Jumat, 02 Juni 2017

TA’ABBUDI DAN TA’AQQULI



TA’ABBUDI DAN TA’AQQULI

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Semester dua (II) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 10

Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A.
Dr. Misbahuddin, M.H.I.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
 

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Islam merupakan ajaran terakhir yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Sesudah beliau, tidak ada lagi Rasul yang diutus dan juga wahyu yang diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia di permukaan bumi ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam adalah agama terakhir yang sempurna. Islam membawa ajaran yang lengkap dan mengatur segala kehidupan manusia baik yang bersifat duniawi maupun akhirat.
Sebagaimana diketahui, Allah swt. telah menetapkan hukum terhadap suatu kejadian, sebahagian dari hukum itu ditetapkan dengan nash al-Qur’an dan sebahagian lagi dijelaskan lebih lanjut dengan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai sumber yang utama dalam penerapan hukum Islam. Al-Qur’an, disamping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan penafsiran lebih lanjut dan mempunyai potensial untuk berkembang. Didalam al-Qur’an terdapat hukum ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah dan telah menjadi bahan kajian untuk kita sebagai hambanya. Untuk kajian tersebut tentulah butuh penjelasan, ketika nash al-Quran tersebut masih belum jelas, maka dalam sunnah Rasulullah saw. inilah yang akan menjadi penjelas atau berupa sumber kedua setelah al-Quran guna petunjuk untuk umat Islam itu sendiri.
Al-Qur’an dan hadis memuat dua aspek dari din al-Islām, yaitu a) keyakinan dasar atau pokok-pokok agama (usul al-dỉn), dan b) hukum-hukum syariat atau cabang-cabang agama (furu al-dỉn).[1] Selaras dengan klasifikasi ini Abdul Wahhab Khallaf membagi kandungan al-Qur’an menjadi tiga bagian besar: aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan etika atau akhlak. Sedangkan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang timbul dari ucapan dan perbuatan manusia. Materi hukum Islam itu sendiri dibagi menjadi dua bagian besar: ibadah dan muamalah.[2] Ibadah berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia dengan Tuhannya, sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya. Sedangkan muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia atau dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.[3] Dalam kaitan ini al-Qur’an hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan penjelasan (bayan)nya oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya.
2.   Rumsan Masalah
Dari persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.    Apa pengertian ta’abbudi dan ta’aqquli ?
b.   Bagaimana objek ta’abbudi dan ta’aqquli ?
c.    Bagaimana implikasi ta’abbudi dan ta’aqquli terhadap hukum Islam ?




B.     PEMBAHASAN
1.   Pengertian Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Ta’abbudi berasal dari bahasa Arab, sebagai masdar dari fi’il ta’abbada-yata’abbadu-ta’abbudan yang berarti penghambaan diri, ketundukan dan kerendahan diri[4] kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah swt. Secara terminologi, ta’abbudi adalah ketentuan hukum di dalam nas (al-Qur’an dan sunnah) yang harus diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan ta’aqquli, adalah ketentuan nas yang masih bisa diinterpretasi.[5]
Menurut al-Syatibi, ta’abbudi adalah “hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syảr’i, atau “sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah.”[6] Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur, ta’abbudi adalah semata-mata mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari al-Qur’an maupun Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.[7]
Dengan demikian dalam masalah ta’abbudi, manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas yang bersifat ta’abbudi, adalah gair ma’qul al-ma’na, atau mutlak, tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi (gairu ma’qulah al-ma’na), dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan.[8] Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah kaifiyat (tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga manusia tidak bisa merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah disyariatkan.
Makna ta’abbudi di atas pada dasarnya selaras dalam QS. Al-Bayyinah/98:5;
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Terjemahnya:
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas mentaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama[9]
Dapat dipahami bahwa dalam bidang ibadah, manusia bersifat pasif dalam arti tidak bisa menetapkan sesuatu ibadah hanya berdasarkan nalar rasionya. Suatu ibadah harus didasarkan kepada wahyu atau nas baik al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai ketentuan ibadah dalam syariat Islam, yang pada umumnya tidak bisa diketahui rahasianya, seperti salat zuhur, asar, dan isya masing-masing empat rakaat, salat magrib tiga rakaat dan salat subuh hanya dua rakaat. Mengapa jumlah rakaatnya berbeda-beda? Akal manusia belum, bahkan tidak akan mampu mengetahui alasan rasional dari jumlah rakaat masing-masing salat lima waktu tersebut.
Sedangkan ta’aqquli berasal dari fi’il ta’aqqala- yata’aqqalu- ta’aqqulan, yang berarti sesuatu yang masuk akal (rasional).[10] Jadi, ta’aqquli adalah bersifat ma’qul al-ma’na, yaitu hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan, baik sebab maupun illat ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah, baik bagi bagi individu maupun publik.[11]
Jadi, nas-nas yang bersifat ta’aqquli adalah ma’qul al-ma’na, atau relatif, sehingga membutuhkan pemikiran dalam pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman dan tempat.[12] Sehingga al-Islām sālihun likulli zaman wa makan.
Perbedaan konsep ta’abbudi dan ta’aqquli tersebut hanya terletak pada kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun hikmah-hikmah hukum yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum yang ma’qul al-ma’na sendiri tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi dan ta’aqquli  dalam arti luas.[13]
Makna ta’abbudi dan ta’aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang harus patuh kepada-Nya. Untuk itu manusia harus melakukan perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ibadat yang fungsi utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut mahdah. Kedua, muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan tulang punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia akan rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), maka yang pertama tadi bersifat ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haqq Allah).[14]
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan rasional, sehingga bersifat mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa mengalami perluasan seperti objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di zaman klasik, sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena itu dalam ibadah tetap terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia (dimensi ta’aqqulat).
Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam ketentuan nas (al-Qur’an dan Hadis) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia selaras dengan kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga bersifat relatif sesuai perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian hukum-hukum yang bersifat ta’aqquli tetap mengandung dimensi ibadah. Karena itu muamalah tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi.
2.   Objek Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, bahwa hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah nas yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding nas yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, bahwa hukum Islam, ada yang masuk dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian lainnya masuk dalam wilayah ta’aqquli.
Objek ta’abbudi dan ta’qquli menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah[15] (murni) dan hal-hal yang daruriyyah  termasuk dalam objek ta’abbudi.[16] Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas dan hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nas (al-Qur’an, hadis).
Demikian juga hukum-hukum daruriyyah yang merupakan kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima aspek daruriyyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.[17] Semua ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta’abbudi, tidak membutuhkan interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Di samping itu beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta’abbudi, di antaranya ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (QS. Al-Baqarah/2:229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu seorang isteri yang ditalak suaminy (QS. al-Baqarah/2:228, dan 234; QS. at-Talaq/65:4), sanksi kaffarat terhadap pelaku zihar dan ila’ (QS. al-Baqarah/2:226, al-Mujadalah/58:2-4). Semua ini dijelaskan Allah secara gamblang dan terperinci. Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan ijtihad.
Termasuk juga dalam objek ta’abuddi adalah hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang bersifat permanen, misalnya kewajiban anak berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah walau salah satu atau kedua orang tuanya telah murtad sekalipun. Dalam kaitan ini Allah menegaskan dalam QS. al-Isra/17:23;
4Ó|Ós%ur y7u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Îur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah satu di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.[18]
Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya itu merupakan salah satu bentuk akhlak yang bersifat permanen atau qat’i sebab tidak terbuka peluang anak boleh durhaka kepada kedua orang tuanya. Kalaupun antara anak dan orang tua berbeda keyakinan, namun perbedaan agama itu hanya mempengaruhi hubungan perdata- seperti perwalian dan kewarisan- namun hubungan anak dengan orang tua tidak berubah karena di antara keduanya terdapat hubungan darah (keturunan).
Dari kajian di atas dapat dikemukakan, bahwa objek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, sedangkan objek ta’aqquli adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah yang dilakukan di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara langsung  merupakan alat komunikasi sosial dengan sesama manusia. Ketika seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah melakukan komunikasi dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan harmonis melalui pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).[19]
Walaupun dalam ibadah mahdah tidak dapat diketahui illatnya secara pasti namun dalam tataran tertentu minimal bisa ditelusuri makna filosofisnya, misalnya ketentuan membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak 7 kali dan salah satu di antaranya dengan tanah. Ijtihad dalam hal ini bukan untuk merubah ketentuan hukumnya namun justru untuk lebih menguatkan keyakinan dalam mentaati ketentuan hukum yang ta’abbudi itu. Uraian lebih lanjut akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya.
3.   Implikasi Ta’abbudi dan Ta’aqquli terhadap Perkembangan Hukum Islam
Untuk kemaslahatan dunia, syariat dibangun di atas dua hal, pertama kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan kedua, peluang untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat itu.[20] Baginya, bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan segala nikmat Allah sesuai keredaan-Nya selaku sumber nikmat. Kesyukuran atas nikmat itu adalah hak Allah atas manusia, sedangkan hak manusia dari kesyukurannya ialah kehidupan sejahtera dan makmur di dunia, pahala di akhirat dan kebebasan dari siksaan neraka.[21]
Posisi eksistensi manusia di antara kewajiban bersyukur dengan hak memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera di dunia, menuntut manusia menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua bentuk: ta’abbudat (kepatuhan beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulat (perbuatan muamalah yang sifatnya rasional). Ibadat, karena bersifat ta’abbud murni, yang makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka manusia harus menerima apa saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan ibadat yang berbeda dari tata cara yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat lagi.[22]
Batasan-batasan syariat menyangkut taharah dan salat misalnya, mutlak ditaati tanpa lebih dahulu memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa diperintahkan. Akal tidak perlu mempertanyakan mengapa tayammum yang menurut pandangan mata tidak mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudu dan mandi untuk bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah kepatuhan pada perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kepatuhan itulah yang menjadi illat (cause) bagi diperintahkannya suatu ibadat, tidak lebih dan tudak kurang dari itu.[23] Walaupun memang di balik kepatuhan kepada Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi manusia juga.
Berbeda halnya muamalah yang disebut al-Syatibi sebagai kebiasaan universal (‘adat) yang maknanya dapat dipahami oleh nalar, maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar. Illat dari muamalah dapat dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di dalamnya bagi kehidupan manusia. Karena itu sesuatu dilarang jika tidak terdapat maslahat di dalamnya dan dibolehkan bahkan diperintahkan jika di dalamnya terdapat maslahat. Misalnya transaksi uang dengan uang yang sejenisnya, dalam arti jual beli, dilarang dalam hukum Islam sebab memang tidak ada manfaat yang dapat diperoleh. Tetapi jika transaksi itu dilaksanakan dalam urusan utang piutang, maka syariat membolehkan dan memerintahkannya sebab di dalamnya terdapat manfaat bagi muamalah manusia.[24]
Selain itu, manusia dapat berijtihad dalam kaitannya dengan hal-hal yang menjadi “alat” dalam pelaksanaan ibadat, misalnya pakaian untuk penutup aurat saat salat. Dalam hal ini salat bersifat ta’abbudi sedangkan pakaian untuk salat bersifat ta’aqquli. Ketentuan salat bersifat absolut, sedangkan pakaian yang dikenakan saat salat tetapi bersifat relatif, dapat berubah mengikuti irama perubahan sosial.[25]
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa aturan-aturan hukum yang murni bersifat ta’abbudi tidak bisa diubah dengan berdasarkan rasio, namun memahami rahasia dan hikmah di balik suatu ta’abbudi tidaklah berarti merubah ketentuan ta’abbudi tersebut. Begitu pula memperluas objek suatu ibadah mahdah yang bersifat ta’abbudi sangat dimungkinkan dan hal ini berimplikasi terhadap perkembangan hukum Islam.






C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.    Ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) dalam bidang ibadah yang harus diterima dan ditaati sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, walaupun tanpa mengetahui alasan dan tujuan secara rasionalnya. Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia. Ta’abbudi adalah ketaatan mutlak, bersifat non rasional, namun memiliki nilai ta’aqquli (kemaslahatan bagi manusia, baik yang telah maupun belum diketahui). Sedangkan ta’aqquli adalah ketaatan terhadap aturan bersifat rasional dan mengandung maslahat yang umumnya telah diketahui manusia, namun demikian mengandung unsur ta’abbudi.
b.   Obyek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, ketentuan-ketentuan yang bersifat daruriyyat, dan qat’i yang berkaitan dengan ibadah, serta ketentuan akhlak yang bersifat permanen, sedangkan objek ta’aqquli, adalah masalah muamalah, termasuk juga nas-nas zanni yang tidak berkaitan dengan ibadah.
c.    Konsep ta’abbudi dan ta’aqquli mempunyai implikasi terhadap perkembangan hukum Islam. Meskipun konsep ta’abbudi bersifat statis, sehingga tidak terbuka pintu ijtihad untuk merubah tata cara ibadah, Sedangkan dalam ta’aqquli sangat berpeluang mengalami perluasan melalui ijtihad. Dengan demikian konsep ta’aqquli memberikan kontribusi yang lebih besar ketimbang konsep ta’abbudi terhadap perkembangan hukum Islam.

Daftar Pustaka
Al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah. Jilid II. Cet. III; Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M.
Bahri, Syamsul. Metodologi Hukum Islam. Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008.
Dahlan, Abdul Aziz. ed.  Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emasipatoris. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005.
Haq, Hamka. Filsafat Ushul Fiqh. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Madkur, Muhammad Salam, Madkhal al-Fiqh al-Islảm. Kairo: Dar al-Quniyah, 1964.
Munzir, Ibn. Lisan al-Arab, Jilid IV. Mesir:  Dar al-Ma’arifah, [t.th.].
Rahman, Jalaluddin. Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer. Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997.
Rizvi, Sayyid Muhammad. “Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat,” dalam Jurnal Al-Huda, Vol. 2 No. 5, 2002.
Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986).
Zahra, Muhammad Abu. Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum. dkk. Ushul Fiqih. Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.



1Sayyid Muhammad Rizvi, “Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat,” dalam Jurnal Al-Huda, Vol. 2 No. 5, 2002, h. 57.
[2]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),   h. 52.
[3]Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 15.
[4]Ibn Munzir, Lisan al-Arab, Jilid IV (Mesir:  Dar al-Ma’arifah, [t.th.]), h. 262.
[5]Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h. 140.
[6]Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III; Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), h. 315
[7]Muhammad Salam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islảm (Kairo: Dar al-Quniyah, 1964), h. 18.
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 52
[9]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012), h. 597.
[10] Ibn Munzir, Lisan al-Arab, Jilid IV, h. 3046
[11]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986), h. 362.
[12]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 1723.
[13]Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008), h. 156.
[14]Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II, h. 215.
[15]Ibadah mahdah, ialah ibadah yang ketika dilaksanakan hanya semata-mata kepada Allah. Ketika ibadah itu dilaksanakan, maka tidak ada makna secara langsung pada waktu pelaksanaannya, unsur atau nilai sosialnya. Saat seseorang melaksanakan salat, ia semata-mata melakukan hubungan dengan Tuhan dan sama sekali tidak memberi suatu bantuan sosial kepada sesamanya. Ibadah puasa pun demikian.  Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997), h. 6.
[16]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, h. 1723.
[17]Muhammad Abu Zahra, Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Ushul Fiqih (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 200), h. 484.
[18]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 284.
[19]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 7.
[20]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 321.
[21]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 323
[22]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 308.
[23]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 305.
[24]Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, h. 305.
[25]Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emasipatoris (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar