Jumat, 02 Juni 2017

PERADILAN DI MESIR MENJELANG DAN PASCA RUNTUHNYA TURKI USMANI



PERADILAN DI MESIR MENJELANG DAN PASCA RUNTUHNYA TURKI USMANI

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Semester dua (II) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 8

Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen Pemandu:
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.
Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M.Ag.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
 

A.    PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Mesir adalah sebuah Negara Republik di sudut timur laut Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan laut tengah (Utara), laut merah (Timur), Sudan (Selatan), dan Libia (Barat). Adapun luas daerahnya 1.001.450 km2 dengan kelompok etnik terpenting adalah Mesir, Badui dan Nubilia. Ibu kota negaranya adalah Kairo dengan bahasa resminya Arab dan Pound Mesir sebagai mata uang.[1]
Semenjak zaman kuno (4000 tahun SM) Mesir telah mempunyai peradaban yang tinggi, karena potensi geografis dan budayanya. Ketika masuk diwilayah Islam, Mesir segera menjadi daerah yang mempunyai peran penting dalam sejarah perkembangan Islam, baik pada zaman pra modern, maupun pada zaman modern. Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan Islam dapat dilihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang politik dan perluasan daerah Islam, bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, serta bidang ekonomi perdagangan.[2]
Islam masuk ke Mesir melalui panglima Amr ibn al-Ash tahun 640 H, pada masa khalifah ‘Umar ibn al-Khattab Semenjak itu Mesir berada di bawah kekuasaan Islam setelah sebelumnya di bawah kekuasaan Romawi. Semenjak kedatangan Islam ke negeri itu, kaum Koptik menjadi kaum minoritas, karena Islam sangat digemari oleh bangsa Mesir. Mereka beranggapan bahwa Islamlah yang bisa membebaskan mereka dari tekanan penguasa.[3] Setelah menduduki daerah ini, Amar ibn al-Ash menjadi amir (gubernur) di sana. Pada masa selanjutnya yang menduduki Mesir adalah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Dinasti Tulun, Dinasti Ikhsyid, Dinasti Fatimiyah, Dinasti Ayubiyah, dan Dinasti Mamluk. Pada masa setelahnya Mesir menjadi negara bagian kerajaan Turki Utsmani.[4]
Ketika memasuki tahun 1952 bentuk Negara Mesir berubah menjadi Republik Arab Mesir. Di mana sebelumnya negara ini merupakan pemerintahan yang  monarki namun ketika itu pemerintahan tersebut dijatuhkan oleh Abdul Nasser yang mengubahnya menjadi Negara Republik. Setelah pemerintahannya berjalan cukup alot konstitusi 1971 diamandemen pada tahun 1980 menyatakan bahwa Republik Arab Mesir merupakan negara demokratis dan sosialis. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Semua warga negara mempunyai status yang sama di depan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa memandang ras, asal keturunan, agama dan keyakinan.[5] Dimana dalam tatanan hukum yang berlansung di Mesir mengambil prinsip-prinsip hukum Islam seperti dalam tatanan perkawinan, warisan dan wakaf. Namun dalam bidang perdata dan pidana hukum Islam hanyalah sebagai salah satu sumber hukum Republik Arab Mesir.[6] 
Olehnya itu berbicara tentang tatanan Hukum Islam yang terdapat di Mesir maka dalam makalah ini akan membahas tentang peradilan Islam yang terdapat di Mesir dalam kelembagaan, perkembangan dan pasca runtuhnya  Turki Usmani.


2.   Rumusan Masalah
 Dari persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.    Bagaimana perkembangan dan buku pedoman peradilan di Mesir menjelang dan pasca runtuhnya Turki Usmani?
b.   Bagaimana bentuk badan peradilan dan kewenangannya di Mesir menjelang dan pasca runtuhnya Turki Usmani?
c.    Apa saja syarat-syarat menjadi hakim peradilan serta bagaimana bentuk alat buktinya?
B.     PEMBAHASAN
1.   Perkembangan dan Buku Pedoman Peradilan Di Mesir Menjelang Dan Pasca Runtuhnya Turki Usmani
Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520 M), belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I (1520 M), berupaya untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.[7] Ketika Turki Usman I setelah berhasil menaklukkan Byzantium dan berdiri di atas reruntuhan Dinasti Saljuk. Bangsa Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan china yang bermigrasi ke selatan dan ke wilayah barat, kemudian menetap di Amerika.
Pada awal kelahirannya pemerintah Turki Usmani, syariat Islam belum secara utuh dan menyeluruh telah diterapkan untuk mengatur tata kehidupan umat Islam, baik dalam hubungan individu maupun kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintahan Islam dengan yang lainnya.
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menghimpun hukum Islam serta memberlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua wilayah kekuasaan Turki.
Mengenai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Turki Usmani, dapat dilihat bahwa penetapan mazhab Hanafi dalam sayriat Islam yang diberlakukannya. alasan menetapkan madzhab resmi pemerintah itu didasarkan atas beberapa pertimbangan pemikiran, antara lain sebagai berikut:
a.        Untuk mengurangi kadar pertentangan yang ditimbulkan sebagai akibat beragamnya madzhab dalam hukum Islam, sehingga dapat menghambat penerapan dan pelaksanaan hukum Islam dalam masyarakat.
b.       Letak geografis perbedaan antara pusat pemerintahan Turki yang sangat jauh dari Mekkah dan Madinah memunculkan sikap kritis umat Islam terhadap hadits yang diragukan kesahihannya.
c.        Terkesan adanya persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadits itu berisi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat kebiasaan bangsa Turki sebagai penguasa.
d.    Diduga, faktor rasionalitas dan keluwesan madzhab Hanafi sebagai penyebab dipilihnya madzhab tersebut oleh penguasa Turki Usmani.[8]
Setelah Turki Usmani berkuasa di Mesir menggantikan dinasti Mamluk, maka tata hukum yang berlaku di Mesir terpengaruh oleh tata hukum Turki Usmani. Hal ini berlangsung selama tiga abad, semenjak Sultan Salim berkuasa (1517-1798). Namun  ketika melemahnya kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di Mesir, Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya pelabuhan yang terpenting tersebut jatuh. Beberapa minggu kemudian Napoleon dapat menguasai Mesir. Namun karena perlawanan rakyat Mesir dengan bantuan Inggris, maka Napoleon dan prajuritnya dapat diusir dari Mesir pada tahun 1801. Pada masa inilah, terjadi "pengsekularan" undang-undang, yang menjadikan undang-undang Barat sebagai rujukan, terutama undang-undang Perancis. Hal ini dilakukan untuk menjauhkan Islam dari "kuasa" pemerintahan. Mereka akan memastikan agar undang-undang Islam tidak dijadikan rujukan dalam berbagai hal. Semenjak saat itu, undang-undang Islam yang dipakai hanyalah yang berkaitan dengan pernikahan (al-ahwal al- Shakhsiyyah) atau yang berkait dengan adat karena ia tidak menggugat kedudukan penjajah. Umat Islam boleh mengamalkan undang-undang ini di kalangan mereka sendiri, tetapi untuk mengamalkan undang-undang yang terpaut dengan pemerintahan negara, pidana dan lain-lain tidak diizinkan oleh penjajah.[9]
Undang-undang pidana Utsmaniyah pada tahun 1851 juga diterapkan, setelah Sa’id Pasya naik tahta pada 1854, dalam versi yang diadaptasikan dengan lingkungan Mesir. Akan tetapi, tindak pidana dan hukumannya masih belum dirumuskan dengan baik. Mesir telah menerapkan kitab hukum pidana dan perdata pada abad ke-19. Sebuah kitab hukum perdata baru berdasarkan model kitab hukum perdata Perancis telah diperlakukan pada tahun 1873.[10]
Memasuki pada tahun 1876 hukum perdata Mesir mulai diundangkan dan diberi nama al-Qanun al-Madani al-Mukthalafat atau hukum perdata campuran. Dalam hukum perdata diatur mengenai hukum-hukum perdata yang terjadi diantara warga negara asing atau warga negara Mesir dan pribumi dengan warga negara asing. Pada tahun 1883 terbit hukum perdata lain yang diberi nama al-Qanun al-Madani al-Ahliyi atau hukum perdata bumi putra. Hukum ini berasal dari hukum Napoleon Perancis. Undang-undang kumpulan perdata ini dihimpun dalam sebuah buku Mursyid al-Hiran ila Ma’rifah Ahwal al-Ihsan.[11]
2.   Badan Peradilan di Mesir Serta Kewenangannya Menjelang dan Pasca Runtuhnya Turki Usmani
Peradilan Kerajaan Turki pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu mazhab dan pada fase berikutnya penguasaan Turki Usmani mengundangkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resminya dalam hal fatwa dan peradilan.[12] Pada masa peradilan di Mesir kerajaan Turki Usmani menjadi tiga bagian yakni sebelum tanzimat,  masa tanzimat dan pasca tanzimat
Sebelum tanzimat, Kerajaan usmani yang dipimpin oleh seorang sultan, memiliki kekuasaan temporal atau lebih dikenal dengan duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan jabatan “sultan” dan sebagai kepala rohani umat Islam digunakan gelar “khalifah”. Dengan demikian raja-raja Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela agama Islam.[13]  Dalam pelaksanaan kekuasaan itu, sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk keagamaan. Dalam hal ini keduanya tidak mempunyai hak suara dalam pemerintahan namun hanya menjalankan tugas atas perintah sultan.
Syaik al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-Rumali yang membawahi qadhi-qadi wilayah Usmaniah dibagian Eropa. Qadhi askar anduwaly membawahi qadhi wilayah Usmaniah bagian Asia dan Mesir.[14]  Syaikh al-Islam adalah seorang pejabat tinggi Negara. Selain sebagai pengawas atas pemberlakuan hukum Islam, ia juga sebagai pengawas kinerja para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Adapun bentuk peradilan pada masa ini diantaranya:  
-       Al-Juz’iyat (mahkamah Biasa) wewenangnya pada perkara pidana dan perdata;
-       Mahkamah al-Isti’naf (mahkamah Banding) wewenangnya meneliti dan mengkaji perkara berlaku;
-       Mahkmamah al-Tamyiz au al-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah tinggi) wewenangnya memecat para qadhi  yang terbukti bersalah; dan
-       Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya (Mahkamah Agung), mahkamah ini berlansug di bawah pengawasan sultan.[15]
Masa Tanzimat, yang dimaksud tanzimat berasal dari kata nahzhama-yunazhimu-tanzhiman yang berarti masa mengatur, menyusun, mensistematisasi, merencanakan, dan memformulasikan.[16] Tanzimat dalam bahasa Turki dikenal dengan tanzimat al-khairiye, gerakan pembaharuan di Turki Usmani yang diperkenalkan  dalam sistem birokrasi dan pemerintahan yang meliputi bidang hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan, dan lain sebagainya.[17]
Pada masa ini pembaharuan ini dilakukan oleh Raja Usmani Sultan Mahmud II pada abad ke-19. Dalam hal ini dia menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang oleh seorang sultan, kekuasaan sebagai pemimpin duniawi dan sebagai pemimpin spiritual. Kekuasaan yudikatif yang dipegang oleh sadrazam dialihkan kepada syaikh al-Islam.[18] syaikh al-Islam diberikan wewenang untuk mengurusi permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan syariat Islam. Sementara di luar syariat Islam diatur oleh perancang hukum. Hukum ini diadopsi dari Negara Eropa.
Adapun yang mendasari lahirnya tanzimat antara lain:
-       Eropa mendesak Kerajaan Turki Usmani untuk mengayomi kaum zimmi yang berada di wilayah ke kuasaan Usmani;
-       Pemberlakuaan hukum fikih bagi orang Eropa yang berada di wilayah Usmani dengan hukuman mati jika ia murtad;
-       Munculnya tokoh-tokoh tanzimat yang berupaya membatasi kekuasaan sultan yang absolut.[19]   
Realisasi dari reformasi ini dimulai dengan diundang-undangkannya Piagam Ghulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada 1839.[20] Atas dasar inilah perbaharuan di berbagai bidang dilakukan, salah satunya dalam bidang hukum. Kodifikasi di bidang hukum ini mengambil sumber dari Syariat dan sumber-sumber di luar agama.[21]  
Selanjutnya dikeluarkannya piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun), dalam piagam ini mengandung pembaharuan terhadap orang Eropa yang berada di bawah kekuasaaan Usmani, yang dimana piagam ini lahir atas desakan-desakan Negara Eropa yang menghendaki kesamaan hak atas orang Turki dan Eropa tanpa melihat agama yang dianutnya. Dan piagam ini sekaligus memperkuat piagam Gulhane.[22] Yang di mana piagam tersebut menjelaskan bahwa pada masa awal mula kerajaan Usmani Syarian dan Undang-Undang negara dipatuhi, oleh karnanya kerajaan menjadi besar serta kuat dan rakyatnya makmur. Kedua piagam tersebut mulai diberlakukan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Majid I bin Mahmud II.
Pada masa ini juga telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, dengan dikeluarkannya undang-undang Dusturiyah 1877 M.  dalam hal ini mengandung kode etik hakim dalam memutuskan perkara agar terhindar  dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum.
Pasca Tanzimat, pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syariat Islam, tetapi diambil dari hukum barat atau Eropa. Hal tersebut didasarkan pada adanya penetrasi Eropa terhadap dunia Islam yang diwakili oleh kerajaan Usmani, sehingga muncullah lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, diantaranya:
-       Mahkamah al-Thawif atau Qadha al-Milli, peradilan untuk suatu kelompok agama yang sumbernya berasal dari agamanya masing-masing;
-       Qadha al-Qanshuli, peradilan untuk warga Negara asing dengan sumber undang-undang orang asing tersebut;
-       Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari undang-undang Eropa;
-       Qadha Mahkam al-Huquq, menggali dari perkara perdata bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adhiyah;dan
-        Majelis al-Syar’i al-Syarif, menggali perkara umat Islam Khususnya masalah keluarga (al-Syakhsyiyah) bersumber dari fikih Islam.[23]
Dalam lembaga peradilan pada saat itupun telah banyak perubahan, sudah adanya mahkamah biasa, banding dan mahkamah agung. Dengan demikian qadha pada masa inipun sudah beragam dan ini merupakan sebuah pembahruan yang dicapai sebelum tanzimat.
Pada Tahun 1876, Mesir telah mencapai kesempurnaan dibidang kekuasaan peradilan. Ada 5 lembaga peradilan yang eksis dengan berbagai sumber hukum yang berbeda-beda. Kelima lembaga peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Peradilan Syar’i, yaitu peradilan yang tertua yang sumber hukumnya adalah fiqh Islam.
b.   Peradilan Campuran, yaitu lembaga peradilan yang menangani perkara antara orang yang berbeda agama. Sumber hukumnya adalah undang-undang asing.
c.    Peradilan Ahli, yaitu lembaga peradilan adata yang sumber hukumnya adalah undang-undang perancis.
d.   Peradilan Milliy, lembaga peradilan untuk orang-orang penganut agama diluar Islam. Sumber hukumnya berasal dari agama dan golongan diluar Islam.
e.    Peradilan Qunshuliy, lembaga peradilan untuk negara asing dengan sumber hukumnya adalah undang-undang negara masing-masing yang berperkara.[24]
Namun setelah itu, muncul perkembangan baru. Mesir kembali menata bentuk peradilannya dengan membentuk panitia untuk melakukan pembaharuan peradilan yang kemudian akhirnya melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani beberapa kasus hukum, yaitu:
a.    Mahkamah Mukhalifah, yang menangani kasus perdata dan pidana yang terjadi antara sesama orang asing yang mendapatkan hak-hak istimewa atau antar orang Mesir. Secara struktural, mahkamah ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juz’iyah, dan Mahkamah Isti’naf. Sidang yang dilakukan mahkamah ini dipimpin oleh seorang hakim asing.
b.   Mahkamah Ahliyah, yang menangani kasus perdata dan pidana yang terjadi dikalangan masyarakat Mesir atau orang Asing yang tidak mendapat hak istimewa. Mahkamah ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juz’iyah dan Mahkamah Naqd.
c.    Mahkamah Sar’iyah, hanya menangani kasus hukum yang menyangkut al-Akhwal Al-Syakhshiyah, seperti nafkah, talak dan waris. Itupun hanya terbatas kepada warga Mesir yang bearagama Islam, sedangkan yang non Islam ditangani oleh Majelis Milyyah.[25]
3.   Syarat-Syarat Menjadi Hakim Peradilan Serta Bentuk Alat Buktinya
Melaksanakan tugas dalam peradilan merupakan tugas dari seorang hakim dan setiap orang yang beriman. Karena tingginya tanggung jawab yang akan di emban oleh seorang hakim, maka Rasulullah saw. mengisyaratkan dengan ketat dalam pengangkatan hakim. Peradilan dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, sebab tugas dalam bidang ini merupakan tugas yang sangat berat dan dituntut akan tanggung jawab yang besar dalam melaksanakannya.
Menurut ketentuan hukum Islam, seseorang yang diangkat sebagai hakim mestilah orang yang benar-benar layak dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syara.[26] Adapun syarat Hakim yang telah ditentukan oleh hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.    Beragama Islam, sebab semua kasus yang diperiksa melibatkan oarang Islam. Namun ulama kalangan Hanafiah membolehkan pengangkatan hakim dari golongan non muslim dengan alasan untuk menyelesaikan perkara antara orang muslim dan non muslim.
b.   Harus lelaki, jumhur ulama menetapkan laki-laki sebagai syarat untuk diangkat menjadi Hakim.
c.    Baliqh dan berakal, kemampuan akal telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai syarat mutlak bagi pengangkatan hakim. Kemampuan akal ini tidak hanya dengan kemampuan akal elementer, namun ia harus mempunyai pengetahuan yang baik, cerdas dan jauh dari sifat lalai.
d.   Kredibilitas individu (al-‘Adalah), penentuan adil sebagai syarat pengangkatan hakim sangat menentukan benar atau tidaknya, sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum.
e.    Sempurna pancaindra, hal yag paling diutamakan adalah dapat mendengar dan tidak bisu.
f.    Berpengetahuan luas, orang yang dianggap mengetahui hukum Islam secara luas adalah yang mengusai ilmu tentang Kitab Allah, memahami sunnah Rasulullah, mampu berijtihad, dan memiliki pengetahuan tentang qiyas.
g.   Bukan budak (merdeka), sebab seorang budak atau hamba tidak mampu untuk memiliki kemampuan dirinya sendiri.[27]
Hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang telah diajukan kepadanya dan penyelesaiannya mampu memenuhi tuntutan keadilan, maka wajib baginya untuk:
-       Mengetahui karakter dakwaan atau gugatan,
-       Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.
Adapun cara untuk mengetahui hakekat dakwaan/gugatan ini yaitu dengan menampilkan bukti-bukti seperti pengakuan tertuduh/tergugat dan saksi.[28] Hujjah menurut ahli hukum ada tujuh macam yakni pengakuan, bayyinah (saksi), sumpah, penolakan sumpah, qasamah, pengetahuan hakim, dan qarinah (petunjuk/sangkaan).
a.    Pengakuan.  Yang dimaksud dengan pengakuan adalah adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan.[29] Orang yang bisa bicara tidak boleh isyarat kecuali keadaaan tertentu, misalnya pengakuan tentang sengketa nasab.
b.   Bayyinah. Menurut Ibnul Qayyim, bayyinah meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu. Menurut jumhur kata bayyinah sendiri disinonimkan dengan syahadah (kesaksian).[30]
c.    Sumpah. Diantara hak penggugat apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya sedang tergugat menolah isi gugatan, mengajukan tuntutan kepada Hakim agar menyumpahi tergugat.
d.   Penolakan sumpah. Oleh karena penolakan sumpah berarti pengakuan, maka ia merupakan alat bukti yang terbatas. Penggugat harus memperkuat lagi gugatannya dengan menampilkan alat bukti yang lain agar gugatannya dapat mengena kepada pihak lain (selain pihak yang menolak sumpah).
e.    Qasamah. Menurut bahasa, qasamah merupakan sumpah yang dihadapkan wali dari tertuduh pelaku pembunuhan, sedangkan menurut fuqaha, qasamah disama artikan dengan sumpah.
f.    Pengetahuan Hakim. Hakim memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya tentang keadaan tergugat, baik pengetahuannya sebelum atau sesudah pemeriksaan perkara.[31]
g.   Qarinah (sangka-sangkaan).[32]
C.    PENUTUP
1.      Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520 M), namun belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Setelah Turki Usmani berkuasa di Mesir menggantikan dinasti Mamluk, maka tata hukum yang berlaku di Mesir terpengaruh oleh tata hukum Turki Usmani. Hal ini berlangsung selama tiga abad, semenjak Sultan Salim berkuasa (1517-1798).
2.      Pada masa peradilan di Mesir kerajaan Turki Usmani menjadi tiga bagian yakni sebelum tanzimat,  masa tanzimat dan pasca tanzimat. Sebelum tanzimat, Kerajaan usmani yang dipimpin oleh seorang sultan, memiliki kekuasaan temporal atau lebih dikenal dengan duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan jabatan “sultan” dan sebagai kepala rohani umat Islam digunakan gelar “khalifah”. Masa tanzimat Pada masa ini pembaharuan ini dilakukan oleh Raja Usmani Sultan Mahmud II pada abad ke-19. Dalam hal ini dia menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang oleh seorang sultan, kekuasaan sebagai pemimpin duniawi dan sebagai pemimpin spiritual. Kekuasaan yudikatif yang dipegang oleh sadrazam dialihkan kepada syaikh al-Islam. Pasca Tanzimat, pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syariat Islam, tetapi diambil dari hukum barat atau Eropa.
3.      Menurut ketentuan hukum Islam, seseorang yang diangkat sebagai hakim mestilah orang yang benar-benar layak dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syara. Diantara syaratnya antara lain: Beragama Islam, Harus lelaki, Baliqh dan berakal, Kredibilitas individu (al-‘Adalah), Sempurna pancaindra, Berpengetahuan luas, Bukan budak (merdeka),

















Daftar Pustaka
Abdurahman bin Hayyin Abdul Azis al-Humaidi, al-qadha  wa Nizamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah. Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Iah, t.t. dalam Kutipan Nelli, Jumni. Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki Usmani. Pekanbaru: t.tp, 2006.
Ali, Atabik dan Ahmad  Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontenporer Arab Indonesia. Cet. VIII; Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1993.
Buchori, Didin Saefuddin Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5. Cet. XI; Jakarta: PT Inctiar Baru Van Hoeve, 2003.
Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Koto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam, Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Ma’afi, Rif’at Khusnul. “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki”,  Al-Qānūn, Vol. 13 No. 1 Juni ( 2010).
Madkur, Muhammad Salam,. al-Qadha fil Islam, terj. AM, Imron. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ikepadanya lmu, 1993.
Mahsamani, Subhi. Falsafah at-Tasyri’. Beirut: Maktabah al-Kasysyaf t.th.
Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam penyelesaian Peradilan. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2010.
Mukhlas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam. Bandung: Ghalia Indonesia, 2012.
Nasution, Harun. Pembaharuan dakam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nelli, Jumni . Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki Usmani. Pekanbaru: t.tp, 2006.
Pulungan, Sayuti. Fikih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Rajawali Pers, 1977.
Rahiem, Husni ed., Perkembangan Ilmu Fikih di Dunia Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 1986.
Sultan, Lomba dan Abd. Halim Talli. Peradilan Islam Dalam Lintasan Sejarah. t.d, 2005.


[1]Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 21.
[2]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 145.
[3]Rif’at Khusnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki”,  Al-Qānūn, Vol. 13 No. 1 Juni (2010), h. 210.
[4]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 165.
[5]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 167
[6]Sayuti Pulungan, Fikih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Rajawali Pers, 1977), h. 182-183.
[7]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 141-144.
[8]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bandung: Ghalia Indonesia, 2012),  h. 95.
[9]Rif’at Husnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki, Al-Qānūn, h. 214-216.
[10]Rif’at Husnul Ma’afi, “Penerapan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Mesir dan Turki, Al-Qānūn, h. 216.
[11]Subhi Mahsamani, Falsafah at-Tasyri’ (Beirut: Maktabah al-Kasysyaf), h. 87.
[12]Husni Rahiem ed., Perkembangan Ilmu Fikih di Dunia Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), h. 22.
[13]Harun Nasution, Pembaharuan dakam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 92
[14]Abdurahman bin Hayyin Abdul Azis al-Humaidi, al-qadha  wa Nizamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Iah, t.t), h. 298 dalam Kutipan Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki Usmani (Peknbaru: t.tp, 2006), h. 435.
[15]Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki Usmani (Pekanbaru: t.tp, 2006), h. 435.
[16]Atabik  Ali dan Ahmad  Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontenporer Arab Indonesia (Cet. VIII; Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) h. 1925.
[17]Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5 (Cet. XI; Jakarta: PT Inctiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 63
[18] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5, h. 114.
[19] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5, h.  114.
[20]Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 107.110.
[21]Harun Nasution, Pembaharuan dakam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 100.
[22] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi 5, h. 64.
[23]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 156
[24]Lomba Sultan dan Abd. Halim Talli, Peradilan Islam Dalam Lintasan Sejarah (t.d, 2005), h. 64.
[25]Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam h. 174.
[26]Abdul Manan, Etika Hakim Dalam penyelesaian Peradilan (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2010), h. 11.
[27]Abdul Manan, Etika Hakim Dalam penyelesaian Peradilan, h. 22-31.
[28]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fil Islam, terj. Imron AM, Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT. Bina Ikepadanya lmu, 1993), h. 93.
[29]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fil Islam, terj. Imron AM, Peradilan Dalam Islam,   h. 100.
[30]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fil Islam, terj. Imron AM, Peradilan Dalam Islam,   h. 104.
[31]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fil Islam, terj. Imron AM, Peradilan Dalam Islam,   h. 111-114.
[32]Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fil Islam, terj. Imron AM, Peradilan Dalam Islam,   h. 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar