PROBLEMATIKA PENERAPAN
PRODUK-PRODUK
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Oleh: Ahmad Mathar*
Abstrak
Produk pemikiran hukum Islam
diantaranya; fiqh, fatwa, putusan hakim pengadilan agama (yurisprudensi), dan perundang-undangan, merupakan aturan yang
diberlakukan dalam masyarakat Islam. Dalam menanggapi hal tersebut perlu
dipahami bahwa fiqh yang diberlakukan
dalam tatanan masyarakat ialah aturan hukum yang bersumber langsung dari Allah
swt. yang sifatnya masuk kedalam keagamaan, fiqh tersebut tidak dapat dirubah melainkan
sudah menjadi ketetapan, akibatnya
masyarakat Islam menganggap produk pemikiran hukum Islam yang lain tidak
berkaitan dengan agama melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama.
Sementara produk pemikiran hukum Islam selain fiqh merupakan aturan yang lahir
dari seorang mujtahid yang secara tidak langsung akan terdapat kecacatan hukum
di dalam penerapannya nanti. Namun perlu dipahami bahwa produk pemikiran hukum
Islam ini menyentuh pada tatanan masyarakat Islam yang dapat diambil sebagai dasar
hukum yang kuat meski terlepas dari hukum yang sifatnya syariat. Namun akan
menjaga keseimbangan masyarakat Islam. Dengan demikian sebuah solusi agar
produk hukum Islam ini dapat diberlakukan perlunya kesadaran maysrakat dalam
menaati hukum, baik yang secara langsung dari Tuhan atau bahkan aturan hukum
dari seorang mujtahid sebab seorang mujtahid dalam memberlakukan hukum
merupakan campur tangan Tuhan dalam tindakannya. Olehnya itu seorang mujtahid
harus mampu melahirkan produk pemikiran hukum Islam yang bisa menjawab segala aspek
kebutuhan masyarakat sehingga menyentuh rasa keadilan hukum terhadap
masyarakat.
Kata Kunci:
Produk Pemikiran Hukum Islam dan Masyarakat.
Abstract
The
products of Islamic legal thought are; Fiqh, fatwas, judges' judgment judgments
(jurisprudence), and legislation, are rules imposed in Islamic societies. In
response to this it should be understood that the fiqh imposed in the social
order is the rule of law that is sourced directly from Allah swt. Which is of a
religious nature, the fiqh can not be changed but has become a decree,
consequently the Islamic society considers the products of other Islamic legal
thought not related to religion but as something separate from religion. While
the product of Islamic legal thought other than fiqh is a rule born from a
mujtahid that indirectly there will be legal disability in its application
later. However, it should be understood that this product of Islamic legal
thought touches on the Islamic society that can be taken as a strong legal
basis even apart from the Shari'a law. But it will keep the balance of Islamic
society. Thus a solution to this Islamic legal product can be applied to the
need for awareness of the people to obey the law, either directly from God or
even the rule of law of a Mujtahid because a mujtahid in enacting the law is
the intervention of God in his actions. Therefore, a mujtahid should be able to
produce a product of Islamic legal thought that can answer all aspects of the
needs of the community so as to touch the sense of legal justice towards the
community.
Keywords: Product of Islamic Law Thought and Society.
A.
Pendahuluan
Hukum Islam merupakan
salah satu pilar yang sangat vital dan urgen dalam agama Islam. Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa hampir di semua lini kehidupan umat Islam, baik dalam
lingkungan ibadah maupun muamalah, kehidupan privat maupun publik diatur dan
dikondisikan sedemikian rupa oleh hukum Islam. Itulah mengapa banyak pakar yang
menyebut hukum Islam sebagai inti (core) dari ajaran Islam, karena hukum
Islam hampir terwujud dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan memegang
peranan yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Selain itu tidak mungkin
dapat memahami kebudayaan, sejarah, kondisi sosial dan tata masyarakat Islam
tanpa melalui hukum Islam[1]
karena ia adalah entitas terpenting dari agama Islam dalam membentuk tata
sosial Islam (Islamic social order).
Hukum Islam dalam
sejarahnya, tertulis pertama kali dan diterapkan pada abad pertama Hijriah di
Madinah oleh Nabi Muhammad saw. dengan dasar konstitusi Piagam Madinah. Dalam
mukaddimah piagam tersebut tertulis, bahwa Piagam Madinah berlaku dikalangan
orang-orang yang beriman dan memeluk agama Islam yang berasal dari suku Quraisy
dan Yasrib. Selain orang Islam juga berlaku bagi orang-orang yang mengikuti
mereka, mempersatukan diri, dan berjuang bersama mereka.[2] Inti
dari piagam tersebut adalah perjanjian/kesepakatan antara kaum muslim dengan
kaum nasrani dan yahudi (masyarakat non-muslim) yang dijadikan sebagai aturan
perundang-undangan. Nabi Muhammad saw. memberi jaminan hidup terhadap mereka
(non-muslim), hak milik, dan agama, serta mempunyai kebebasan penuh untuk
mengamalkan ajaran agama masing-masing.
Aturan
perundang-undangan yang merupakan hasil dari produk pemikiran hukum Islam,
apabila ditinjau dari sejarah sosial hukum Islam, maka tumbuh dan berkembang
sejak zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Pada kurun waktu yang panjang
itu, produk pemikiran hukum Islam mengalami pasang surut diakibatkan oleh
berbagai macam faktor, antara lain adalah faktor sosial budaya masyarakat yang
berbeda-beda. Kondisi georafis pun merupakan faktor yang dapat mendukung berkembangnya
hukum Islam, baik dunia Barat, Eropa, maupun dunia Islam sendiri dan atau di
negara yang berpenduduk mayoritas Islam termasuk Indonesia.[3]
Sebagai fungsi kontrol
sosial, hukum dituntut untuk terus-menerus melakukan akselerasi, merespon dan
memberi solusi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada yang muncul
dalam ruang historis tertentu. Problematika dan kasus-kasus hukum selalu saja
muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, demikian
pula sesungguhnya yang terjadi dalam Islam. Hukum Islam akan benar-benar dapat
memainkan peran dan fungsinya dengan baik jika mampu mengikuti perkembangan
hukum manusia yang senantiasa dinamis dan berkembang. Apalagi hukum Islam yang
secara substansi hukum meliputi seluruh kehidupan manusia, dengan sendirinya
dituntut untuk lebih dapat melakukan adaptasi dan transformasi terhadap kondisi
sosial masyarakat.
Dalam konteks inilah
dibutuhkan sebuah upaya reaktualisasi terhadap hukum Islam, yaitu sebuah upaya
untuk menggali secara intensif atas apa yang diyakini sebagai standar-standar
Islam yang benar agar dapat dipedomani dalam beradaptasi dengan konteks
masyarakat kini yang terus berubah.[4]
Dengan demikian maka Ilmu Ushul Fiqh sebagai epistemologi hukum Islam dituntut
untuk senantiasa sensitif terhadap perubahan masyarakat. Karena ia seperti
sebuah kotak pandora harus mampu memproduksi hukum-hukum Islam yang
relevan dan solutif bagi persoalan kemanusiaan sepanjang zaman.
B. Pengertian
Hukum Islam
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada
nabi Muhammad saw. dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber
mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan yang dibaca umat Islam dalam
rangka ibadah.[5]
Al-Quran adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau al-huda).
Sebagai al-huda, al-Quran merupakan traffic light dalam
menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Quran dapat
dipandang sebagai kitab hukum.[6]
Hukum Islam dalam al-Quran merupakan
sumber hukum yang berasal dari wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut
tidak
dapat diganggu gugat konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Hukum Islam ini mengatur segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan
kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama
manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisa/4:58.
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha
melihat.[7]
Dalam kamus hukum
dijelaskan, bahwa hukum Islam atau hukum syara’
ialah peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan al-Quran.[8]
Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukum Islam
adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan
al-Quran dan hadis.[9]
Sementara menurut ulama ushul, hukum Islam/hukum syara’ menurut istilah adalah doktrin (khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang mukallaf
secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[10] Namun menurut T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, hukum Islam adalah bagian
hukum dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu kumpulan ilmu yang
sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis ragam jenis hukum
Islam dan mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan
masyarakat secara umum.[11]
Namun perlu kita
pahami, dikalangan masyarakat yang plural keberdaan hukum Islam terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu, yang
pertama mengatakan bahwa huku Islam itu memiliki nilai-nilai yang universal dan dinamis, sehingga
dapat berlaku di manapun dan kapanpun dan yang kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu bersifat statis, tidak
modern dan hanya cocok untuk masyarakat
tertentu dan waktu tertentu pula.
Karakteristik hukum
dalam al-Quran yang dipublikasikan selama ini sebagai hukum yang sangat
memperhatikan dimensi kemanusiaan tidak berlaku secara otomatis. Dalam tataran
ini harus ada upaya-upaya konkrit untuk menggali nilai-nilai filosopis yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menjadikan al-Quran sebagai
solusi terhadap problema-problema yang berkaitan dengan kehidupan manusia tentu
tidak cukup hanya dengan menangkap makna tekstualnya akan tetapi harus diikuti
pula dengan makna kontekstualnya. Upaya ke arah ini sudah dilakukan oleh
ulama-ulama pada masa kini.[12]
C. Produk
Pemikiran Hukum Islam
Terlepas dari
kemandegan dan kemajuan yang telah dilalui, setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam, yakni fiqh,
fatwa, yurisprudensi, dan perundang-undangan. Keempat macam produk
pemikiran Islam tersebut dalam realitas umat Islam berlaku dan diberlakukan
sesuai kebutuhan.
1. Fiqh
Fiqh menurut bahasa berarti
tahu atau paham. Sedang menurut Istilah, fiqh diartikan dengan berbagai macam
defenisi. Hasan Ahmad Khatib, sebagaimana dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy
mengartikan fiqh sebagai sekumpulan hukum syara' yang sudah dibukukan dari
berbagai mazhab yang empat atau dari mazhab lainnya dan dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. [13]
Al-Amidy seorang ulama Syafi'iyah mendefenisikan fiqh sebagai ilmu tentang
hukum syar'iyyah amaliyah dari dalil-dalil yang terinci. Sedang Tajuddin
al-Subki mendefenisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar'iyyah amaliyah
yang diambil dari dalil yang terinci. Dalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan
bahwa bahwa fiqh mempunyai dua makna: makna menurut ahli ushul dan makna
menurut ahli fiqh. Menurut ahli ushul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat far'iyah (cabang), yang dihasilkan dari
dalil-dalilnya yang tafsili (khusus, terperinci).
Sedang menurut fuqaha,
fiqh adalah mengetahui hukum furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya
atau tidak. Jadi, fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang menjadi sifat
bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas
dapat dipahami bahwa fiqh adalah pemahaman terhadap syari’at menyangkut amal
perbuatan manusia. Pemahaman tersebut diambil dari dalil-dalil terinci melalui
qaidah-qaidah ushul. Dari sini lahirlah rumusanrumusan fiqh yang terhimpun
dalam kitab-kitab, yang masing-masing memiliki ciri dan karakteristik
tersendiri berdasarkan metode ijtihad penyusunnya. Dalam pembahasan-pembahasan
tertentu, pengertian fiqh sering dikacaukan dengan pengertian syari'ah.
Keduanya bahkan diartikan sama, yakni hukum Islam. Padahal kedua term ini
memiliki perbedaan esensial. Syari'ah adalah produk tasyri' Ilahi yang
menetapkan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya yang
terhimpun dalam al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah produk dari tasyri' wadh'i, yakni
penetapanhukum yang dilakukan oleh para mujtahid.
Perlu dipahami bahwa
fiqh merupakan responsi bagi problematika hukum secara umum yang berkembang
ketika diktum-diktum fiqh itu ditulis. Biasanya kitab-kitab fiqh meliputi
seluruh aspek hukum Islam. Ia tidak memiliki ketentuan tentang masa dan wilayah
berlakunya. Keadaannya yang demikian menjadikan kitab-kitab fiqh cenderung
dianggap harus diberlakukan sepanjang masa. Karenanya fiqh menjadi resisten
(kaku) terhadap perubahan.
Masalahnya adalah,
problematika hukum yang dihadapi umat ketika kitab-kitab tersebut ditulis belum
sekompleks permasalahan hukum umat pada masa sesudahnya. Demikian pula
latarbelakang sosio-kultural umat jauh berbeda dengan kondisi umat pada masa
itu. Karenanya adalah sangat dilematis bila diktum-diktum yang terdapat dalam
kitab-kitab fiqh tersebut harus diberlakukan pada masa dan tempat yang berbeda.
Argumen di atas dapat
diperkuat dengan suatu penjelasan bahwa sebuah produk pemikiran hukum dapat
diterapkan secara optimal dalam kehidupan masyarakat bila dapat menjawab
problematika hukum yang berkembang serta mampu menyentuh rasa keadilan
masyarakat, tanpa mampu diwujudkan dalam dunia nyata.
2. Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arabفتوى ,yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau
nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui
otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai
keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum
fatwa yang diberikan kepadanya.[14]
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain
yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang
bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun
secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut
masalah agama maka tidak sembarang orang bisa menduduki sebagai mufti
syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
a. Fatwanya harus
didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang diberikan itu
dapat diterima oleh penerima fatwa;
b. Apabila ia
berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar sumber
pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan
bohong;
c. Seorang mufti
harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak terjadi
kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya;
Ketika fatwa yang dasarnya memang bukanlah menjadi pengikat
atas suatu kebijakan, maka perlu dipahami bahwa fatwa yang menjadi produk
pemikiran hukum Islam akan cendrung susah untuk diterapkan mengingat bahwa fatwa
bersifat kasuistik, karena ia merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan oleh panitia fatwa. Ia tidak memiliki daya ikat, dalam arti
peminta fatwa tidak harus mengikuti rumusan hukum yang diberikan kepadanya.
Meskipun fatwa biasanya cenderung dinamis, karena ia merupakan respon terhadap
perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa, akan tetapi
dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Perlu dipahami juga
bahwa Berkaitan dengan kedudukan
fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang
tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama,
sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa
itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
3. Yurisprudensi (Putusan
Hakim Pengadilan Agama)
Produk pemikiran hukum Islam
yang ketiga adalah putusan hakim/pengadilan
agama. Putusan hakim diambil atau ditetapkan
berdasarkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan, atau ketetapan hukum syar'i yang
disampaikan melalui seorang qadi atau
seorang hakim.
Yurisprudensi biasa biasa dikenal dengan keputusan hakim terdahulu pada
suatu perkara yang tidak diatur Undang-Undang dan kemudian dijadikan dasar oleh
hakim lainnya untuk perkara yang sama. Yurisprudensi sendiri merupakan
salah satu sumber hukum. Jadi, Yurisprudensi adalah hukum yang terjadi karena
muncul perkara yang tidak pernah diatur dalam undang-undang, sehingga hakim
diperbolehkan untuk membuat argumentasi untuk menyelesaikan perkara tersebut, kemudian argumentasi hakim tersebut
dipakai untuk kasus yang sama oleh hakim.
Bila dilihat dari sudut
masalah dan tempat berlakunya suatu putusan pengadilan, maka dapat dikatakan
bahwa putusan pengadilan
berpeluang untuk dapat digunakan dalam sejumlah masa dan tempat tertentu. Hal ini
dikarenakan, putusan pengadilan, apabila telah melalui proses dan telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap,
ia dapat dipergunakan oleh hakim-hakim lain untuk memutuskan suatu perkara yang sama meski
berada pada tempat
dan
masa yang berbeda.
4. Per-undang-undangan
Undang-undang atau
peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang dibuat oleh suatu badan
legislatif yang mengikat
setiap
warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan. Pelanggaran terhadap
sebuah undang-undang akan mendatangkan sanksi. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa undang-undang
memiliki
daya ikat yang lebih luas dari keputusan pengadilan. Karena diputuskan oleh
lembaga, maka orang yang terlibat dalam perumusannya tidaklah terbatas pada
fuqaha atau ulama, tetapi juga
para
politisi dan para cendekiawan lainnya.
Peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU
12/2011) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan,
pengertian undang-undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU 12/2011).
Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang
(UU) adalah termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain UU,
menurut ketentuan UU 12/2011, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga termasuk kategori peraturan
perundang-undangan.
Sebagai produk
kolektif, ia relatif memiliki kualitas yang lebih
tinggi dan lebih mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Hal
ini disebabkan karena dirumuskan dengan pertimbangan yang lebih
komprehensif. Namun dari sisi kedinamisan, perundang-undangan suatu
undang-undang memerlukan waktu, biaya dan persiapan yang tidak kecil. cenderung
lamban dinamikanya, karena untuk mengubah.
D. Problemaktika
Penerapan Produk Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam yang kedua
sumber pokoknya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah tidaklah lahir dalam
masyarakat yang hampa kultural, disamping sebagai konsep ilhai yang
mengajarkan tentang kebenaran, juga sekaligus menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia
dalam segala aspeknya.[16]
Pada garis besarnya,
hukum Islam itu dapat dirinci dalam tiga hal: Pertama, petunjuk dan
bimbingan untuk memperoleh pengenalan (Ma'rifat) yang benar tentang
Allah dan alam gaib yang disebut dengan ahkam syar'iyyah i'tiqadiyah. Kedua,
Petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaikan yang
ada dalam diri manusia yang dinamai dengan ahkam syar'iyyah khuluqiyyah.
Ketiga, Ketentuan-ketentuan dan seperangkat peraturan hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan
lingkungan.[17]
Dalam menanggapi
koridor akan produk-produk hukum Islam maka perlu dipahami bahwa aturan yang
dasarnya bersumber langsung dari Allah swt. tentu tidak dapat dirubah sebab
telah hadir dan lahir sebagai syariat yang merupakan ketetapan langsung dari
Allah kepada hambanya agar dapat menjadi majmuk dalam berkehidupan.
Mencermati bentuk
masing-masing produk pemikiran hukum Islam tesebut, dapat disimpulkan bahwa
tantangan utama yang menjadi problem yang akan
dihadapi dalam penerapannya adalah tidak sesuainya antara aturan-aturan
hukum yang telah dirumuskan tersebut dengan kondisi sehingga problema hukum dan
rasa keadilan masyarakat dimana hukum tersebut hendak diberlakukan. Problema
ketidaksesuaian, yang disebut sebagai problem yang tidak relevan terutama
diidap oleh kitab-kitab fiqh. Hal ini disebabkan karena ia resisten terhadap
perubahan.
Untuk penerapan produk
fiqh maka perlu penyeleksian diktum hukum serta analisis hukum yang mendalam
sehingga aturan fiqh yang dapat diberlakukan harus berkesusain dengan keadaan
masyarakat. Ia harus diletakkan secara proporsional yakni dengan tujuan agar
penerapan hukumnya tidak secara gemblang penerapannya melainkan di
interpretasikan kembali kedalam bentuk hukum yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Pada umumnya kebanyakan
masyarakat mengenal fiqh sebagai hukum Tuhan hukum yang bersumber langsung dari
Allah swt. karena itu ia merupakan aturan hukum yang paling benar. Olehnya itu
menanggapi produk pemikiran hukum Islam yang lainnya seperti putusan
pengadilan, fatwa, serta perundang-undangan terkadang seolah fiqh ini tidak
sejalan dengan aturan tersebut. Sehingga dengan demikian konsekuensi dari
pemahaman tersebut membuat masyarakat membuang jauh aturan-aturan produk
pemikiran hukum Islam seperti putusan pengadilan dan perundang-undangan kepada
pemisahan hukum terhadap agama.
Adapun fatwa yang
meskipun merupakan responsisasi secara langsung terhadap hukum Islam bukan
berarti masyarakat secara langsung dapat menerimanya melainkan fatwa yang
diberikan secara langsung oleh seorang mufti yang merupakan fatwa terdapat visi
dan misi yang berbeda karena terkadang adanya fatwa yang lahir secara
individual sehingga terjadinya ketidak sesuaian hukum. Selain itu dalam fatwa
biasanya hanya berkiblat pada kitab-kitab fiqh tertentu.
Mengenai upaya yang
perlu dihadapi dengan mengeluarkan fatwa oleh seorang mufti, fatwanya harus
rasional dan mencakup segala aspek hukum yang terkandung dalam syariat Islam sehingga
penerapannya dapat secara optimal dengan tujuan visi sosial yang lebih relevan.
Disamping itu integrasi dan indepensi para mufti perlu terus ditingkatkan agar
tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan.
Sementara putusan
pengadilan agama/yurisprudensi adalah
faktor terpenting pula dalam produk pemikiran hukum Islam, sebab dalam putusan
pengadilan agama segala sumber hukum yang pernah diputus oleh seorang hakim di
pengadilan menjadi dasar hukum selanjutnya dalam memutus kasus-kasus hukum yang
sama dikemudian hari. Namun perlu dipahami bahwa faktor terpenting adalah
seorang hakim dipengadilan adalah kwalitas seorang hakim. Sebab putusan hakim
yang memiliki integritas yang paham akan syariat/fiqh tentulah menentukan
putusan hakim yamg dapat memberi rasa keadilan bagi pihak-pihak berperkara.
Hakim juga harus
memiliki semangat moral yang tinggi untuk berbuat secara benar dan menegakkan
keadilan. Hakim harus tetap memelihara independensi yang telah dijamin oleh
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, segala putusan yang diambilnya
benar-benar bersih dari pengaruh-pengaruh. Yang diistilahkan oleh Bustanul
Arifin bahwa seorang hakim harus tidak memiliki atasan yang dapat memerintah
selain hati nuraninya dan Tuhan.[18]
Seorang hakim harus
dapat menjalankan pungsinya sebagai hakim yang adil di dalam penerapannya. Ia
juga harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup terhadap masyarakat.
Hakim adalah penemu hukum terapan yang lahir dari masyarakat sehingga
menghasilkan yurisprudensi yang dapat
diberakukan dalam masyarakat. Masalah yang hadir dalam yurisprudensi ini, kurannya komunkasi hakim terhadap hakim-hakim
yang lain, sehinga dalam penerapan produk pemikiran hukum tersebut tidak
terlalu diberlakukan. Olehnya itu perlu dilakukan upaya-upaya konkrit dalam
menciptakan wahana pengkomunikasian antara sesama hakim agar dapat tercapainya
pemberlakuan hukum secara merata.
Mengenai undang-undang,
sebagai produk pemikiran Hukum Islam yang keempat, tampaknya tidak terlalu
mengalami kendala dalam pengaplikasiannya. Sebab dalam pengaplikasian
undang-undang positif dapat diterima oleh masyarakat namun tetap perlu adanya
sosialisasi hukum/aturan terhadap masyarakat agar taat dan paham serta tunduk
dan patuh pada hukum-hukum yang diberlakukan. Hanya saja dinamikanya agak
lamban, karena membuat atau mengubah sebuah undang-undang dibutuhkan waktu,
biaya dan persiapan yang tidak sedikit.
Agar hukum Islam dapat
terintegrasi ke dalam peraturan perundang-undangan, sangat ditentukan oleh
pemikir dan ulama yang terlibat di dalam lembaga legislatif. Komitmen mereka
terhadap hukum Islam dapat berakibat positif bagi terintegrasinya hukum Islam
ke dalam peraturan perundang-undangan negara. Di sinilah dibutuhkan keberanian
moral dari para pemikir dan ulama untuk menyuarakan Islam walaupun tidak secara
harfiah.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian
diatas mengenai produk pemikiran hukum Islam dapat disimpulkan bahwa produk
pemikiran hukum Islam ada empat; fiqh, fatwa, putusan hakim pengadilan agama,
dan perundang-undangan. Dalam menanggapi hal tersebut perlu dipahami fiqh yang
diberlakukan dalam tatanan masyarakat ialah aturan hukum yang bersumber
langsung dari Allah swt. yang sifatnya masuk kedalam keagamaan, fiqh tersebut
tidak dapat dirubah melainkan sudah menjadi ketetapan, akibatnya masyarakat Islam menganggap produk
pemikiran hukum Islam yang lain tidak berkaitan dengan agama melainkan sebagai
sesuatu yang terpisah dari agama. Sementara produk pemikiran hukum Islam selain
fiqh merupakan aturan yang lahir dari seorang mujtahid yang secara tidak
langsung akan terdapat kecacatan hukum di dalam penerapannya nanti.
Namun perlu dipahami
bahwa produk pemikiran hukum Islam ini menyentuh pada tatanan masyarakat Islam
yang dapat diambil sebagai dasar hukum yang kuat meski terlepas dari hukum yang
sifatnya syariat. Namun akan menjaga keseimbangan masyarakat Islam. Dengan
demikian sebuah solusi agar produk hukum Islam ini dapat diberlakukan perlunya
kesadaran maysrakat dalam menaati hukum, baik yang secara langsung dari Tuhan
atau bahkan aturan hukum dari seorang mujtahid sebab seorang mujtahid dalam
memberlakukan hukum merupakan campur tangan Tuhan dalam tindakannya. Olehnya
itu seorang mujtahid harus mampu melahirkan produk pemikiran hukum Islam yang
bisa menjawab segala kebutuhan masyarakat sehingga menyentuh rasa keadilan
hukum terhadap masyarakat.
Daftar
Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi
Muhammad saw.: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia. Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Al-Munawwar,
Said Agil Husin. Keluasan dan Keluesan Hukum Islam. Cet.
I; Semarang: Dina Utama, 1993.
al-Salih,
Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Amirudin, Zen. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras, 2009.
Arifin,
Bustanul. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Edisi Kedua. Cet.
I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008.
Hidayat, Racmat Taufik dkk. Almanak Alam Islami. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahannya. Jakarta: Samad, 2014.
Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar
al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Cet. III;
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993.
Mualim
dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam. Yogyakarta:
UII Press, t.t.
Republik Indonesia, UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Schacht,
Joseph. An Intoduction to Islamic Law. London : Oxford At The Clarendon
Press, 1971.
Sudarsono. Kamus Hukum. Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999.
Supardin, “Faktor Sosial Budaya
Dan Aturan Perundang Undangan Pada Produk Pemikiran
Hukum Islam” Jurnal Al-Qada>u,
Volume 1 Nomor 2/2014.
Yafie,
Ali. Menggagas Fiqih Sosial: dari
Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah. Cet. II; Bandung: Mizan,
1994.
Zein, Achyar. “Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum
al-Quran”, Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2 2015.
*Mahasiswa Pascasarjana UIN
Alauddin Makassar, Jurusan Syariah/Hukum
Islam 2016.
[1]Joseph Schacht, An
Intoduction to Islamic Law (London : Oxford At The Clarendon Press, 1971),
h. 1.
[2]Zainal Abidin Ahmad, Piagam
Nabi Muhammad saw.: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia (Cet.
I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 21.
[3]Supardin, “Faktor
Sosial Budaya Dan
Aturan Perundang Undangan Pada
Produk Pemikiran Hukum Islam” Jurnal
Al-Qada>u, Volume 1 Nomor 2/2014, h. 60.
[4]Istilah
“reaktualisasi hukum Islam” menjadi sesuatu yang menghentak dan populer di
kalangan umat Islam Indonesia setelah menteri Agama pada waktu itu, Munawir
Sadzali menggulirkan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Terutama
berkaitan dengan kasus hukum kewarisan. Selanjutnya baca Mualim dan Yusdani, Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta:
UII Press, t.t), h. 9.
[5]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim
Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), h. 15
[6]QS.
Al-Nisa/4:105, h. 95, dan QS. Al-Maidah/5: 49, h. 116.
[7]Kementrian Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahannya (Jakarta: Samad, 2014), h. 87.
[8]Sudarsono, Kamus Hukum (Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999), h. 169.
[9]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka,
2008), h. 169.
[10]Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar
al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993), h. 153.
[11]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Edisi Kedua (Cet.
I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 9.
[12]Achyar
Zein, “Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum al-Quran”, Analytica Islamica, Vol. 4,
No. 2 (2015), h. 202.
[13]Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 16.
[16]Said Agil
Husin Al-Munawwar, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993),
h ii.
[17]Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h.
113.
[18]Bustanul Arifin,
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar