Rabu, 05 Juli 2017

PROBLEMATIKA PENERAPAN PRODUK-PRODUK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM



PROBLEMATIKA PENERAPAN PRODUK-PRODUK
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Oleh: Ahmad Mathar*

Abstrak
Produk pemikiran hukum Islam diantaranya; fiqh, fatwa, putusan hakim pengadilan agama (yurisprudensi), dan perundang-undangan, merupakan aturan yang diberlakukan dalam masyarakat Islam. Dalam menanggapi hal tersebut perlu dipahami bahwa  fiqh yang diberlakukan dalam tatanan masyarakat ialah aturan hukum yang bersumber langsung dari Allah swt. yang sifatnya masuk kedalam keagamaan, fiqh tersebut tidak dapat dirubah melainkan sudah menjadi ketetapan,  akibatnya masyarakat Islam menganggap produk pemikiran hukum Islam yang lain tidak berkaitan dengan agama melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Sementara produk pemikiran hukum Islam selain fiqh merupakan aturan yang lahir dari seorang mujtahid yang secara tidak langsung akan terdapat kecacatan hukum di dalam penerapannya nanti. Namun perlu dipahami bahwa produk pemikiran hukum Islam ini menyentuh pada tatanan masyarakat Islam yang dapat diambil sebagai dasar hukum yang kuat meski terlepas dari hukum yang sifatnya syariat. Namun akan menjaga keseimbangan masyarakat Islam. Dengan demikian sebuah solusi agar produk hukum Islam ini dapat diberlakukan perlunya kesadaran maysrakat dalam menaati hukum, baik yang secara langsung dari Tuhan atau bahkan aturan hukum dari seorang mujtahid sebab seorang mujtahid dalam memberlakukan hukum merupakan campur tangan Tuhan dalam tindakannya. Olehnya itu seorang mujtahid harus mampu melahirkan produk pemikiran hukum Islam yang bisa menjawab segala aspek kebutuhan masyarakat sehingga menyentuh rasa keadilan hukum terhadap masyarakat.
Kata Kunci: Produk Pemikiran Hukum Islam dan Masyarakat.

Abstract
                    The products of Islamic legal thought are; Fiqh, fatwas, judges' judgment judgments (jurisprudence), and legislation, are rules imposed in Islamic societies. In response to this it should be understood that the fiqh imposed in the social order is the rule of law that is sourced directly from Allah swt. Which is of a religious nature, the fiqh can not be changed but has become a decree, consequently the Islamic society considers the products of other Islamic legal thought not related to religion but as something separate from religion. While the product of Islamic legal thought other than fiqh is a rule born from a mujtahid that indirectly there will be legal disability in its application later. However, it should be understood that this product of Islamic legal thought touches on the Islamic society that can be taken as a strong legal basis even apart from the Shari'a law. But it will keep the balance of Islamic society. Thus a solution to this Islamic legal product can be applied to the need for awareness of the people to obey the law, either directly from God or even the rule of law of a Mujtahid because a mujtahid in enacting the law is the intervention of God in his actions. Therefore, a mujtahid should be able to produce a product of Islamic legal thought that can answer all aspects of the needs of the community so as to touch the sense of legal justice towards the community.
Keywords: Product of Islamic Law Thought and Society.

A.    Pendahuluan
Hukum Islam merupakan salah satu pilar yang sangat vital dan urgen dalam agama Islam. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hampir di semua lini kehidupan umat Islam, baik dalam lingkungan ibadah maupun muamalah, kehidupan privat maupun publik diatur dan dikondisikan sedemikian rupa oleh hukum Islam. Itulah mengapa banyak pakar yang menyebut hukum Islam sebagai inti (core) dari ajaran Islam, karena hukum Islam hampir terwujud dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan memegang peranan yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Selain itu tidak mungkin dapat memahami kebudayaan, sejarah, kondisi sosial dan tata masyarakat Islam tanpa melalui hukum Islam[1] karena ia adalah entitas terpenting dari agama Islam dalam membentuk tata sosial Islam (Islamic social order).
Hukum Islam dalam sejarahnya, tertulis pertama kali dan diterapkan pada abad pertama Hijriah di Madinah oleh Nabi Muhammad saw. dengan dasar konstitusi Piagam Madinah. Dalam mukaddimah piagam tersebut tertulis, bahwa Piagam Madinah berlaku dikalangan orang-orang yang beriman dan memeluk agama Islam yang berasal dari suku Quraisy dan Yasrib. Selain orang Islam juga berlaku bagi orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri, dan berjuang bersama mereka.[2] Inti dari piagam tersebut adalah perjanjian/kesepakatan antara kaum muslim dengan kaum nasrani dan yahudi (masyarakat non-muslim) yang dijadikan sebagai aturan perundang-undangan. Nabi Muhammad saw. memberi jaminan hidup terhadap mereka (non-muslim), hak milik, dan agama, serta mempunyai kebebasan penuh untuk mengamalkan ajaran agama masing-masing.
Aturan perundang-undangan yang merupakan hasil dari produk pemikiran hukum Islam, apabila ditinjau dari sejarah sosial hukum Islam, maka tumbuh dan berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Pada kurun waktu yang panjang itu, produk pemikiran hukum Islam mengalami pasang surut diakibatkan oleh berbagai macam faktor, antara lain adalah faktor sosial budaya masyarakat yang berbeda-beda. Kondisi georafis pun merupakan faktor yang dapat mendukung berkembangnya hukum Islam, baik dunia Barat, Eropa, maupun dunia Islam sendiri dan atau di negara yang berpenduduk mayoritas Islam termasuk Indonesia.[3]
Sebagai fungsi kontrol sosial, hukum dituntut untuk terus-menerus melakukan akselerasi, merespon dan memberi solusi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada yang muncul dalam ruang historis tertentu. Problematika dan kasus-kasus hukum selalu saja muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, demikian pula sesungguhnya yang terjadi dalam Islam. Hukum Islam akan benar-benar dapat memainkan peran dan fungsinya dengan baik jika mampu mengikuti perkembangan hukum manusia yang senantiasa dinamis dan berkembang. Apalagi hukum Islam yang secara substansi hukum meliputi seluruh kehidupan manusia, dengan sendirinya dituntut untuk lebih dapat melakukan adaptasi dan transformasi terhadap kondisi sosial masyarakat.
Dalam konteks inilah dibutuhkan sebuah upaya reaktualisasi terhadap hukum Islam, yaitu sebuah upaya untuk menggali secara intensif atas apa yang diyakini sebagai standar-standar Islam yang benar agar dapat dipedomani dalam beradaptasi dengan konteks masyarakat kini yang terus berubah.[4] Dengan demikian maka Ilmu Ushul Fiqh sebagai epistemologi hukum Islam dituntut untuk senantiasa sensitif terhadap perubahan masyarakat. Karena ia seperti sebuah kotak pandora harus mampu memproduksi hukum-hukum Islam yang relevan dan solutif bagi persoalan kemanusiaan sepanjang zaman.
B.  Pengertian Hukum Islam
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan yang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah.[5] Al-Quran adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau  al-huda). Sebagai al-huda,  al-Quran merupakan traffic light  dalam menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Quran dapat dipandang sebagai kitab hukum.[6]
Hukum Islam dalam al-Quran merupakan sumber hukum yang berasal dari wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut tidak dapat diganggu gugat konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Hukum Islam ini mengatur segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisa/4:58.
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.[7]
Dalam kamus hukum dijelaskan, bahwa hukum Islam atau hukum syara’ ialah peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Quran.[8] Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Quran dan hadis.[9] Sementara menurut ulama ushul, hukum Islam/hukum syara’ menurut istilah adalah doktrin (khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[10] Namun menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum Islam adalah  bagian hukum dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis ragam jenis hukum Islam dan mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan masyarakat secara umum.[11]
Namun perlu kita pahami, dikalangan masyarakat yang plural keberdaan hukum Islam terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu, yang pertama mengatakan bahwa huku Islam itu memiliki nilai-nilai yang universal dan dinamis, sehingga dapat berlaku di manapun dan kapanpun dan yang kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu bersifat statis, tidak modern dan hanya cocok untuk masyarakat tertentu dan waktu tertentu pula.
Karakteristik hukum dalam al-Quran yang dipublikasikan selama ini sebagai hukum yang sangat memperhatikan dimensi kemanusiaan tidak berlaku secara otomatis. Dalam tataran ini harus ada upaya-upaya konkrit untuk menggali nilai-nilai filosopis yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menjadikan al-Quran sebagai solusi terhadap problema-problema yang berkaitan dengan kehidupan manusia tentu tidak cukup hanya dengan menangkap makna tekstualnya akan tetapi harus diikuti pula dengan makna kontekstualnya. Upaya ke arah ini sudah dilakukan oleh ulama-ulama pada masa kini.[12]
C. Produk Pemikiran Hukum Islam
Terlepas dari kemandegan dan kemajuan yang telah dilalui, setidaknya ada empat  produk pemikiran hukum Islam, yakni fiqh, fatwa, yurisprudensi, dan perundang-undangan. Keempat macam produk pemikiran Islam tersebut dalam realitas umat Islam berlaku dan diberlakukan sesuai kebutuhan.
1.   Fiqh
Fiqh menurut bahasa berarti tahu atau paham. Sedang menurut Istilah, fiqh diartikan dengan berbagai macam defenisi. Hasan Ahmad Khatib, sebagaimana dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy mengartikan fiqh sebagai sekumpulan hukum syara' yang sudah dibukukan dari berbagai mazhab yang empat atau dari mazhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. [13] Al-Amidy seorang ulama Syafi'iyah mendefenisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syar'iyyah amaliyah dari dalil-dalil yang terinci. Sedang Tajuddin al-Subki mendefenisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar'iyyah amaliyah yang diambil dari dalil yang terinci. Dalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan bahwa bahwa fiqh mempunyai dua makna: makna menurut ahli ushul dan makna menurut ahli fiqh. Menurut ahli ushul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far'iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang tafsili (khusus, terperinci).
Sedang menurut fuqaha, fiqh adalah mengetahui hukum furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya atau tidak. Jadi, fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
 Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa fiqh adalah pemahaman terhadap syari’at menyangkut amal perbuatan manusia. Pemahaman tersebut diambil dari dalil-dalil terinci melalui qaidah-qaidah ushul. Dari sini lahirlah rumusanrumusan fiqh yang terhimpun dalam kitab-kitab, yang masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri berdasarkan metode ijtihad penyusunnya. Dalam pembahasan-pembahasan tertentu, pengertian fiqh sering dikacaukan dengan pengertian syari'ah. Keduanya bahkan diartikan sama, yakni hukum Islam. Padahal kedua term ini memiliki perbedaan esensial. Syari'ah adalah produk tasyri' Ilahi yang menetapkan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya yang terhimpun dalam al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah  produk dari tasyri' wadh'i, yakni penetapanhukum yang dilakukan oleh para mujtahid. 
Perlu dipahami bahwa fiqh merupakan responsi bagi problematika hukum secara umum yang berkembang ketika diktum-diktum fiqh itu ditulis. Biasanya kitab-kitab fiqh meliputi seluruh aspek hukum Islam. Ia tidak memiliki ketentuan tentang masa dan wilayah berlakunya. Keadaannya yang demikian menjadikan kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus diberlakukan sepanjang masa. Karenanya fiqh menjadi resisten (kaku) terhadap perubahan.
Masalahnya adalah, problematika hukum yang dihadapi umat ketika kitab-kitab tersebut ditulis belum sekompleks permasalahan hukum umat pada masa sesudahnya. Demikian pula latarbelakang sosio-kultural umat jauh berbeda dengan kondisi umat pada masa itu. Karenanya adalah sangat dilematis bila diktum-diktum yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tersebut harus diberlakukan pada masa dan tempat yang berbeda.
Argumen di atas dapat diperkuat dengan suatu penjelasan bahwa sebuah produk pemikiran hukum dapat diterapkan secara optimal dalam kehidupan masyarakat bila dapat menjawab problematika hukum yang berkembang serta mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat, tanpa mampu diwujudkan dalam dunia nyata.
2.   Fatwa 
Fatwa berasal dari bahasa Arabفتوى ,yang artinya  nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[14]
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
a.    Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa;
b.    Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan bohong;
c.    Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya;
d.   Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[15]
Ketika fatwa yang dasarnya memang bukanlah menjadi pengikat atas suatu kebijakan, maka perlu dipahami bahwa fatwa yang menjadi produk pemikiran hukum Islam akan cendrung susah untuk diterapkan mengingat bahwa fatwa bersifat kasuistik, karena ia merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh panitia fatwa. Ia tidak memiliki daya ikat, dalam arti peminta fatwa tidak harus mengikuti rumusan hukum yang diberikan kepadanya. Meskipun fatwa biasanya cenderung dinamis, karena ia merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa, akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Perlu dipahami juga bahwa Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
3.   Yurisprudensi (Putusan Hakim Pengadilan Agama)
Produk pemikiran hukum Islam yang ketiga adalah putusan hakim/pengadilan agama. Putusan hakim diambil atau ditetapkan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan, atau ketetapan hukum syar'i yang disampaikan melalui seorang qadi atau seorang hakim.
Yurisprudensi biasa biasa dikenal dengan keputusan hakim terdahulu pada suatu perkara yang tidak diatur Undang-Undang dan kemudian dijadikan dasar oleh hakim lainnya untuk perkara yang sama. Yurisprudensi sendiri merupakan salah satu sumber hukum.  Jadi, Yurisprudensi adalah hukum yang terjadi karena muncul perkara yang tidak pernah diatur dalam undang-undang, sehingga hakim diperbolehkan untuk membuat argumentasi untuk menyelesaikan perkara  tersebut, kemudian argumentasi hakim tersebut dipakai untuk kasus yang sama oleh hakim.
Bila dilihat dari sudut masalah dan tempat berlakunya suatu putusan pengadilan, maka dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan berpeluang untuk dapat digunakan dalam sejumlah masa dan tempat tertentu. Hal ini dikarenakan, putusan pengadilan, apabila telah melalui proses dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia dapat dipergunakan oleh hakim-hakim lain untuk memutuskan suatu perkara yang sama meski berada pada tempat dan masa yang berbeda.
4.   Per-undang-undangan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang dibuat oleh suatu badan legislatif yang mengikat setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan. Pelanggaran terhadap sebuah undang-undang akan mendatangkan sanksi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa undang-undang memiliki daya ikat yang lebih luas dari keputusan pengadilan. Karena diputuskan oleh lembaga, maka orang yang terlibat dalam perumusannya tidaklah terbatas pada fuqaha atau ulama, tetapi juga para politisi dan para cendekiawan lainnya.
Peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan, pengertian undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU 12/2011).
Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang (UU) adalah termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain UU, menurut ketentuan UU 12/2011, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga termasuk kategori peraturan perundang-undangan.
Sebagai produk kolektif, ia relatif memiliki kualitas yang lebih tinggi dan lebih mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Hal ini disebabkan karena dirumuskan dengan pertimbangan yang lebih komprehensif. Namun dari sisi kedinamisan, perundang-undangan suatu undang-undang memerlukan waktu, biaya dan persiapan yang tidak kecil. cenderung lamban dinamikanya, karena untuk mengubah.
D.    Problemaktika Penerapan Produk Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam yang kedua sumber pokoknya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah tidaklah lahir dalam masyarakat yang hampa kultural, disamping sebagai konsep ilhai yang mengajarkan tentang kebenaran, juga sekaligus menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.[16]
Pada garis besarnya, hukum Islam itu dapat dirinci dalam tiga hal: Pertama, petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (Ma'rifat) yang benar tentang Allah dan alam gaib yang disebut dengan ahkam syar'iyyah i'tiqadiyah. Kedua, Petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia yang dinamai dengan ahkam syar'iyyah khuluqiyyah. Ketiga, Ketentuan-ketentuan dan seperangkat peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan.[17]
Dalam menanggapi koridor akan produk-produk hukum Islam maka perlu dipahami bahwa aturan yang dasarnya bersumber langsung dari Allah swt. tentu tidak dapat dirubah sebab telah hadir dan lahir sebagai syariat yang merupakan ketetapan langsung dari Allah kepada hambanya agar dapat menjadi majmuk dalam berkehidupan.
Mencermati bentuk masing-masing produk pemikiran hukum Islam tesebut, dapat disimpulkan bahwa tantangan utama yang menjadi problem yang akan  dihadapi dalam penerapannya adalah tidak sesuainya antara aturan-aturan hukum yang telah dirumuskan tersebut dengan kondisi sehingga problema hukum dan rasa keadilan masyarakat dimana hukum tersebut hendak diberlakukan. Problema ketidaksesuaian, yang disebut sebagai problem yang tidak relevan terutama diidap oleh kitab-kitab fiqh. Hal ini disebabkan karena ia resisten terhadap perubahan.
Untuk penerapan produk fiqh maka perlu penyeleksian diktum hukum serta analisis hukum yang mendalam sehingga aturan fiqh yang dapat diberlakukan harus berkesusain dengan keadaan masyarakat. Ia harus diletakkan secara proporsional yakni dengan tujuan agar penerapan hukumnya tidak secara gemblang penerapannya melainkan di interpretasikan kembali kedalam bentuk hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Pada umumnya kebanyakan masyarakat mengenal fiqh sebagai hukum Tuhan hukum yang bersumber langsung dari Allah swt. karena itu ia merupakan aturan hukum yang paling benar. Olehnya itu menanggapi produk pemikiran hukum Islam yang lainnya seperti putusan pengadilan, fatwa, serta perundang-undangan terkadang seolah fiqh ini tidak sejalan dengan aturan tersebut. Sehingga dengan demikian konsekuensi dari pemahaman tersebut membuat masyarakat membuang jauh aturan-aturan produk pemikiran hukum Islam seperti putusan pengadilan dan perundang-undangan kepada pemisahan hukum terhadap agama.
Adapun fatwa yang meskipun merupakan responsisasi secara langsung terhadap hukum Islam bukan berarti masyarakat secara langsung dapat menerimanya melainkan fatwa yang diberikan secara langsung oleh seorang mufti yang merupakan fatwa terdapat visi dan misi yang berbeda karena terkadang adanya fatwa yang lahir secara individual sehingga terjadinya ketidak sesuaian hukum. Selain itu dalam fatwa biasanya hanya berkiblat pada kitab-kitab fiqh tertentu.
Mengenai upaya yang perlu dihadapi dengan mengeluarkan fatwa oleh seorang mufti, fatwanya harus rasional dan mencakup segala aspek hukum yang terkandung dalam syariat Islam sehingga penerapannya dapat secara optimal dengan tujuan visi sosial yang lebih relevan. Disamping itu integrasi dan indepensi para mufti perlu terus ditingkatkan agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan.
Sementara putusan pengadilan agama/yurisprudensi adalah faktor terpenting pula dalam produk pemikiran hukum Islam, sebab dalam putusan pengadilan agama segala sumber hukum yang pernah diputus oleh seorang hakim di pengadilan menjadi dasar hukum selanjutnya dalam memutus kasus-kasus hukum yang sama dikemudian hari. Namun perlu dipahami bahwa faktor terpenting adalah seorang hakim dipengadilan adalah kwalitas seorang hakim. Sebab putusan hakim yang memiliki integritas yang paham akan syariat/fiqh tentulah menentukan putusan hakim yamg dapat memberi rasa keadilan bagi pihak-pihak berperkara.
Hakim juga harus memiliki semangat moral yang tinggi untuk berbuat secara benar dan menegakkan keadilan. Hakim harus tetap memelihara independensi yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, segala putusan yang diambilnya benar-benar bersih dari pengaruh-pengaruh. Yang diistilahkan oleh Bustanul Arifin bahwa seorang hakim harus tidak memiliki atasan yang dapat memerintah selain hati nuraninya dan Tuhan.[18]
Seorang hakim harus dapat menjalankan pungsinya sebagai hakim yang adil di dalam penerapannya. Ia juga harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup terhadap masyarakat. Hakim adalah penemu hukum terapan yang lahir dari masyarakat sehingga menghasilkan yurisprudensi yang dapat diberakukan dalam masyarakat. Masalah yang hadir dalam yurisprudensi ini, kurannya komunkasi hakim terhadap hakim-hakim yang lain, sehinga dalam penerapan produk pemikiran hukum tersebut tidak terlalu diberlakukan. Olehnya itu perlu dilakukan upaya-upaya konkrit dalam menciptakan wahana pengkomunikasian antara sesama hakim agar dapat tercapainya pemberlakuan hukum secara merata.
Mengenai undang-undang, sebagai produk pemikiran Hukum Islam yang keempat, tampaknya tidak terlalu mengalami kendala dalam pengaplikasiannya. Sebab dalam pengaplikasian undang-undang positif dapat diterima oleh masyarakat namun tetap perlu adanya sosialisasi hukum/aturan terhadap masyarakat agar taat dan paham serta tunduk dan patuh pada hukum-hukum yang diberlakukan. Hanya saja dinamikanya agak lamban, karena membuat atau mengubah sebuah undang-undang dibutuhkan waktu, biaya dan persiapan yang tidak sedikit.
Agar hukum Islam dapat terintegrasi ke dalam peraturan perundang-undangan, sangat ditentukan oleh pemikir dan ulama yang terlibat di dalam lembaga legislatif. Komitmen mereka terhadap hukum Islam dapat berakibat positif bagi terintegrasinya hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan negara. Di sinilah dibutuhkan keberanian moral dari para pemikir dan ulama untuk menyuarakan Islam walaupun tidak secara harfiah.
E.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai produk pemikiran hukum Islam dapat disimpulkan bahwa produk pemikiran hukum Islam ada empat; fiqh, fatwa, putusan hakim pengadilan agama, dan perundang-undangan. Dalam menanggapi hal tersebut perlu dipahami fiqh yang diberlakukan dalam tatanan masyarakat ialah aturan hukum yang bersumber langsung dari Allah swt. yang sifatnya masuk kedalam keagamaan, fiqh tersebut tidak dapat dirubah melainkan sudah menjadi ketetapan,  akibatnya masyarakat Islam menganggap produk pemikiran hukum Islam yang lain tidak berkaitan dengan agama melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Sementara produk pemikiran hukum Islam selain fiqh merupakan aturan yang lahir dari seorang mujtahid yang secara tidak langsung akan terdapat kecacatan hukum di dalam penerapannya nanti.
Namun perlu dipahami bahwa produk pemikiran hukum Islam ini menyentuh pada tatanan masyarakat Islam yang dapat diambil sebagai dasar hukum yang kuat meski terlepas dari hukum yang sifatnya syariat. Namun akan menjaga keseimbangan masyarakat Islam. Dengan demikian sebuah solusi agar produk hukum Islam ini dapat diberlakukan perlunya kesadaran maysrakat dalam menaati hukum, baik yang secara langsung dari Tuhan atau bahkan aturan hukum dari seorang mujtahid sebab seorang mujtahid dalam memberlakukan hukum merupakan campur tangan Tuhan dalam tindakannya. Olehnya itu seorang mujtahid harus mampu melahirkan produk pemikiran hukum Islam yang bisa menjawab segala kebutuhan masyarakat sehingga menyentuh rasa keadilan hukum terhadap masyarakat.

Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad saw.: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Al-Munawwar, Said  Agil  Husin. Keluasan dan Keluesan Hukum Islam. Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993.
al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Amirudin, Zen. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras,  2009.
Arifin, Bustanul. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ash-Shiddieqy, Hasbi.  Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Edisi Kedua. Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008.
Hidayat, Racmat Taufik dkk. Almanak Alam Islami. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Samad, 2014.
Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer.  Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993.
Mualim dan Yusdani.  Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, t.t.
Schacht, Joseph. An Intoduction to Islamic Law. London : Oxford At The Clarendon Press, 1971.
Sudarsono. Kamus Hukum. Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999.
Supardin, “Faktor  Sosial  Budaya  Dan  Aturan  Perundang Undangan Pada Produk Pemikiran Hukum Islam” Jurnal Al-Qada>u, Volume 1 Nomor 2/2014.
Yafie, Ali.  Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah. Cet. II; Bandung: Mizan, 1994.
Zein, Achyar. “Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum al-Quran”, Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2 2015.




*Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Jurusan  Syariah/Hukum Islam 2016.
[1]Joseph Schacht, An Intoduction to Islamic Law (London : Oxford At The Clarendon Press, 1971), h. 1.
[2]Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw.: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 21.
[3]Supardin, “Faktor  Sosial  Budaya  Dan  Aturan  Perundang Undangan Pada Produk Pemikiran Hukum Islam” Jurnal Al-Qada>u, Volume 1 Nomor 2/2014, h. 60.
[4]Istilah “reaktualisasi hukum Islam” menjadi sesuatu yang menghentak dan populer di kalangan umat Islam Indonesia setelah menteri Agama pada waktu itu, Munawir Sadzali menggulirkan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Terutama berkaitan dengan kasus hukum kewarisan. Selanjutnya baca Mualim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, t.t), h. 9.
[5]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15
[6]QS. Al-Nisa/4:105, h. 95, dan QS. Al-Maidah/5: 49, h. 116.
[7]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Samad, 2014), h. 87.
[8]Sudarsono, Kamus Hukum (Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999), h. 169.
[9]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008), h. 169.
[10]Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993), h. 153.
[11]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Edisi Kedua (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 9.
[12]Achyar Zein, “Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum al-Quran”, Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2 (2015), h. 202.
[13]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),    h. 16.
[14]Racmat Taufik Hidayat dkk., Almanak Alam Islami (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000),        h. 140.
[15]Zen Amirudin, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Teras,  2009), h.  213.
[16]Said  Agil  Husin Al-Munawwar, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993), h ii.
[17]Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h. 113.
[18]Bustanul Arifin, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar