Jumat, 02 Juni 2017

SOSOK UMAR BIN KHATTAB DAN RISALAH AL-QADA



SOSOK UMAR BIN KHATTAB DAN RISALAH AL-QADA
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Semester dua (II) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 10

Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen Pemandu:
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.
Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M.Ag.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
 

A.    PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Peradilan adalah merupakan sebuah lembaga yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong maju. Dengan peradilanlah terlindungi Agama, jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau Negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau Negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti dan bermakna, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.
Institusi peradilan, dengan berbagai bentuk dan fasilitasnya telah dikenal sejak dahulu kala. Peradilan merupakan kebutuhan fundamental dalam masyarakat dan Negara. Suatu pemerintahan tidak akan stabil tanpa penyelenggaraan peradilan yang baik. Peradilan adalah salah satu pilar utama dalam sistem pemerintahan. Ia adalah institusi yang diakui dan dibutuhkan oleh seluruh bangsa karena melalui peradilan ditegakkan amar makruf nahi munkar, menyampaikan yang berhak, menghalangi orang yang berbuat aniaya, mewujudkan berbagai kebaikan dan kemaslahatan umum.[1]
Islam sebagai agama Rahmatan Lil’alamin telah mengatur bagaimana suatu masyarakat agar bisa hidup tentram penuh dengan rasa persaudaraan yang tinggi, Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam hadir di tengah-tengah kaum jahiliyyah dengan membawa sinar yang terang dalam kehidupan gelap mereka, dengan berabad pada hijrah pada tahun 622 M sebagai bukti bahwa tanda penolakan kebenarang yang dibawa oleh Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallamsemasa di makkah, maka dimulailah hidup baru oleh umat dengan hijrah menuju yatsrib, yang kemudian dikenal dengan nama madinah yaitu kota Nabi.[2]
Perjalanan sejarah Islam, sistem peradilan telah dikenal sejak Rasulullah saw. Beliau memegang kekuasaan di Madinah dan mengakkan peradilan. Demikian pula sepeninggal Rasulullah saw., para khulafaurrasyidinyaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, meneruskan perjuanggan Rasulullah saw., Khulafaurrasyidin telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam, salah satunya adalah peradilan (yudisial). Seperti salah satu peradilan yang pernah di jalankan oleh Umar Bin Khattab yang dimana beliau telah membentuk nahkah Risalah al-Qadha dalam tata sistem peradilannya.
2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan diantaranya:
a.    Bagaimana perkembangan peradilan pada masa kalifah Umar Bin Khattab?
b.   Bagaimana konsep teks/naskah Risalah al-Qada pada masa Umar Bin Khattab?




B.     PEMBAHASAN
1.   Perkembangan Peradilan Pada Masa Kalifah Umar Bin Khattab
Secara umum, perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa khulafa Al-Rasyiddin disertai pula dengan perkembangan dalam bidang peradilan. Perkembangan dibidang ini ditandai dengan diangkatnya para hakim yang ditugaskan dibeberapa wilayah yang ditentukan. Hal itu secara langsung telah membawa perubahan baru dalam struktur dan administrasi lembaga peradilan.[3] Perbedaan mendasar antara masa rasulullah saw. Dengan masa Khulafa Al-rasyiddin adalah terletak pada turunnya wahyu dengan wafatnya rasulullah, secara langsung terhenti pula diturunkannya wahyu. Padahal, pada masa rasulullah, setiap persoalan yang muncul kepermukaan itu tidak jarang diselesaikan dengan berpijak kepada wahyu.[4]
Setelah Abu Bakar meninggal dunia. Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah kedua. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634-644 masehi. Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu tentang kebijakan-kebijakan Umar dalam melanjutkan usaha pendahulunya adalah:
a.     Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak dan Persia di sebelah utara serta ke Mesir di barat daya;
b.   menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah), dibandingkan dengan tahun masehi (miladiyah) yang didasarkan pada peredaran matahari. Perbedaan di antara tahun ini setiap tahun adalah 11 hari. Penetapan tahun hijriah ini dilakukan Umar pada 638 masehi;
c.    Sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal ini tebukti ketika beliau hendak mendirikan masjid di Jerussalem (Palestina). Beliau minta izin kepada pemuka agama lain di sana, padahal beliau adalah pemimipin dunia waktu itu.[5]
Ketika Umar Bin Khattab menjabat sebagai Khalifah beliau meneruskan kebijakan yang dicanangkan oleh Abu Bakar, sambil melakukan pembenahan terhadap kebutuhan masyarakat. Beliau selalu menginstruksikan kepada gubernurnya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya.[6] Beberapa terobosan dilakukan, misalnya di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai Khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Iran, Irak, Mesir, Palestina, dan Persia.
Dalam bidang administrasi pemerintahan, Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. Ia juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Kedelapan propinsi itu adalah Mekah, Madinah, Suriah, Jazirah, Kufah, Basra, Mesir, dan Palestina. Untuk masing-masing distrik itu, diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan juga dibenahi. Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan tugasnya. Dia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat strategis. Maka wilayah kekuasaan Umar Bin Khattab pada saat itu meliputi: Benua Afrika hingga Alexandria, Utara hingga Yaman dan Hadramaut Timur hingga Kerman dan Khurasan Selatan hingga Tabristan dan Harran.
Sedangkan dalam bidang peradilan Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Beliaulah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Risalah itu disebut Dustur ‘Umar atau Risalah al-Qada’.
Sebagaimana difahami bahwa Kekuasaan kehakiman dalam bidang peradilan sesuai tradisi Islam, sering dipadankan dengan istilah sulthah qadha’iyah.[7] Kata sulthah/sultahtun adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti Pemerintahan. Dalam kamus al Munawir sama dengan al qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, Pemerintahan.[8] Menurut Louis Ma’luf sulthah berarti al Malik al Qudrah, yakni kekuasaan Pemerintah.[9] Sedangkan al qadhaiyyah adalah putusan, penyelesaian perselisihan atau Peradilan.
Jadi Sulthah al Qadhaiyah secara etimologis yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan Peradilan atau kehakiman. Sedangkan secara terminologi sulthah bi ma’na al qudrah, yakni: Kekuasaan atau sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan. Maksdunya, yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana.[10] Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kekuasaan yudikatif.
Pada masa Umar Bin Khattab, kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan dari kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim untuk menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, yang bersendikan pada al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Qiyas.[11]
Pada masa Umar juga, disusun risalah al-Qada yang dibuat oleh Abu Musa al Asy’ary Hakim Kufah atas intruksi dari Umar Bin Khattab. Risalah tersebut isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang dan pokok-pokok hukum yang harus dipegang oleh Hakim dalam menyelesaikan perkara yang sekarang dikenal dengan hukum acara. Risalah tersebut sangat terkenal, bahkan sampai sekarang masih dijadikan sebagai pegangan/pedoman pokok para Hakim dalam melaksanakan tugasnya. Oleh sebab itu pada bahagian ini akan dibahas secara lebih rinci tentang konsep risalah al-Qada dan latar belakang lahirnya risalah tersebut.
2.   Naskah Risalah Al-Qadha
Sejak khalifah Umar memisahkan tugas kehakiman dengan tugas pemerintahan, banyak instruksi yang dibuatnya untuk  pegangan para qadli yang disebut sebagai risalah al-Qadi. Adapun Prinsip peradilan dalam risalah al-Qada yang merupakan surat Umar bin Khattab yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Risalah ini memuat petunjuk dan pedoman umum dalam melaksanakan tugas dan mengemban amanat, baik selaku gubernur yang menyelenggarakan pemerintahan umum, maupun seorang hakim yang melaksanakan tugas peradilan. Sebagai petunjuk pedoman umum penyelenggara peradilan, risalah tersebut memuat sebelas prinsip, sebagaimana di uraikan sebagai berikut:[12]
a.  Keharusan penguasa/pemerintah menegakkan keadilan
فإنّ القضاء فريضة محكمة وسنّة متّبعة
Artinya:

“Sesungguhnya peradilan adalah suatu fardu yang dikokohkan dan suatu sunnah yang diikuti”
Peradilan adalah fardu yang ditetapkan dan sunnah yang dilaksanakan, hakikat peradilan adalah menyebarkan hukum syari’at  dengan jalan putusan. Sedang hikmahnya adalah menghilangkan kekacauan, menolak bala bencana, menghalangi orang zalim dengan kezalimannya, menolong orang teraniaya, menyelesaikan perselisihan-perselisihan, dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta melarang dari melakukan munkar.
b.   Keharusan mengetahui perkara dengan jelas dan melaksanakan putusan

Artinya:

Fahamkanlah maksud pengaduan apabila dikemukakan kepadamu, karena sesungguhnya tidak bermanfaat sesuatu pembicaraan kebenaran yang tidak dilaksanakan.
Pemahaman dan I’tikad yang baik adalah termasuk nikmat Allah yang agung yang diberikan kepada hambaNya. Bahkan tiada sesuatu yang lebih mulia yang diberikan Allah swt. kepada manusia setelah Islam adalah kedua nikmat tersebut. Dengan pemahaman dan I’tikad baik seseorang dapat terhindar dari jalan keselamatan sebagaimana dimohonkan setiap kali melaksanakan shalat.
c.    Mempersamakan perlakuan terhadap pihak, baik dalam majelis, menghadap kepadanya dan dalam peradilan.
آس النّاس في مجلسك وفي وجهك وقضائك حتّى لايطمع شريق في حيفك ولا لبيأس ضعيف من عدلك
Artinya:

“Samakanlah para pihak majelismu, dalam pandanganmu dan dalam putusanmu, supaya orang mulia tidak tamak pada kecuranganmu, dan orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
Persamaan antara pihak yang berselisih adalah salah satu tugas utama seorang hakim. Umar mengingatkan Abu Musa al-Asy’ari dalam tugsanya bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dalam hal pandangan/pelayanan, fasilitas dan peradilan sehingga orang yang lebih kuat tidak akan mengharapkan kemurahannya dan orang yang lemah tidak akan kecewa akan keadilannya.           
d.   Bukti dibebankan penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada yang mengingkari.
البينة على المدّعي واليمين على من أنكر
Artinya:

“Pembuktian dibebankan kepada orang yang mengajukan gugatan/ hak dan sumpah pada orang yang menyangkalnya.”
Dalam sistem hukum Islam jika seseorang ingin menuntut orang lain, namun tidak memiliki saksi dan bukti lainnya, maka guagatannya tidak langsung ditolak bagi orang yang tidak dapat memberikan bukti bagi pernyataannya, tetapi tergugat akan diminta untuk mengangkat sumpah bahwa apa yang dikatakan oleh penggugat adalah tidak benar, jika tergugat mengangkat sumpah, maka tuntutan penggugat akan gagal. Namun jika terrgugat menolak bersumpah, kewajiban bersumpah dipindahkan ke penggugat. Perkara akan dimenangkan oleh penggugat jika dia bersumpah akan kebenaran pernyataannya.
e.    Menganjurkan perdamaian kepada kedua belah pihak
والصّلح جائز بين المسلمين الاّ صلحا أحل حراما أو حرم حللا
Artinya:

“Perdamaian  dilakukan di antara umat Islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan seseuatu yang haram atau mengharamkan yang halal”.
Seorang hakim dituntut untuk berusah keras mencari kemungkinan-kemungkinan berdamai bagi pihak-pihak yang bertikai. Mengadakan usaha perdamaian tekag diajarkan dalam Islam secara luas, sepanjang perdamaian itu tidak bertentangan ketentuan Islam.












C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Ketika Umar Bin Khattab menjabat sebagai Khalifah beliau meneruskan kebijakan yang dicanangkan oleh Abu Bakar, sambil melakukan pembenahan terhadap kebutuhan masyarakat. Beliau selalu menginstruksikan kepada gubernurnya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya. Beberapa terobosan dilakukan, misalnya di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai Khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Iran, Irak, Mesir, Palestina, dan Persia.
b.      Naskah risalah al-Qada yang merupakan surat Umar bin Khattab yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Dalam risalah ini memuat petunjuk dan pedoman umum dalam melaksanakan tugas dan mengemban amanat, baik selaku gubernur yang menyelenggarakan pemerintahan umum, maupun seorang hakim yang melaksanakan tugas peradilan.






Daftar Pustaka
Al-Azizi, Abdul Syukur. Sejarah Peradaban Islam menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Islam di Barat dan di Timur. Cet. I, Yogyakarta: Saufa, 2014.
Arifin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kecana, 2008.
Koto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Ma’luf, Louis. kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam. Bairut: Dar al mashriq, 1973.
Mukhlas, Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia Indonesia 2011.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Satdzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
Talli, Abd. Halim. Asas-asas Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2014.



[1]Abd. Halim Talli, Asas-asas Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2014), h. 1.
[2]Abdul Syukur Al-Azizi, Sejarah Peradaban Islam menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Islam di Barat dan di Timur (Cet. I, Yogyakarta: Saufa, 2014), h. 32.
[3]Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia 2011),  h. 55.
[4]Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, h. 55.
[5]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 63
[6]Abdul Halim Talli, Asas-Asas Peradilan dalam Risalah Al-Qada Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia,  h. 6.
[7]Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kecana, 2008), h. 147.
[8]Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.
[9]Louis Ma’luf, kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Bairut: Dar al mashriq, 1973),    h. 1095.
[10]Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir : Kamus Arab Indonesia Terlengkap, h. 147.
[11]Munawir Satdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 38.
[12]Abd. Halim Talli, Asas-asas Peradilan Dalam Risalah al-Qada: Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia, h. 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar