah satu bentuk akhlak yang bersifat permanen atau qat’i
sebab tidak terbuka peluang anak boleh durhaka kepada kedua orang tuanya.
Kalaupun antara anak dan orang tua berbeda keyakinan, namun perbedaan agama itu
hanya mempengaruhi hubungan perdata- seperti perwalian dan kewarisan- namun
hubungan anak dengan orang tua tidak berubah karena di antara keduanya terdapat
hubungan darah (keturunan).
Dari kajian di atas dapat dikemukakan, bahwa objek ta’abbudi
adalah ibadah mahdah, sedangkan objek ta’aqquli adalah
muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah yang dilakukan di samping
merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan
sesama manusia. Ketika seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah
melakukan komunikasi dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan
harmonis melalui pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).[19]
Walaupun dalam ibadah mahdah tidak dapat diketahui
illatnya secara pasti namun dalam tataran tertentu minimal bisa ditelusuri
makna filosofisnya, misalnya ketentuan membasuh bejana yang dijilati anjing
sebanyak 7 kali dan salah satu di antaranya dengan tanah. Ijtihad dalam hal ini
bukan untuk merubah ketentuan hukumnya namun justru untuk lebih menguatkan
keyakinan dalam mentaati ketentuan hukum yang ta’abbudi itu. Uraian
lebih lanjut akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya.
3. Implikasi
Ta’abbudi dan Ta’aqquli terhadap Perkembangan Hukum Islam
Untuk kemaslahatan dunia, syariat dibangun di atas dua hal, pertama
kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan kedua,
peluang untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat itu.[20]
Baginya, bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan segala nikmat Allah
sesuai keredaan-Nya selaku sumber nikmat. Kesyukuran atas nikmat itu adalah hak
Allah atas manusia, sedangkan hak manusia dari kesyukurannya ialah kehidupan
sejahtera dan makmur di dunia, pahala di akhirat dan kebebasan dari siksaan
neraka.[21]
Posisi eksistensi manusia di antara kewajiban bersyukur
dengan hak memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera di dunia, menuntut
manusia menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua bentuk: ta’abbudat (kepatuhan
beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulat (perbuatan muamalah yang
sifatnya rasional). Ibadat, karena bersifat ta’abbud murni, yang makna
(ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka manusia
harus menerima apa saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan ibadat yang
berbeda dari tata cara yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat lagi.[22]
Batasan-batasan syariat menyangkut taharah dan salat
misalnya, mutlak ditaati tanpa lebih dahulu memikirkan mengapa caranya demikian
dan mengapa diperintahkan. Akal tidak perlu mempertanyakan mengapa tayammum
yang menurut pandangan mata tidak mengandung arti kebersihan, dapat menjadi
pengganti wudu dan mandi untuk bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal
ibadat hanyalah kepatuhan pada perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan
mengagungkan-Nya. Kepatuhan itulah yang menjadi illat (cause) bagi
diperintahkannya suatu ibadat, tidak lebih dan tudak kurang dari itu.[23]
Walaupun memang di balik kepatuhan kepada Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi
manusia juga.
Berbeda halnya muamalah yang disebut al-Syatibi sebagai
kebiasaan universal (‘adat) yang maknanya dapat dipahami oleh nalar,
maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar. Illat dari muamalah dapat
dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di dalamnya bagi
kehidupan manusia. Karena itu sesuatu dilarang jika tidak terdapat maslahat di
dalamnya dan dibolehkan bahkan diperintahkan jika di dalamnya terdapat
maslahat. Misalnya transaksi uang dengan uang yang sejenisnya, dalam arti jual
beli, dilarang dalam hukum Islam sebab memang tidak ada manfaat yang dapat
diperoleh. Tetapi jika transaksi itu dilaksanakan dalam urusan utang piutang,
maka syariat membolehkan dan memerintahkannya sebab di dalamnya terdapat
manfaat bagi muamalah manusia.[24]
Selain itu, manusia dapat berijtihad dalam kaitannya dengan
hal-hal yang menjadi “alat” dalam pelaksanaan ibadat, misalnya pakaian untuk
penutup aurat saat salat. Dalam hal ini salat bersifat ta’abbudi sedangkan
pakaian untuk salat bersifat ta’aqquli. Ketentuan salat bersifat
absolut, sedangkan pakaian yang dikenakan saat salat tetapi bersifat relatif,
dapat berubah mengikuti irama perubahan sosial.[25]
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa aturan-aturan
hukum yang murni bersifat ta’abbudi tidak bisa diubah dengan berdasarkan
rasio, namun memahami rahasia dan hikmah di balik suatu ta’abbudi
tidaklah berarti merubah ketentuan ta’abbudi tersebut. Begitu pula
memperluas objek suatu ibadah mahdah yang bersifat ta’abbudi
sangat dimungkinkan dan hal ini berimplikasi terhadap perkembangan hukum Islam.
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas
(al-Qur’an dan hadis) dalam bidang ibadah yang harus diterima dan ditaati
sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, walaupun tanpa
mengetahui alasan dan tujuan secara rasionalnya. Sedangkan ta’aqquli adalah
segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) yang
diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia
berdasarkan nalar rasio manusia. Ta’abbudi adalah ketaatan mutlak,
bersifat non rasional, namun memiliki nilai ta’aqquli (kemaslahatan bagi
manusia, baik yang telah maupun belum diketahui). Sedangkan ta’aqquli adalah
ketaatan terhadap aturan bersifat rasional dan mengandung maslahat yang umumnya
telah diketahui manusia, namun demikian mengandung unsur ta’abbudi.
b.
Obyek
ta’abbudi adalah ibadah mahdah, ketentuan-ketentuan yang bersifat
daruriyyat, dan qat’i yang berkaitan dengan ibadah, serta
ketentuan akhlak yang bersifat permanen, sedangkan objek ta’aqquli,
adalah masalah muamalah, termasuk juga nas-nas zanni yang tidak
berkaitan dengan ibadah.
c.
Konsep
ta’abbudi dan ta’aqquli mempunyai implikasi terhadap perkembangan
hukum Islam. Meskipun konsep ta’abbudi bersifat statis, sehingga tidak
terbuka pintu ijtihad untuk merubah tata cara ibadah, Sedangkan dalam ta’aqquli
sangat berpeluang mengalami perluasan melalui ijtihad. Dengan demikian
konsep ta’aqquli memberikan kontribusi yang lebih besar ketimbang konsep
ta’abbudi terhadap perkembangan hukum Islam.
Daftar
Pustaka
Al-Syatibi,
Abu Ishaq. al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah. Jilid II. Cet. III;
Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M.
Bahri,
Syamsul. Metodologi Hukum Islam. Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008.
Dahlan,
Abdul Aziz. ed. Ensiklopedi Hukum Islam.
Jilid 5. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Djamil,
Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Fuad,
Mahsun. Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emasipatoris. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005.
Haq,
Hamka. Filsafat Ushul Fiqh. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. Cet. I; Bandung:
Syamsil al-Qur’an, 2012.
Madkur,
Muhammad Salam, Madkhal al-Fiqh al-Islảm. Kairo: Dar al-Quniyah, 1964.
Munzir,
Ibn. Lisan al-Arab, Jilid IV. Mesir:
Dar al-Ma’arifah, [t.th.].
Rahman,
Jalaluddin. Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer. Cet. I;
Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997.
Rizvi,
Sayyid Muhammad. “Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat,” dalam Jurnal
Al-Huda, Vol. 2 No. 5, 2002.
Suratmaputra,
Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002.
Yahya,
Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1986).
Zahra,
Muhammad Abu. Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum. dkk. Ushul Fiqih.
Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
[2]Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 52.
[3]Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat
Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 15.
[4]Ibn Munzir, Lisan al-Arab,
Jilid IV (Mesir: Dar al-Ma’arifah,
[t.th.]), h. 262.
[5]Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh
(Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h. 140.
[6]Abu Ishaq al-Syatibi,
al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III; Bayrut: Dar Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), h. 315
[7]Muhammad Salam Madkur, Madkhal
al-Fiqh al-Islảm (Kairo: Dar al-Quniyah, 1964), h. 18.
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, h. 52
[9]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Cet. I; Bandung: Syamsil
al-Qur’an, 2012), h.
597.
[10] Ibn Munzir, Lisan al-Arab,
Jilid IV, h. 3046
[11]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986), h. 362.
[12]Abdul Aziz Dahlan (ed.),
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2003), h. 1723.
[13]Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008), h. 156.
[14]Abu Ishaq al-Syatibi,
al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II, h. 215.
[15]Ibadah mahdah, ialah
ibadah yang ketika dilaksanakan hanya semata-mata kepada Allah. Ketika ibadah
itu dilaksanakan, maka tidak ada makna secara langsung pada waktu
pelaksanaannya, unsur atau nilai sosialnya. Saat seseorang melaksanakan salat,
ia semata-mata melakukan hubungan dengan Tuhan dan sama sekali tidak memberi
suatu bantuan sosial kepada sesamanya. Ibadah puasa pun demikian. Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif
Pemikiran Kontemporer (Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika,
1997), h. 6.
[16]Abdul Aziz Dahlan (ed.),
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, h. 1723.
[17]Muhammad Abu Zahra, Usul
al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Ushul Fiqih (Cet. VI;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 200), h. 484.
[19]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 7.
[20]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 321.
[21]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 323
[22]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 308.
[23]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 305.
[24]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer,
h. 305.
[25]Mahsun Fuad, Hukum Islam
Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emasipatoris (Cet. I;
Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar