Sabtu, 08 Juli 2017

MERETAS KEBEKUAN IJTIHAD (Upaya Meretas Isu-Isu Kontenporer)

MERETAS KEBEKUAN IJTIHAD 
(Upaya Meretas Isu-Isu Kontenporer)
Oleh: Ahmad Mathar
A.  Pendahuluan
Ilmu dalam mempelajari Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dalam hukum Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad  tetap berada pada koridor yang semestinya.  Masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain.
Menurut para ahli linguistik, bahasa akan mengalami perubahan setiap 90 tahun. Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat.[1] Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilakukan dari masa ke masa. Pada awal Islam, ijtihad telah dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya, muncul sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan Islam. Pada masa inilah telah dihasilkan pemikiran dan karya yang cukup berharga bagi umat Islam berikutnya. Ilmu fiqh dan ushul fiqh termasuk yang dihasilkan pada masa itu setelah diselingi oleh masa beku kemudian bermunculan pula para pembaharun dan mujtahid untuk menyelesaikan persoalan yang timbul pada masanya. Kalau masa lampau para mujtahid didambakan keberadaannya oleh umat Islam, maka sekarang keberadaannya sangat diharapkan.
Olehnya itu dalam sejarah Islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan  serius hukum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional.
Memang harus diakui bahwa ada beberapa masalah yang muncul sekarang ini, secara kebetulan, mirip atau bahkan sama dengan masalah-masalah yang telah dibahas oleh para ahli fiqh terdahulu. Terhadap kasus semacam ini, mujtahid sekarang berkewajiban untuk mempelajari dan meninjau kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya kemudian menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekarang dengan memperhatikan kaidah ushuliyah: “mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”.[2] Sedangkan mengenai masalah-masalah yang sama sekali baru, mujtahid harus menyelesaikannya dengan cara memahami secara baik masalah yang dimaksud kemudian membahasnya secara seksama, dengan tetap merujuk pada jiwa hukum Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian fikih kontenporer akan ijtihad tidak bersifat fasif melainkan pembaharuan dalam pelaksanaan ijtihad yang tetap sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.
B.   Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal.[3] Sementara ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Selain itu, sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.[4] Sementara dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:

اَ لإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حكْمٍ شرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Artinya:
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[5]
Dalam al-Quran, istilah ijtihad terdapat pada surah An-Nahl/16:38;
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷ƒr&
 Terjemahnya:
“mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh.”[6]
Selain itu terdapat pula pada surah An Nur/24:53, dan Al Fathir/35:42. Istilah ijtihad disitu memiliki makna pengerahan segala kemampuan dan ke kuatan.
Sedangkan menurut terminology, sebagaimana menurut Abu Zahrah, secara istilah, arti ijtihad ialah Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum hukum amaliah yang diambil dari dalil dalil yang rinci. Adapun pengertian ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[7]
Dalam berijtihad mesti harus menggunakan dasar adapun dasar tersebut merupakan al-Qur’an dan as-sunnah seperti yang tertuang dalam firman Allah swt. QS an-Nisa/4:59;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”[8]
Sementara dalam as-sunnah tertuang dalam riwayat hadits Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ammar bin al-‘As).[9]
Ketika masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist seperti kewajiban beriman pada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lama, maka masalah-masalah tersebut tidak boleh diijtihadkan lagi. Olehnya itu ijtihad boleh dilakukan ketika sebuah masalah hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Karena ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah saw. masih hidup dan terus berlanjut hingga beliau wafat.
C.   Isu-isu Kontenporer dalam Hukum Islam
Perlu dipahami bahwa apa yang dimaksud Islam kontenporer, Islam kontenporer merupakan padanan dari Masa’il fiqhiyah, maka ada kecenderungan untuk mereduksi pengertian hukum Islam kontemporer kepada wilayah kajian fikih atau isu-isu yang berkembang pada kurun waktu terakhir ini. Fikih kontenporer atau lebih dikenal dengan “Hukum Islam Kontemporer” adalah perspektif hukum Islam terhadap masalah-masalah kekinian dan kedisinian.
Ada beberapa fakor yang melatarbelakangi munculnya isu hukum Islam kontemporer. Pertama, arus moderenisasi yang meliputi hampir sebagian besar negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Adanya arus modernisasi tersebut mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat Islam dari nilai agama. Ini terjadi karena aneka perubahan tersebut melahirkan simbol-simbol sosial dan cultural yang secara eksplisit tidak dimiliki oleh simbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modernisasi yang tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan. Dengan kata lain, arus modernisasi telah melahirkan sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pembaharuan pemikiran Islam.[10]
Kedua, munculnya keadaan baru dikalangan cendikiawan muslim kontemporer untuk menggugat kemapanan sistem hukum Barat di banyak Negara Islam. Bagaimana mungkin kaum muslim diatur dengan sistem asing? Pertanyaan serupa ini menyadarkan kalangan muslim untuk berupaya mewujudkan fikih Islam yang relevan dengan perkembangan zaman.[11]
Ketiga, masih terpakunya pemikiran fikih klasik (lawan kontemporer) dengan pemahaman yang tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensif dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan yang ada. [12]
Hukum fikih/Hukum Islam pernah menjadi tatanan sosial yang efektif di masa silam sebelum invasi pemikiran Barat terhadap dunia Islam. Keefektifan hukum fikih di kala itu terletak kepada kemampuan hukum fikih itu sendiri memenuhi kebutuhan umat Islam menurut kondisi-lingkungan, budaya dan perkembangan zaman, sehingga tidak jarang dijumpai imam mazhab memberikan dua kesimpulan fatwa terhadap satu masalah sebagai akibat perbedaan lingkungan dan budaya. Misalnya, Imam Syafi’I mempunyai qaul qadīm dan qaul jadīd sebagai akibat dari perbedaan lingkungan negeri Irak dan Mesir.[13]
Perlu dipahami bahwa beredarnya isu tentang tertutupnya pintu ijtihad sejak abad ke-4 H. maka  dengan isu inilah potensi dinamika hukum Islam/fikih Islam menjadi terkubur. Akibatnya, fikih tidak lagi sebagai pemikiran yang aktual, melainkan sebagai doktrin agama yang bersifat absolute dan sakral. Di sini nilai otoritatif suatu pendapat diletakkan pada tokoh mazhab tertentu, bukan kepada dalil serta argumen yang menjadi landasannya. Sikap tidak memilah mana ajaran Islam sebagai doktrin dan peradaban yang bersifat akomodatif dan adaptif dengan lingkungan dan kebudayaan dapat digolongkan sebagai pemikiran yang salah kaprah.
Subhi Mahmassani menerangkan bahwa:
Dapat dilihat bahwa sejumlah fuqahā’, terutama pada masa merajalelanya taklid (kristalisasi pemikiran) yang walaupun membedakan antara aturan-aturan hukum dan aturan-aturan agama, namun ternyata mereka mengabaikan perbedaan-perbedaan itu dalam mengatasi kasus-kasus yang terjadi. Mereka mencampuradukkan begitu saja antara agama dan pandangan hidup sehari-hari dan menganggap Islam sebagai gabungan dari keduanya yang mempunyai kekuatan yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa landasan Islam yang sebenamya adalah agama (dīn), sedangkan dunia dan permasalahannya hanya sarana yang berfungsi melengkapi. Sikap berlebihan mereka yang seperti ini menganggap persoalan-persoalan duniawi yang timbul secara insidental ditempatkan sejajar dengan doktrin agama yang bernilai absolut itu. Akibatnya, kaum muslimin di masa-masa silam terikat pada pandangan yang dangkal, sehingga segala suatu yang tidak dikenal pada zaman Nabi dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Sebagai contoh, mereka mengemukakan hukum bahwa haram mempelajari bahasa asing (selain bahasa Arab), makan dengan garpu, memakai topi dan hal lain yang bersifat keduniaan.[14]
Dari penyataan diatas dapat dikatakan bahwa, taklid merupakan simbol stagnasi ijtihad yang sempat melumpuhkan dinamika hukum Islam sekaligus sebagai biang kesalahpahaman yang perlu diluruskan. Dapat disadari bahwa dengan keadaan demikian untuk menuntaskan isu-isu terkaid ijtihad dapat dipahami akibat adanya kesalahpahaman masa lalu yang berujung pada kakunya ijtihad akibat penyakit taklid buta. Jadi perlu dipahami semakin berkembangnya zaman seperti halnya sekarang perlu melahirkan ijtihad yang mencerminkan kepada putusan terbaik dalam berkemampuan menalarkan sesuatu dalam tujuan ijtihad namun tetap berlandaskan pada al-Quran dan al-Sunnah sebagai tuntunan kita mujtahid modern. Sehingga Islam dengan pemikirannya yang (rasional) dapat membangun kembali (rekontruksi) dengan tujuan tetap pada penyesuaian terhadap modernisasi dunia Islam.
D.Kesimpulan
Perlu dipahami bahwa untuk meretas isu-isu kebekuan Ijtihad mesti diberikan pemahaman kepada tatanan masyarakat Islam modern, sebab dalam perkembangan Islam sebelumnya yang menjadi polimik terhadap ijtihad yakni, ketika adanya pemahaman bahwa tertutupnya pintu Ijtihad sehingga dengan demikian membuat malasnya para cendikia muslim modern untuk mengambil langkah dalam berijtihad. Maka  dengan isu inilah potensi dinamika hukum Islam/fikih Islam menjadi terkubur. Akibatnya, fikih tidak lagi sebagai pemikiran yang aktual, melainkan sebagai doktrin agama yang bersifat absolute dan sakral. Di sini nilai otoritatif suatu pendapat diletakkan pada tokoh mazhab tertentu, bukan kepada dalil serta argumen yang menjadi landasannya. Sikap tidak memilah mana ajaran Islam sebagai doktrin dan peradaban yang bersifat akomodatif dan adaptif dengan lingkungan dan kebudayaan dapat digolongkan sebagai pemikiran yang salah kaprah Selain hal tersebut muncullah pula penyakit taklid yang sembrono sehingga kebekuan terhadap ijtihad semakin tampak menyodorkan kepada permasalahan tatana fikih Islam yang dimana dunia Islam modern harus tampil lebih fleksibel terhadap hukum yang hadir dalam tatanan masyarkat. dengan demikian Islam modern hadir dengan pemikiran yang rasio tetap kotra pada al-Quran dan al-Sunnah agar lahirnya hukum terbaru dalam tindakan ijtihad tetap pada ajuran yang telah di syariatkan.
Daftar Pustaka
Aji,  Ahmad Mukri. Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Al-Bukhari, Imam. Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi. Juz IV. Bandung Syirkah al-Ma’arif, t.t
Donohue, John J. dan John L. Esposit. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husain. Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Hasan, M. Ali.  Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Materan, “Rekonstruksi Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.].
Mustafa, Muhtadin Dg. “Rekonstruksi Pemikiran Fikih (Suatu Gagasan Awal Mencairkan Kebekuan Fikih di Indonesia)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No.2, Desember 2011, h. 310.
Nasution, Harun. “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf (ed.), Cita dan Citra Muhamadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Rifa’I, Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif, 1973.
Syadzali, Munawir. “Pidato Pembukaan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-22”, Malang, tanggal 12 Februari 1989, dalam Sukirman, “Meretas Kebekuan Ijtihad Dalam Konstruksi Fiqh Sosial”, Mizani, Vol. 25, No.1, Februari 2015.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012.



[1]Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf (ed.), Cita dan Citra Muhamadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985),  h. 19.
[2]Munawir Syadzali, “Pidato Pembukaan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-22”, Malang, tanggal 12 Februari 1989, dalam Sukirman, “Meretas Kebekuan Ijtihad Dalam Konstruksi Fiqh Sosial”, Mizani, Vol. 25, No.1, Februari 2015.
[3]Ahmad Mukri Aji,  Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010),         h. 21.
2Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), h. 567.
[5]Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif, 1973), h. 145.
[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012), h. 274.
[7]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 33
[8]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 87.
[9]Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Juz IV (Bandung Syirkah al-Ma’arif, t.t), h. 268.
[10]Materan, “Rekonstruksi Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[11]Materan, “Rekonstruksi Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[12]Materan, “Rekonstruksi Mertodologi Hukum Islam Kontenporer” [t.d.], h. 47.
[13]Muhtadin Dg. Mustafa, “Rekonstruksi Pemikiran Fikih (Suatu Gagasan Awal Mencairkan Kebekuan Fikih di Indonesia)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No.2, Desember 2011, h. 310.
[14]John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husain (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 333-334.