SOSOK UMAR BIN KHATTAB DAN
RISALAH AL-QADA
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Semester dua (II)
Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 10
Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen
Pemandu:
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.
Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M.Ag.
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peradilan
adalah merupakan sebuah lembaga yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka
yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang
tergolong maju. Dengan peradilanlah terlindungi Agama, jiwa, harta dan
kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau Negara tidak mempunyai peradilan, maka
bangsa atau Negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan
perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada,
maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti dan
bermakna, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.
Institusi
peradilan, dengan berbagai bentuk dan fasilitasnya telah dikenal sejak dahulu
kala. Peradilan merupakan kebutuhan fundamental dalam masyarakat dan Negara.
Suatu pemerintahan tidak akan stabil tanpa penyelenggaraan peradilan yang baik.
Peradilan adalah salah satu pilar utama dalam sistem pemerintahan. Ia adalah
institusi yang diakui dan dibutuhkan oleh seluruh bangsa karena melalui
peradilan ditegakkan amar makruf nahi munkar, menyampaikan yang berhak,
menghalangi orang yang berbuat aniaya, mewujudkan berbagai kebaikan dan
kemaslahatan umum.[1]
Islam
sebagai agama Rahmatan Lil’alamin telah mengatur bagaimana suatu
masyarakat agar bisa hidup tentram penuh dengan rasa persaudaraan yang tinggi,
Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam hadir di tengah-tengah kaum
jahiliyyah dengan membawa sinar yang terang dalam kehidupan gelap mereka,
dengan berabad pada hijrah pada tahun 622 M sebagai bukti bahwa tanda penolakan
kebenarang yang dibawa oleh Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallamsemasa
di makkah, maka dimulailah hidup baru oleh umat dengan hijrah menuju yatsrib,
yang kemudian dikenal dengan nama madinah yaitu kota Nabi.[2]
Perjalanan sejarah Islam, sistem
peradilan telah dikenal sejak Rasulullah saw. Beliau memegang kekuasaan di
Madinah dan mengakkan peradilan. Demikian pula sepeninggal Rasulullah saw.,
para khulafaurrasyidinyaitu Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, meneruskan
perjuanggan Rasulullah saw., Khulafaurrasyidin
telah melakukan
banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam, salah satunya adalah peradilan (yudisial). Seperti salah satu peradilan yang pernah di jalankan oleh
Umar Bin Khattab yang dimana beliau telah membentuk nahkah Risalah al-Qadha
dalam tata sistem peradilannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang dikemukakan di atas penulis dapat merumuskan
beberapa permasalahan diantaranya:
a.
Bagaimana
perkembangan peradilan pada masa kalifah Umar Bin Khattab?
b.
Bagaimana
konsep teks/naskah Risalah al-Qada pada masa Umar Bin Khattab?
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Peradilan
Pada Masa Kalifah Umar Bin Khattab
Secara
umum, perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa khulafa Al-Rasyiddin disertai
pula dengan perkembangan dalam bidang peradilan. Perkembangan dibidang ini
ditandai dengan diangkatnya para hakim yang ditugaskan dibeberapa wilayah yang
ditentukan. Hal itu secara langsung telah membawa perubahan baru dalam struktur
dan administrasi lembaga peradilan.[3]
Perbedaan mendasar antara masa rasulullah saw. Dengan masa Khulafa Al-rasyiddin
adalah terletak pada turunnya wahyu dengan wafatnya rasulullah, secara langsung
terhenti pula diturunkannya wahyu. Padahal, pada masa rasulullah, setiap
persoalan yang muncul kepermukaan itu tidak jarang diselesaikan dengan berpijak
kepada wahyu.[4]
Setelah
Abu Bakar meninggal dunia. Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah
kedua. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634-644 masehi.
Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu tentang kebijakan-kebijakan Umar
dalam melanjutkan usaha pendahulunya adalah:
a.
Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia
melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Syiria,
Irak dan Persia di sebelah utara serta ke Mesir di barat daya;
b.
menetapkan
tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah), dibandingkan dengan tahun
masehi (miladiyah) yang didasarkan
pada peredaran matahari. Perbedaan di antara tahun ini setiap tahun adalah 11
hari. Penetapan tahun hijriah ini dilakukan Umar pada 638 masehi;
c.
Sikap
tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal ini tebukti ketika beliau hendak
mendirikan masjid di Jerussalem (Palestina). Beliau minta izin kepada pemuka
agama lain di sana, padahal beliau adalah pemimipin dunia waktu itu.[5]
Ketika Umar Bin Khattab menjabat sebagai Khalifah beliau meneruskan
kebijakan yang dicanangkan oleh Abu Bakar, sambil melakukan pembenahan terhadap
kebutuhan masyarakat. Beliau selalu menginstruksikan kepada gubernurnya untuk
memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya.[6] Beberapa
terobosan dilakukan, misalnya di bidang pemerintahan, langkah pertama yang
dilakukan Umar sebagai Khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah
ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia.
Pada masanya terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga
periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan
wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Iran,
Irak, Mesir, Palestina, dan Persia.
Dalam bidang administrasi pemerintahan, Umar berjasa membentuk
Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. Ia
juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik
dan subdistrik. Kedelapan propinsi itu adalah Mekah, Madinah, Suriah, Jazirah,
Kufah, Basra, Mesir, dan Palestina. Untuk masing-masing distrik itu, diangkat
pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu,
administrasi perpajakan juga dibenahi. Untuk kepentingan pertahanan, keamanan,
dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer
dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda sesuai
dengan tugasnya. Dia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat
strategis. Maka wilayah kekuasaan Umar Bin Khattab pada saat itu meliputi:
Benua Afrika hingga Alexandria, Utara hingga Yaman dan Hadramaut Timur hingga
Kerman dan Khurasan Selatan hingga Tabristan dan Harran.
Sedangkan dalam bidang peradilan Umar melakukan pembenahan
peradilan Islam. Beliaulah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan
dengan menyusun sebuah risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa
al-Asy’ari. Risalah itu disebut Dustur ‘Umar atau Risalah al-Qada’.
Sebagaimana difahami bahwa Kekuasaan kehakiman dalam bidang
peradilan sesuai tradisi Islam, sering dipadankan dengan istilah sulthah
qadha’iyah.[7]
Kata sulthah/sultahtun adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab
yang berarti Pemerintahan. Dalam kamus al Munawir sama dengan al qudrah yang
berarti kekuasaan, kerajaan, Pemerintahan.[8]
Menurut Louis Ma’luf sulthah berarti al Malik al Qudrah, yakni
kekuasaan Pemerintah.[9]
Sedangkan al qadhaiyyah adalah putusan, penyelesaian perselisihan atau
Peradilan.
Jadi Sulthah al Qadhaiyah secara etimologis yaitu kekuasaan
yang berkaitan dengan Peradilan atau kehakiman. Sedangkan secara terminologi sulthah
bi ma’na al qudrah, yakni: Kekuasaan atau sesuatu yang kokoh dari bentuk
perbuatan yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan. Maksdunya,
yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses
perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili
perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana.[10]
Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kekuasaan yudikatif.
Pada masa Umar Bin Khattab, kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan
dari kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain
dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim untuk menyelesaikan
sengketa antara anggota masyarakat, yang bersendikan pada al-Qur’an, Sunnah,
Ijtihad dan Qiyas.[11]
Pada masa Umar juga, disusun risalah al-Qada yang dibuat
oleh Abu Musa al Asy’ary Hakim Kufah atas intruksi dari Umar Bin Khattab.
Risalah tersebut isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka
sidang dan pokok-pokok hukum yang harus dipegang oleh Hakim dalam menyelesaikan
perkara yang sekarang dikenal dengan hukum acara. Risalah tersebut sangat
terkenal, bahkan sampai sekarang masih dijadikan sebagai pegangan/pedoman pokok
para Hakim dalam melaksanakan tugasnya. Oleh sebab itu pada bahagian ini akan
dibahas secara lebih rinci tentang konsep risalah al-Qada dan latar
belakang lahirnya risalah tersebut.
2.
Naskah Risalah Al-Qadha
Sejak khalifah Umar memisahkan tugas kehakiman dengan tugas pemerintahan,
banyak instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para qadli yang disebut
sebagai risalah al-Qadi. Adapun Prinsip
peradilan dalam risalah al-Qada yang merupakan surat Umar bin Khattab
yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Risalah ini memuat petunjuk dan
pedoman umum dalam melaksanakan tugas dan mengemban amanat, baik selaku
gubernur yang menyelenggarakan pemerintahan umum, maupun seorang hakim yang
melaksanakan tugas peradilan. Sebagai petunjuk pedoman umum penyelenggara
peradilan, risalah tersebut memuat sebelas prinsip, sebagaimana di uraikan
sebagai berikut:[12]
a. Keharusan
penguasa/pemerintah menegakkan keadilan
فإنّ القضاء
فريضة محكمة وسنّة متّبعة
Artinya:
“Sesungguhnya peradilan adalah suatu fardu yang
dikokohkan dan suatu sunnah yang diikuti”
Peradilan
adalah fardu yang ditetapkan dan sunnah yang dilaksanakan, hakikat peradilan
adalah menyebarkan hukum syari’at dengan
jalan putusan. Sedang hikmahnya adalah menghilangkan kekacauan, menolak bala
bencana, menghalangi orang zalim dengan kezalimannya, menolong orang teraniaya,
menyelesaikan perselisihan-perselisihan, dan memerintahkan kepada yang ma’ruf
serta melarang dari melakukan munkar.
b. Keharusan
mengetahui perkara dengan jelas dan melaksanakan putusan
Artinya:
Fahamkanlah maksud pengaduan apabila dikemukakan
kepadamu, karena sesungguhnya tidak bermanfaat sesuatu pembicaraan kebenaran
yang tidak dilaksanakan.
Pemahaman
dan I’tikad yang baik adalah termasuk nikmat Allah yang agung yang diberikan
kepada hambaNya. Bahkan tiada sesuatu yang lebih mulia yang diberikan Allah
swt. kepada manusia setelah Islam adalah kedua nikmat tersebut. Dengan
pemahaman dan I’tikad baik seseorang dapat terhindar dari jalan keselamatan
sebagaimana dimohonkan setiap kali melaksanakan shalat.
c.
Mempersamakan perlakuan terhadap pihak, baik dalam majelis,
menghadap kepadanya dan dalam peradilan.
آس النّاس في مجلسك وفي وجهك وقضائك حتّى لايطمع شريق في حيفك ولا لبيأس
ضعيف من عدلك
Artinya:
“Samakanlah para pihak majelismu, dalam pandanganmu
dan dalam putusanmu, supaya orang mulia tidak tamak pada kecuranganmu, dan
orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
Persamaan
antara pihak yang berselisih adalah salah satu tugas utama seorang hakim. Umar
mengingatkan Abu Musa al-Asy’ari dalam tugsanya bahwa semua orang mempunyai hak
yang sama dalam hal pandangan/pelayanan, fasilitas dan peradilan sehingga orang
yang lebih kuat tidak akan mengharapkan kemurahannya dan orang yang lemah tidak
akan kecewa akan keadilannya.
d.
Bukti dibebankan penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada yang
mengingkari.
البينة على
المدّعي واليمين على من أنكر
Artinya:
“Pembuktian dibebankan kepada orang yang mengajukan
gugatan/ hak dan sumpah pada orang yang menyangkalnya.”
Dalam
sistem hukum Islam jika seseorang ingin menuntut orang lain, namun tidak
memiliki saksi dan bukti lainnya, maka guagatannya tidak langsung ditolak bagi
orang yang tidak dapat memberikan bukti bagi pernyataannya, tetapi tergugat
akan diminta untuk mengangkat sumpah bahwa apa yang dikatakan oleh penggugat
adalah tidak benar, jika tergugat mengangkat sumpah, maka tuntutan penggugat
akan gagal. Namun jika terrgugat menolak bersumpah, kewajiban bersumpah
dipindahkan ke penggugat. Perkara akan dimenangkan oleh penggugat jika dia
bersumpah akan kebenaran pernyataannya.
e.
Menganjurkan perdamaian kepada kedua belah pihak
والصّلح جائز
بين المسلمين الاّ صلحا أحل حراما أو حرم حللا
Artinya:
“Perdamaian
dilakukan di antara umat Islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan
seseuatu yang haram atau mengharamkan yang halal”.
Seorang
hakim dituntut untuk berusah keras mencari kemungkinan-kemungkinan berdamai
bagi pihak-pihak yang bertikai. Mengadakan usaha perdamaian tekag diajarkan
dalam Islam secara luas, sepanjang perdamaian itu tidak bertentangan ketentuan
Islam.
C.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a.
Ketika Umar Bin Khattab menjabat sebagai Khalifah beliau meneruskan
kebijakan yang dicanangkan oleh Abu Bakar, sambil melakukan pembenahan terhadap
kebutuhan masyarakat. Beliau selalu menginstruksikan kepada gubernurnya untuk
memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya. Beberapa terobosan dilakukan,
misalnya di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai
Khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam
perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya terjadi
ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih
dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan wilayah
Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Iran, Irak,
Mesir, Palestina, dan Persia.
b.
Naskah risalah al-Qada yang merupakan surat Umar bin Khattab
yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Dalam risalah ini memuat petunjuk
dan pedoman umum dalam melaksanakan tugas dan mengemban amanat, baik selaku
gubernur yang menyelenggarakan pemerintahan umum, maupun seorang hakim yang
melaksanakan tugas peradilan.
Daftar Pustaka
Al-Azizi,
Abdul Syukur. Sejarah Peradaban Islam menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Islam
di Barat dan di Timur. Cet. I, Yogyakarta: Saufa, 2014.
Arifin,
Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kecana, 2008.
Koto,
Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers,
2016.
Ma’luf,
Louis. kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam. Bairut: Dar al mashriq,
1973.
Mukhlas,
Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia Indonesia 2011.
Munawir,
Ahmad Warson. Kamus al Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Satdzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press, 1993.
Talli,
Abd. Halim. Asas-asas Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap
Beberapa Asas Peradilan di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2014.
[1]Abd. Halim Talli, Asas-asas
Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di
Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2014), h. 1.
[2]Abdul Syukur Al-Azizi, Sejarah
Peradaban Islam menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Islam di Barat dan di Timur (Cet.
I, Yogyakarta: Saufa, 2014), h. 32.
[3]Sunaryo Mukhlas, Perkembangan
Peradilan Islam (Bogor:
Ghalia Indonesia 2011), h. 55.
[4]Sunaryo Mukhlas, Perkembangan
Peradilan Islam, h. 55.
[5]Alaiddin Koto, Sejarah
Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 63
[6]Abdul Halim Talli, Asas-Asas
Peradilan dalam Risalah Al-Qada Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di
Indonesia, h. 6.
[7]Jaenal Arifin, Peradilan Agama
dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kecana, 2008), h. 147.
[8]Ahmad Warson Munawir, Kamus al
Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h. 650.
[9]Louis Ma’luf, kamus al Munjid
fi al Lughah wa al A’lam, (Bairut: Dar al mashriq, 1973), h. 1095.
[10]Ahmad Warson Munawir, Kamus al
Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap, h. 147.
[11]Munawir Satdzali, Islam dan
Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h.
38.
[12]Abd. Halim Talli, Asas-asas
Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di
Indonesia, h. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar