MERETAS KEBEKUAN IJTIHAD
(Upaya Meretas Isu-Isu Kontenporer)
Oleh: Ahmad Mathar
A. Pendahuluan
Ilmu dalam
mempelajari Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dalam hukum Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad tetap
berada pada koridor yang semestinya. Masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan
lain-lain.
Menurut para ahli linguistik, bahasa akan mengalami
perubahan setiap 90 tahun. Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak
langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat.[1]
Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilakukan dari masa ke masa. Pada awal
Islam, ijtihad telah dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya,
muncul sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa
keemasan Islam. Pada masa inilah telah dihasilkan pemikiran dan karya yang
cukup berharga bagi umat Islam berikutnya. Ilmu fiqh dan ushul fiqh termasuk
yang dihasilkan pada masa itu setelah diselingi oleh masa beku kemudian bermunculan pula para pembaharun dan
mujtahid untuk menyelesaikan persoalan yang timbul pada masanya. Kalau masa
lampau para mujtahid didambakan keberadaannya oleh umat Islam, maka sekarang
keberadaannya sangat diharapkan.
Olehnya itu
dalam sejarah Islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi ajaran
Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits
kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali
maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak
bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian
besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan
masalah tersebut tentang baik buruknya. Hal tersebut menjadi sebuah
tantangan serius hukum Islam yang selama
ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional.
Memang harus diakui bahwa ada beberapa
masalah yang muncul sekarang ini, secara
kebetulan, mirip atau bahkan sama dengan masalah-masalah yang telah dibahas oleh para ahli fiqh terdahulu. Terhadap kasus semacam ini, mujtahid sekarang berkewajiban untuk mempelajari dan meninjau kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya kemudian menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekarang dengan memperhatikan kaidah ushuliyah: “mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”.[2]
Sedangkan mengenai masalah-masalah yang sama
sekali baru, mujtahid harus menyelesaikannya
dengan cara memahami
secara baik masalah yang dimaksud
kemudian
membahasnya secara seksama, dengan
tetap
merujuk pada jiwa hukum Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian fikih
kontenporer akan ijtihad tidak bersifat fasif melainkan pembaharuan dalam
pelaksanaan ijtihad yang tetap sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.
B.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar
dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata
“jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau
menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan
seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal.[3] Sementara ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli
fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat
amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Selain itu, sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi
ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya
baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan
menerapkannya.[4] Sementara dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan.
Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ لإِجْتِهَادُ:
اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حكْمٍ شرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ
مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Artinya:
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’
dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.”[5]
Dalam al-Quran, istilah ijtihad terdapat pada surah An-Nahl/16:38;
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷r&
Terjemahnya:
“mereka bersumpah dengan nama Allah dengan
sumpahnya yang sungguh-sungguh.”[6]
Selain itu terdapat pula pada surah An Nur/24:53, dan Al
Fathir/35:42. Istilah ijtihad disitu memiliki makna pengerahan segala kemampuan
dan ke kuatan.
Sedangkan menurut terminology, sebagaimana menurut Abu Zahrah,
secara istilah, arti ijtihad ialah Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya
dalam mewujudkan hukum hukum amaliah yang diambil dari dalil dalil yang rinci. Adapun
pengertian ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan
hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu.
Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan
pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan
ijtihad.[7]
Dalam
berijtihad mesti harus menggunakan dasar adapun dasar tersebut merupakan
al-Qur’an dan as-sunnah seperti yang tertuang dalam firman Allah swt. QS
an-Nisa/4:59;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”[8]
Sementara dalam as-sunnah
tertuang dalam riwayat hadits Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda:
إذا
حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan
hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan
tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan
satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ammar bin al-‘As).[9]
Ketika
masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya
secara pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist seperti kewajiban beriman pada rukun
iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lama, maka
masalah-masalah tersebut tidak boleh diijtihadkan lagi. Olehnya itu ijtihad
boleh dilakukan ketika sebuah masalah hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran
dan as-Sunnah. Karena ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah saw.
masih hidup dan terus berlanjut hingga beliau wafat.
C.
Isu-isu
Kontenporer dalam Hukum Islam
Perlu
dipahami bahwa apa yang dimaksud Islam kontenporer, Islam kontenporer merupakan
padanan dari Masa’il fiqhiyah, maka ada kecenderungan untuk mereduksi
pengertian hukum Islam kontemporer kepada wilayah kajian fikih atau isu-isu
yang berkembang pada kurun waktu terakhir ini. Fikih kontenporer atau lebih
dikenal dengan “Hukum Islam
Kontemporer” adalah perspektif hukum Islam terhadap
masalah-masalah kekinian dan kedisinian.
Ada
beberapa fakor yang melatarbelakangi munculnya isu hukum Islam kontemporer. Pertama,
arus moderenisasi yang meliputi hampir sebagian besar negara-negara yang
mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Adanya arus modernisasi tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat
Islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya.
Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat Islam dari
nilai agama. Ini terjadi karena aneka perubahan tersebut melahirkan
simbol-simbol sosial dan cultural yang secara eksplisit tidak dimiliki oleh
simbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modernisasi yang
tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan. Dengan kata lain, arus
modernisasi telah melahirkan sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai
bagian tak terpisahkan dari upaya pembaharuan pemikiran Islam.[10]
Kedua,
munculnya
keadaan baru dikalangan cendikiawan muslim kontemporer untuk menggugat
kemapanan sistem hukum Barat di banyak Negara Islam. Bagaimana mungkin kaum
muslim diatur dengan sistem asing? Pertanyaan serupa ini menyadarkan kalangan
muslim untuk berupaya mewujudkan fikih Islam yang relevan dengan perkembangan
zaman.[11]
Ketiga,
masih
terpakunya pemikiran fikih klasik (lawan kontemporer) dengan pemahaman yang
tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika pengkajian
tidak komprehensif dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan
perkembangan yang ada. [12]
Hukum fikih/Hukum Islam pernah menjadi tatanan
sosial yang efektif di masa silam sebelum invasi pemikiran Barat terhadap dunia
Islam. Keefektifan hukum fikih di kala itu terletak kepada kemampuan hukum
fikih itu sendiri memenuhi kebutuhan umat Islam menurut kondisi-lingkungan,
budaya dan perkembangan zaman, sehingga tidak jarang dijumpai imam mazhab
memberikan dua kesimpulan fatwa terhadap satu masalah sebagai akibat perbedaan
lingkungan dan budaya. Misalnya, Imam Syafi’I mempunyai qaul qadīm dan qaul
jadīd sebagai akibat dari perbedaan
lingkungan negeri Irak dan Mesir.[13]
Perlu dipahami bahwa beredarnya isu tentang
tertutupnya pintu ijtihad sejak abad ke-4 H. maka dengan isu inilah potensi dinamika hukum
Islam/fikih Islam menjadi terkubur. Akibatnya, fikih tidak lagi sebagai
pemikiran yang aktual, melainkan sebagai doktrin agama yang bersifat absolute
dan sakral. Di sini nilai otoritatif suatu pendapat diletakkan pada tokoh
mazhab tertentu, bukan kepada dalil serta argumen yang menjadi landasannya.
Sikap tidak memilah mana ajaran Islam sebagai doktrin dan peradaban yang bersifat
akomodatif dan adaptif dengan lingkungan dan kebudayaan dapat digolongkan
sebagai pemikiran yang salah kaprah.
Subhi Mahmassani
menerangkan bahwa:
Dapat dilihat bahwa sejumlah fuqahā’,
terutama pada masa merajalelanya taklid (kristalisasi pemikiran) yang walaupun
membedakan antara aturan-aturan hukum dan aturan-aturan agama, namun ternyata
mereka mengabaikan perbedaan-perbedaan itu dalam mengatasi kasus-kasus yang
terjadi. Mereka mencampuradukkan begitu saja antara agama dan pandangan hidup
sehari-hari dan menganggap Islam sebagai gabungan dari keduanya yang mempunyai
kekuatan yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa landasan Islam yang sebenamya
adalah agama (dīn), sedangkan dunia dan permasalahannya hanya
sarana yang berfungsi melengkapi. Sikap berlebihan mereka yang seperti ini
menganggap persoalan-persoalan duniawi yang timbul secara insidental
ditempatkan sejajar dengan doktrin agama yang bernilai absolut itu. Akibatnya,
kaum muslimin di masa-masa silam terikat pada pandangan yang dangkal, sehingga
segala suatu yang tidak dikenal pada zaman Nabi dianggap sebagai bid’ah yang
terlarang. Sebagai contoh, mereka mengemukakan hukum bahwa haram mempelajari
bahasa asing (selain bahasa Arab), makan dengan garpu, memakai topi dan hal
lain yang bersifat keduniaan.[14]
Dari penyataan diatas dapat dikatakan bahwa,
taklid merupakan simbol stagnasi ijtihad yang sempat melumpuhkan dinamika hukum
Islam sekaligus sebagai biang kesalahpahaman yang perlu diluruskan. Dapat
disadari bahwa dengan keadaan demikian untuk menuntaskan isu-isu terkaid
ijtihad dapat dipahami akibat adanya kesalahpahaman masa lalu yang berujung
pada kakunya ijtihad akibat penyakit taklid buta. Jadi perlu dipahami semakin
berkembangnya zaman seperti halnya sekarang perlu melahirkan ijtihad yang mencerminkan
kepada putusan terbaik dalam berkemampuan menalarkan sesuatu dalam tujuan
ijtihad namun tetap berlandaskan pada al-Quran dan al-Sunnah sebagai tuntunan
kita mujtahid modern. Sehingga Islam dengan pemikirannya yang (rasional) dapat
membangun kembali (rekontruksi) dengan tujuan tetap pada penyesuaian terhadap
modernisasi dunia Islam.
D.Kesimpulan
Perlu dipahami bahwa untuk meretas isu-isu
kebekuan Ijtihad mesti diberikan pemahaman kepada tatanan masyarakat Islam modern,
sebab dalam perkembangan Islam sebelumnya yang menjadi polimik terhadap ijtihad
yakni, ketika adanya pemahaman bahwa tertutupnya pintu Ijtihad sehingga dengan
demikian membuat malasnya para cendikia muslim modern untuk mengambil langkah
dalam berijtihad. Maka dengan isu inilah
potensi dinamika hukum Islam/fikih Islam menjadi terkubur. Akibatnya, fikih
tidak lagi sebagai pemikiran yang aktual, melainkan sebagai doktrin agama yang
bersifat absolute dan sakral. Di sini nilai otoritatif suatu pendapat
diletakkan pada tokoh mazhab tertentu, bukan kepada dalil serta argumen yang
menjadi landasannya. Sikap tidak memilah mana ajaran Islam sebagai doktrin dan
peradaban yang bersifat akomodatif dan adaptif dengan lingkungan dan kebudayaan
dapat digolongkan sebagai pemikiran yang salah kaprah Selain hal tersebut muncullah
pula penyakit taklid yang sembrono sehingga kebekuan terhadap ijtihad semakin
tampak menyodorkan kepada permasalahan tatana fikih Islam yang dimana dunia
Islam modern harus tampil lebih fleksibel terhadap hukum yang hadir dalam
tatanan masyarkat. dengan demikian Islam modern hadir dengan pemikiran yang
rasio tetap kotra pada al-Quran dan al-Sunnah agar lahirnya hukum terbaru dalam
tindakan ijtihad tetap pada ajuran yang telah di syariatkan.
Daftar Pustaka
Aji, Ahmad Mukri. Rasionalitas Ijtihad Ibn
Rusyd. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Al-Bukhari, Imam. Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi. Juz IV. Bandung
Syirkah al-Ma’arif, t.t
Donohue, John J. dan John L. Esposit. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun
Husain. Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Hasan,
M. Ali. Perbandingan Mazhab.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Cet. I;
Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Materan,
“Rekonstruksi Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.].
Mustafa,
Muhtadin Dg. “Rekonstruksi
Pemikiran Fikih (Suatu Gagasan Awal Mencairkan Kebekuan Fikih di Indonesia)”, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 8, No.2, Desember 2011, h. 310.
Nasution, Harun. “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam
M. Yunan Yusuf (ed.), Cita dan Citra Muhamadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Rifa’I,
Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT
Alma’arif, 1973.
Syadzali, Munawir. “Pidato Pembukaan Muktamar Tarjih Muhammadiyah
ke-22”, Malang, tanggal 12 Februari 1989, dalam
Sukirman, “Meretas Kebekuan Ijtihad Dalam Konstruksi Fiqh Sosial”, Mizani, Vol. 25, No.1, Februari 2015.
Zahrah,
Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2012.
[1]Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam
M. Yunan Yusuf (ed.), Cita dan Citra Muhamadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 19.
[2]Munawir Syadzali, “Pidato Pembukaan Muktamar Tarjih Muhammadiyah
ke-22”, Malang, tanggal 12 Februari 1989, dalam
Sukirman, “Meretas Kebekuan Ijtihad Dalam Konstruksi Fiqh Sosial”, Mizani, Vol. 25, No.1, Februari 2015.
[3]Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd (Bogor:
Pustaka Pena Ilahi, 2010), h.
21.
[5]Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif,
1973), h. 145.
[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil
al-Qur’an, 2012), h.
274.
[7]M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 33
[9]Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah
as-Sindi, Juz IV (Bandung Syirkah al-Ma’arif, t.t), h. 268.
[10]Materan, “Rekonstruksi
Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[11]Materan, “Rekonstruksi Mertodologi
Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[12]Materan, “Rekonstruksi
Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[13]Muhtadin Dg.
Mustafa, “Rekonstruksi
Pemikiran Fikih (Suatu Gagasan Awal Mencairkan Kebekuan Fikih di Indonesia)”, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 8, No.2, Desember 2011, h. 310.
[14]John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun
Husain (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 333-334.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar