PERADILAN DI MESIR MENJELANG
DAN PASCA RUNTUHNYA TURKI USMANI
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Semester dua (II)
Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 8
Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen
Pemandu:
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.
Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M.Ag.
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Mesir adalah sebuah Negara Republik di sudut timur
laut Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan laut tengah (Utara), laut merah
(Timur), Sudan (Selatan), dan Libia (Barat). Adapun luas daerahnya 1.001.450 km2
dengan kelompok etnik terpenting adalah Mesir, Badui dan Nubilia. Ibu
kota negaranya adalah Kairo dengan bahasa resminya Arab dan Pound Mesir sebagai
mata uang.[1]
Semenjak zaman kuno (4000 tahun SM) Mesir telah
mempunyai peradaban yang tinggi, karena potensi geografis dan budayanya. Ketika
masuk diwilayah Islam, Mesir segera menjadi daerah yang mempunyai peran penting
dalam sejarah perkembangan Islam, baik pada zaman pra modern, maupun pada zaman
modern. Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan Islam dapat
dilihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang politik dan perluasan daerah
Islam, bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, serta bidang ekonomi
perdagangan.[2]
Islam masuk ke Mesir melalui panglima Amr ibn al-Ash
tahun 640 H, pada masa khalifah ‘Umar ibn al-Khattab Semenjak itu Mesir berada
di bawah kekuasaan Islam setelah sebelumnya di bawah kekuasaan Romawi. Semenjak
kedatangan Islam ke negeri itu, kaum Koptik menjadi kaum minoritas, karena
Islam sangat digemari oleh bangsa Mesir. Mereka beranggapan bahwa Islamlah yang
bisa membebaskan mereka dari tekanan penguasa.[3] Setelah
menduduki daerah ini, Amar ibn al-Ash menjadi amir
(gubernur) di sana. Pada masa selanjutnya yang menduduki Mesir adalah Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah, Dinasti Tulun, Dinasti Ikhsyid, Dinasti Fatimiyah,
Dinasti Ayubiyah, dan Dinasti Mamluk. Pada masa setelahnya Mesir menjadi negara
bagian kerajaan Turki Utsmani.[4]
Ketika memasuki tahun 1952 bentuk Negara Mesir berubah
menjadi Republik Arab Mesir. Di mana sebelumnya negara ini merupakan pemerintahan
yang monarki namun ketika itu
pemerintahan tersebut dijatuhkan oleh Abdul Nasser yang mengubahnya menjadi Negara
Republik. Setelah pemerintahannya berjalan cukup alot konstitusi 1971
diamandemen pada tahun 1980 menyatakan bahwa Republik Arab Mesir
merupakan negara demokratis dan sosialis. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan
rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Semua warga negara mempunyai status yang
sama di depan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa memandang ras,
asal keturunan, agama dan keyakinan.[5] Dimana dalam tatanan hukum yang berlansung di Mesir mengambil
prinsip-prinsip hukum Islam seperti dalam tatanan perkawinan, warisan dan
wakaf. Namun dalam bidang perdata dan pidana hukum Islam hanyalah sebagai salah
satu sumber hukum Republik Arab Mesir.[6]
Olehnya itu berbicara tentang tatanan Hukum Islam yang
terdapat di Mesir maka dalam makalah ini akan membahas tentang peradilan Islam
yang terdapat di Mesir dalam kelembagaan, perkembangan dan pasca runtuhnya Turki Usmani.
2.
Rumusan Masalah
Dari
persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :
a.
Bagaimana perkembangan
dan buku
pedoman peradilan di Mesir menjelang dan pasca runtuhnya Turki Usmani?
b.
Bagaimana bentuk badan peradilan dan kewenangannya
di Mesir menjelang dan pasca runtuhnya Turki Usmani?
c.
Apa saja syarat-syarat menjadi hakim
peradilan serta bagaimana bentuk alat buktinya?
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan dan Buku Pedoman
Peradilan Di Mesir Menjelang Dan Pasca Runtuhnya Turki
Usmani
Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol
(1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520 M), belum
terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah
pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I (1520 M), berupaya
untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan
mengkodifikasikannya.[7] Ketika Turki
Usman I setelah berhasil menaklukkan Byzantium dan berdiri di atas reruntuhan
Dinasti Saljuk. Bangsa Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan
china yang bermigrasi ke selatan dan ke wilayah barat, kemudian menetap di
Amerika.
Pada awal kelahirannya pemerintah
Turki Usmani, syariat Islam belum secara utuh dan menyeluruh telah diterapkan
untuk mengatur tata kehidupan umat Islam, baik dalam hubungan individu maupun
kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintahan
Islam dengan yang lainnya.
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari
kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah
hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat
Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan
Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk
menghimpun hukum Islam serta memberlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua wilayah
kekuasaan Turki.
Mengenai kebijakan yang ditempuh
oleh pemerintah Turki Usmani, dapat dilihat bahwa penetapan mazhab Hanafi dalam
sayriat Islam yang diberlakukannya. alasan menetapkan madzhab resmi pemerintah
itu didasarkan atas beberapa pertimbangan pemikiran, antara lain sebagai
berikut:
a.
Untuk
mengurangi kadar pertentangan yang ditimbulkan sebagai akibat beragamnya
madzhab dalam hukum Islam, sehingga dapat menghambat penerapan dan pelaksanaan
hukum Islam dalam masyarakat.
b.
Letak
geografis perbedaan antara pusat pemerintahan Turki yang sangat jauh dari
Mekkah dan Madinah memunculkan sikap kritis umat Islam terhadap hadits yang
diragukan kesahihannya.
c.
Terkesan
adanya persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadits itu berisi adat
kebiasaan bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat kebiasaan bangsa
Turki sebagai penguasa.
d.
Diduga,
faktor rasionalitas dan keluwesan madzhab Hanafi sebagai penyebab dipilihnya
madzhab tersebut oleh penguasa Turki Usmani.[8]
Setelah Turki Usmani berkuasa di
Mesir menggantikan dinasti Mamluk, maka tata hukum yang berlaku di Mesir terpengaruh
oleh tata hukum Turki Usmani. Hal ini berlangsung selama tiga abad, semenjak
Sultan Salim berkuasa (1517-1798). Namun ketika melemahnya
kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di Mesir, Napoleon mendarat di Alexandria pada
tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya pelabuhan yang terpenting tersebut
jatuh. Beberapa minggu kemudian Napoleon dapat menguasai Mesir. Namun karena
perlawanan rakyat Mesir dengan bantuan Inggris, maka Napoleon dan prajuritnya
dapat diusir dari Mesir pada tahun 1801. Pada
masa inilah, terjadi "pengsekularan"
undang-undang, yang menjadikan undang-undang Barat sebagai rujukan, terutama
undang-undang Perancis. Hal ini dilakukan untuk menjauhkan Islam dari
"kuasa" pemerintahan. Mereka akan memastikan agar undang-undang Islam
tidak dijadikan rujukan dalam berbagai hal. Semenjak saat itu, undang-undang
Islam yang dipakai hanyalah yang berkaitan dengan pernikahan (al-ahwal al-
Shakhsiyyah) atau yang berkait dengan adat karena ia tidak menggugat
kedudukan penjajah. Umat Islam boleh mengamalkan undang-undang ini di kalangan
mereka sendiri, tetapi untuk mengamalkan undang-undang yang terpaut
dengan pemerintahan negara, pidana dan lain-lain tidak diizinkan oleh penjajah.[9]
Undang-undang pidana Utsmaniyah pada tahun 1851 juga diterapkan, setelah Sa’id Pasya naik tahta
pada 1854, dalam versi yang diadaptasikan dengan lingkungan Mesir. Akan tetapi,
tindak pidana dan hukumannya masih belum dirumuskan dengan baik. Mesir telah
menerapkan kitab hukum pidana dan perdata pada abad ke-19. Sebuah kitab hukum
perdata baru berdasarkan model kitab hukum perdata Perancis telah diperlakukan
pada tahun 1873.[10]
Memasuki pada
tahun 1876 hukum perdata Mesir mulai diundangkan dan diberi nama al-Qanun
al-Madani al-Mukthalafat atau hukum perdata campuran. Dalam hukum perdata
diatur mengenai hukum-hukum perdata yang terjadi diantara warga negara asing
atau warga negara Mesir dan pribumi dengan warga negara asing. Pada tahun 1883
terbit hukum perdata lain yang diberi nama al-Qanun al-Madani al-Ahliyi
atau hukum perdata bumi putra. Hukum ini berasal dari hukum Napoleon Perancis.
Undang-undang kumpulan perdata ini dihimpun dalam sebuah buku Mursyid
al-Hiran ila Ma’rifah Ahwal al-Ihsan.[11]
2. Badan Peradilan
di Mesir Serta Kewenangannya Menjelang dan Pasca Runtuhnya Turki Usmani
Peradilan Kerajaan Turki
pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu mazhab dan pada fase
berikutnya penguasaan Turki Usmani mengundangkan mazhab Hanafi sebagai mazhab
resminya dalam hal fatwa dan peradilan.[12]
Pada masa peradilan di Mesir kerajaan Turki Usmani menjadi tiga bagian yakni
sebelum tanzimat, masa tanzimat
dan pasca tanzimat
Sebelum tanzimat, Kerajaan usmani yang dipimpin oleh seorang sultan,
memiliki kekuasaan temporal atau lebih dikenal dengan duniawi dan kekuasaan
spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan jabatan “sultan” dan sebagai
kepala rohani umat Islam digunakan gelar “khalifah”. Dengan demikian raja-raja
Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan
menyiarkan dan membela agama Islam.[13] Dalam pelaksanaan kekuasaan itu, sultan
dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk
pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk
keagamaan. Dalam hal ini keduanya tidak mempunyai hak suara dalam pemerintahan
namun hanya menjalankan tugas atas perintah sultan.
Syaik al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-Rumali yang membawahi qadhi-qadi wilayah Usmaniah dibagian
Eropa. Qadhi askar anduwaly membawahi
qadhi wilayah Usmaniah bagian Asia
dan Mesir.[14] Syaikh
al-Islam adalah seorang pejabat tinggi Negara. Selain sebagai pengawas atas
pemberlakuan hukum Islam, ia juga sebagai pengawas kinerja para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Adapun
bentuk peradilan pada masa ini diantaranya:
- Al-Juz’iyat (mahkamah Biasa) wewenangnya pada perkara
pidana dan perdata;
- Mahkamah
al-Isti’naf (mahkamah Banding)
wewenangnya meneliti dan mengkaji perkara berlaku;
- Mahkmamah
al-Tamyiz au al-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah tinggi) wewenangnya memecat para qadhi yang terbukti
bersalah; dan
- Mahkamah
al-Isti’naf al-Ulya (Mahkamah Agung), mahkamah
ini berlansug di bawah pengawasan sultan.[15]
Masa Tanzimat, yang dimaksud tanzimat
berasal dari kata nahzhama-yunazhimu-tanzhiman
yang berarti masa mengatur, menyusun, mensistematisasi, merencanakan, dan
memformulasikan.[16] Tanzimat dalam bahasa Turki dikenal
dengan tanzimat al-khairiye, gerakan
pembaharuan di Turki Usmani yang diperkenalkan
dalam sistem birokrasi dan pemerintahan yang meliputi bidang hukum,
administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan, dan lain sebagainya.[17]
Pada masa ini pembaharuan
ini dilakukan oleh Raja Usmani Sultan Mahmud II pada abad ke-19. Dalam hal ini
dia menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang oleh seorang sultan, kekuasaan
sebagai pemimpin duniawi dan sebagai pemimpin spiritual. Kekuasaan yudikatif
yang dipegang oleh sadrazam dialihkan
kepada syaikh al-Islam.[18]
syaikh al-Islam diberikan wewenang
untuk mengurusi permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan syariat Islam.
Sementara di luar syariat Islam diatur oleh perancang hukum. Hukum ini diadopsi
dari Negara Eropa.
Adapun yang mendasari
lahirnya tanzimat antara lain:
- Eropa mendesak Kerajaan Turki Usmani untuk
mengayomi kaum zimmi yang berada di wilayah ke kuasaan Usmani;
- Pemberlakuaan hukum fikih bagi orang Eropa
yang berada di wilayah Usmani dengan hukuman mati jika ia murtad;
- Munculnya tokoh-tokoh tanzimat yang berupaya membatasi kekuasaan sultan yang absolut.[19]
Realisasi dari reformasi ini dimulai dengan
diundang-undangkannya Piagam Ghulhane
(Khatt-i Syarif Gulhane) pada 1839.[20]
Atas dasar inilah perbaharuan di berbagai bidang dilakukan, salah satunya dalam
bidang hukum. Kodifikasi di bidang hukum ini mengambil sumber dari Syariat dan
sumber-sumber di luar agama.[21]
Selanjutnya dikeluarkannya piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun),
dalam piagam ini mengandung pembaharuan terhadap orang Eropa yang berada di
bawah kekuasaaan Usmani, yang dimana piagam ini lahir atas desakan-desakan Negara
Eropa yang menghendaki kesamaan hak atas orang Turki dan Eropa tanpa melihat
agama yang dianutnya. Dan piagam ini sekaligus memperkuat piagam Gulhane.[22] Yang di mana piagam tersebut
menjelaskan bahwa pada masa awal mula kerajaan Usmani Syarian dan Undang-Undang
negara dipatuhi, oleh karnanya kerajaan menjadi besar serta kuat dan rakyatnya
makmur. Kedua piagam tersebut mulai diberlakukan pada masa pemerintahan Sultan
Abdul Majid I bin Mahmud II.
Pada masa ini juga telah ditetapkan pedoman
hakim dalam menetapkan hukum, dengan dikeluarkannya undang-undang Dusturiyah 1877 M. dalam hal ini mengandung kode etik hakim dalam
memutuskan perkara agar terhindar dari
hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum.
Pasca Tanzimat,
pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan
pelik. Sumber hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syariat Islam,
tetapi diambil dari hukum barat atau Eropa. Hal tersebut didasarkan pada adanya
penetrasi Eropa terhadap dunia Islam yang diwakili oleh kerajaan Usmani,
sehingga muncullah lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda,
diantaranya:
- Mahkamah
al-Thawif atau Qadha al-Milli, peradilan untuk suatu kelompok agama yang sumbernya
berasal dari agamanya masing-masing;
- Qadha
al-Qanshuli, peradilan untuk warga
Negara asing dengan sumber undang-undang orang asing tersebut;
- Qadha
Mahkamah Pidana, bersumber dari undang-undang
Eropa;
- Qadha
Mahkam al-Huquq, menggali dari perkara
perdata bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adhiyah;dan
- Majelis al-Syar’i al-Syarif, menggali perkara umat Islam Khususnya
masalah keluarga (al-Syakhsyiyah)
bersumber dari fikih Islam.[23]
Dalam lembaga peradilan pada
saat itupun telah banyak perubahan, sudah adanya mahkamah biasa, banding dan mahkamah
agung. Dengan demikian qadha pada masa inipun sudah beragam dan ini merupakan
sebuah pembahruan yang dicapai sebelum tanzimat.
Pada
Tahun 1876, Mesir telah mencapai kesempurnaan dibidang kekuasaan peradilan. Ada
5 lembaga peradilan yang eksis dengan berbagai sumber hukum yang berbeda-beda.
Kelima lembaga peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Peradilan
Syar’i, yaitu peradilan yang tertua yang sumber hukumnya adalah fiqh Islam.
b. Peradilan
Campuran, yaitu lembaga peradilan yang menangani perkara antara orang yang
berbeda agama. Sumber hukumnya adalah undang-undang asing.
c. Peradilan
Ahli, yaitu lembaga peradilan adata yang sumber hukumnya adalah undang-undang
perancis.
d. Peradilan
Milliy, lembaga peradilan untuk orang-orang penganut agama
diluar Islam. Sumber hukumnya berasal dari agama dan golongan diluar Islam.
e. Peradilan
Qunshuliy, lembaga peradilan untuk negara asing dengan sumber hukumnya adalah
undang-undang negara masing-masing yang berperkara.[24]
Namun setelah
itu, muncul perkembangan baru. Mesir kembali
menata bentuk peradilannya dengan membentuk panitia untuk melakukan pembaharuan
peradilan yang kemudian akhirnya melahirkan lembaga-lembaga hukum yang
menangani beberapa kasus hukum, yaitu:
a. Mahkamah
Mukhalifah,
yang menangani kasus perdata dan pidana yang terjadi antara sesama orang asing
yang mendapatkan hak-hak istimewa atau antar orang Mesir. Secara struktural,
mahkamah ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juz’iyah, dan Mahkamah
Isti’naf. Sidang yang dilakukan mahkamah ini dipimpin oleh seorang hakim
asing.
b. Mahkamah
Ahliyah,
yang menangani kasus perdata dan pidana yang terjadi dikalangan masyarakat
Mesir atau orang Asing yang tidak mendapat hak istimewa. Mahkamah ini terdiri
dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juz’iyah dan Mahkamah Naqd.
c. Mahkamah
Sar’iyah,
hanya menangani kasus hukum yang menyangkut al-Akhwal Al-Syakhshiyah,
seperti nafkah, talak dan waris. Itupun hanya terbatas kepada warga Mesir yang
bearagama Islam, sedangkan yang non Islam ditangani oleh Majelis Milyyah.[25]
3. Syarat-Syarat Menjadi Hakim Peradilan
Serta Bentuk Alat Buktinya
Melaksanakan tugas dalam peradilan merupakan tugas dari seorang hakim dan setiap orang yang beriman. Karena tingginya tanggung jawab yang
akan di emban oleh seorang hakim, maka Rasulullah saw. mengisyaratkan dengan
ketat dalam pengangkatan hakim. Peradilan dalam Islam merupakan tugas yang
sangat mulia, sebab tugas dalam bidang ini merupakan tugas yang sangat berat
dan dituntut akan tanggung jawab yang besar dalam melaksanakannya.
Menurut ketentuan hukum Islam, seseorang yang diangkat sebagai hakim
mestilah orang yang benar-benar layak dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan
oleh syara.[26] Adapun
syarat Hakim yang telah ditentukan oleh hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.
Beragama Islam, sebab semua kasus yang
diperiksa melibatkan oarang Islam. Namun ulama kalangan Hanafiah membolehkan
pengangkatan hakim dari golongan non muslim dengan alasan untuk menyelesaikan
perkara antara orang muslim dan non muslim.
b.
Harus lelaki,
jumhur ulama menetapkan laki-laki sebagai
syarat untuk diangkat menjadi Hakim.
c.
Baliqh dan berakal,
kemampuan akal telah disepakati oleh
seluruh ulama sebagai syarat mutlak bagi pengangkatan hakim. Kemampuan akal ini
tidak hanya dengan kemampuan akal elementer, namun ia harus mempunyai
pengetahuan yang baik, cerdas dan jauh dari sifat lalai.
d.
Kredibilitas individu (al-‘Adalah),
penentuan adil sebagai syarat pengangkatan hakim sangat menentukan benar atau
tidaknya, sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum.
e.
Sempurna pancaindra, hal yag paling
diutamakan adalah dapat mendengar dan tidak bisu.
f.
Berpengetahuan luas, orang yang dianggap
mengetahui hukum Islam secara luas adalah yang mengusai ilmu tentang Kitab
Allah, memahami sunnah Rasulullah, mampu berijtihad, dan memiliki pengetahuan
tentang qiyas.
g.
Bukan budak (merdeka), sebab seorang
budak atau hamba tidak mampu untuk memiliki kemampuan dirinya sendiri.[27]
Hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang telah
diajukan kepadanya dan penyelesaiannya mampu memenuhi tuntutan keadilan, maka
wajib baginya untuk:
-
Mengetahui karakter dakwaan atau
gugatan,
-
Mengetahui hukum Allah tentang kasus
tersebut.
Adapun
cara untuk mengetahui hakekat dakwaan/gugatan ini yaitu dengan menampilkan
bukti-bukti seperti pengakuan tertuduh/tergugat dan saksi.[28]
Hujjah menurut ahli hukum ada tujuh macam yakni pengakuan, bayyinah (saksi),
sumpah, penolakan sumpah, qasamah, pengetahuan hakim, dan qarinah
(petunjuk/sangkaan).
a.
Pengakuan. Yang dimaksud dengan pengakuan adalah adanya
hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang
berstatus sebagai ucapan.[29] Orang yang bisa bicara tidak boleh isyarat kecuali keadaaan tertentu,
misalnya pengakuan tentang sengketa nasab.
b.
Bayyinah. Menurut Ibnul
Qayyim, bayyinah meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan
menjelaskan kebenaran sesuatu. Menurut jumhur kata bayyinah sendiri
disinonimkan dengan syahadah (kesaksian).[30]
c.
Sumpah. Diantara hak penggugat apabila
ia tidak dapat membuktikan gugatannya sedang tergugat menolah isi gugatan,
mengajukan tuntutan kepada Hakim agar menyumpahi tergugat.
d.
Penolakan sumpah. Oleh karena penolakan
sumpah berarti pengakuan, maka ia merupakan alat bukti yang terbatas. Penggugat
harus memperkuat lagi gugatannya dengan menampilkan alat bukti yang lain agar
gugatannya dapat mengena kepada pihak lain (selain pihak yang menolak sumpah).
e.
Qasamah. Menurut
bahasa, qasamah merupakan sumpah yang dihadapkan wali dari tertuduh pelaku
pembunuhan, sedangkan menurut fuqaha, qasamah disama artikan dengan
sumpah.
f.
Pengetahuan Hakim. Hakim memutuskan
perkara berdasarkan pengetahuannya tentang keadaan tergugat, baik
pengetahuannya sebelum atau sesudah pemeriksaan perkara.[31]
C. PENUTUP
1.
Perkembangan
hukum Islam pada masa
Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya
Salim I bin Bagazid II (1520 M), namun belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna.
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan
Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga
kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di
wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat
Islam di wilayah kekuasaannya. Setelah Turki Usmani berkuasa di Mesir
menggantikan dinasti Mamluk, maka tata hukum yang berlaku di Mesir terpengaruh
oleh tata hukum Turki Usmani. Hal ini berlangsung selama tiga abad, semenjak
Sultan Salim berkuasa (1517-1798).
2. Pada masa peradilan di Mesir kerajaan Turki
Usmani menjadi tiga bagian yakni sebelum tanzimat,
masa tanzimat dan pasca tanzimat.
Sebelum tanzimat, Kerajaan usmani
yang dipimpin oleh seorang sultan, memiliki kekuasaan temporal atau lebih
dikenal dengan duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi
digunakan jabatan “sultan” dan sebagai kepala rohani umat Islam digunakan gelar
“khalifah”. Masa tanzimat Pada masa
ini pembaharuan ini dilakukan oleh Raja Usmani Sultan Mahmud II pada abad
ke-19. Dalam hal ini dia menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang oleh seorang
sultan, kekuasaan sebagai pemimpin duniawi dan sebagai pemimpin spiritual. Kekuasaan
yudikatif yang dipegang oleh sadrazam dialihkan
kepada syaikh al-Islam. Pasca Tanzimat, pada akhir periode Turki
Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang
dipegang pun tidak hanya sebatas pada syariat Islam, tetapi diambil dari hukum
barat atau Eropa.
3.
Menurut ketentuan hukum Islam, seseorang yang diangkat
sebagai
hakim mestilah orang yang benar-benar layak dan
memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syara. Diantara
syaratnya antara lain: Beragama Islam, Harus lelaki, Baliqh dan berakal,
Kredibilitas individu (al-‘Adalah), Sempurna pancaindra, Berpengetahuan
luas, Bukan budak (merdeka),
Daftar Pustaka
Abdurahman bin Hayyin Abdul Azis al-Humaidi, al-qadha
wa Nizamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah. Kairo: Ma’had al-Mabhas
al-Iah, t.t. dalam Kutipan Nelli, Jumni. Perkembangan
Hukum Islam pada Masa Turki Usmani. Pekanbaru: t.tp, 2006.
Ali, Atabik dan Ahmad
Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontenporer
Arab Indonesia. Cet. VIII; Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman.
Bandung: Mizan, 1993.
Buchori, Didin Saefuddin Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5. Cet. XI; Jakarta: PT Inctiar Baru Van Hoeve, 2003.
Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005.
Koto, Alaiddin. Sejarah
Peradilan Islam, Cet. III;
Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Ma’afi, Rif’at Khusnul. “Penerapan dan Pembaharuan
Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki”,
Al-Qānūn, Vol. 13 No.
1 Juni ( 2010).
Madkur, Muhammad
Salam,. al-Qadha fil Islam, terj. AM, Imron. Peradilan
Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ikepadanya lmu, 1993.
Mahsamani, Subhi.
Falsafah at-Tasyri’. Beirut:
Maktabah al-Kasysyaf t.th.
Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam penyelesaian
Peradilan. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2010.
Mukhlas, Oyo Sunaryo. Perkembangan
Peradilan Islam. Bandung: Ghalia Indonesia, 2012.
Nasution, Harun. Pembaharuan
dakam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang,
1996.
Nelli, Jumni . Perkembangan
Hukum Islam pada Masa Turki Usmani. Pekanbaru: t.tp, 2006.
Pulungan, Sayuti. Fikih
Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Rajawali Pers, 1977.
Rahiem, Husni ed., Perkembangan
Ilmu Fikih di Dunia Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 1986.
Sultan, Lomba
dan Abd. Halim Talli. Peradilan Islam Dalam Lintasan Sejarah. t.d,
2005.
[2]Didin
Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta:
Pustaka Intermasa, 2009), h. 145.
[3]Rif’at
Khusnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir
dan Turki”, Al-Qānūn, Vol. 13 No. 1 Juni (2010), h. 210.
[6]Sayuti
Pulungan, Fikih Siyasah Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran (Jakarta: Rajawali Pers, 1977), h. 182-183.
[9]Rif’at Husnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki”, Al-Qānūn, h. 214-216.
[10]Rif’at Husnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki”, Al-Qānūn, h. 216.
[12]Husni
Rahiem ed., Perkembangan Ilmu Fikih di
Dunia Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), h. 22.
[13]Harun
Nasution, Pembaharuan dakam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 92
[14]Abdurahman
bin Hayyin Abdul Azis al-Humaidi, al-qadha
wa Nizamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah (Kairo:
Ma’had al-Mabhas al-Iah, t.t), h. 298 dalam Kutipan Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki
Usmani (Peknbaru: t.tp, 2006), h. 435.
[15]Jumni
Nelli, Perkembangan Hukum Islam pada Masa
Turki Usmani (Pekanbaru: t.tp, 2006), h. 435.
[16]Atabik Ali dan Ahmad
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontenporer
Arab Indonesia (Cet. VIII; Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) h. 1925.
[17]Departemen
Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5 (Cet.
XI; Jakarta: PT Inctiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 63
[20]Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993),
h. 107.110.
[21]Harun
Nasution, Pembaharuan dakam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, h. 100.
[26]Abdul
Manan, Etika Hakim Dalam penyelesaian Peradilan (Cet. I; Jakarta:
Prenada Media, 2010), h. 11.
[28]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha
fil Islam, terj. Imron AM,
Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT.
Bina Ikepadanya lmu, 1993), h. 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar