KONSEP HUKUM ISLAM DALAM
AL-QURAN
(Antara Keadilan dan
Kemanusiaan)
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Semester dua (II)
Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 2
Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen
Pemandu:
Dr. Kurniati, M.H.I
Dr. Hamzah Hasan, M.H.I.
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Keadilan
merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh setiap
orang yang hidup dalam suatu komunitas masyarakat dalam rangka menjamin
ketentraman hidupnya, baik yang terkait dengan keselamatan jiwa dan raganya,
maupun yang terkait dengan keselamatan harta bendanya.
Ketika al-Quran diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw.
sebagai pedoman hidup (al-huda) bagi manusia dalam mengarungi lalu
lintas kehidupan di dunia dan akhirat.
Alquran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah,
dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil ketiga
persoalan tersebut.[1] Diantara tiga prinsipil tersebut
berupa:
a. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh
manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian
adanya hari pembalasan;
b. petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan
norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual atau kolektif; dan
c. petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan dan sesamanya.[2]
Sebagai konsep moral keadilan dan kemanusian, tanggung jawabnya terdapat
pada nilai-nilai yang sifatnya adil. Karena dalam kecendrungan hukum, biasanya
terhadap aspek keadilan dan kemanusiaan terletak pada aturan yang baku menjadi
konsep atau pedoman payung hukum bagi manusia itu sendiri. Oleh karena
itu, dalam setiap kelompok masyarakat diperlukan adanya suatu penguasa yang
berfungsi sebagai pelaksana dan penegak hukum dan keadilan, demi tertibnya
pergaulan di antara mereka, keteraturan urusan-ursan dan terpeliharanya
kemaslahatan mereka. Nah dari hal inilah kita mesti melihat bagaimana al-Qur’an
secara tegas dan transparan memberlakukan hukum yang di syariatkan kepada
manusia guna tercapainya aspek keadilan dan kemanusiaan.
Dengan demikian al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang prinsipil
bagi manusia karena dalam al-Quran begitu banyak aturan yang menjadi sendi
dasar untuk manusia. Yang dimana al-Quran sendiri menyatakan dirinya sebagai
kitab hukum, maka hal yang perlu ditegaskan adalah bagaimana al-Quran
membicarakan dirinya sendiri mengenai hukum yang dalam analisis awal dapat
dikatakan sebagai aturan yang mengacu pada aspek keadilan dan kemanusiaan. Olehnya itu dalam makalah ini akan membahas
tentang Konsep Hukum Islam dalam al-Quran (antara keadilan dan kemanusiaan).
2.
Rumusan Masalah
Dari
persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Apa pengertian hukum Islam dalam al-Quran?
b. Bagaimana hukum Islam memberikan konsep keadilan?
c. Bagaimana hukum Islam memberikan konsep kemanusiaan?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hukum Islam dalam
al-Quran
Al-Quran
adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada nabi
Muhammad saw. dan tertulis di dalam mushaf
berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan yang
dibaca umat Islam dalam rangka ibadah.[3]
Al-Quran
adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau al-huda).
Sebagai al-huda, al-Quran merupakan traffic light dalam
menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Quran dapat dipandang sebagai kitab hukum.[4]
Hukum Islam dalam al-Quran merupakan sumber hukum yang berasal dari
wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut tidak dapat diganggu gugat
konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Hukum Islam ini mengatur segala
bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. An-Nisa/4:58.
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat.[5]
Hukum Islam jika ditinjau dari produk pemikiran hukum meliputi:
a. Produk pemikiran fikih;
b. Produk pemikiran fatwa ulama;
c. Produk pemikiran yurisprudensi;
d. Produk pemikiran undang-undang;
e. Dan pemikiran teori sosiologi hukum.[6]
Dalam kamus hukum dijelaskan, bahwa hukum Islam atau hukum syara’ ialah peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Quran.[7]
Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukum Islam
adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan
al-Quran dan hadis.[8]
Sementara menurut ulama ushul, hukum Islam/hukum syara’ menurut istilah adalah doktrin (khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang mukallaf
secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[9] Namun menurut T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, hukum Islam adalah bagian
hukum dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu kumpulan ilmu yang
sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis ragam jenis hukum
Islam dan mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan
masyarakat secara umum.[10]
Namun perlu kita pahami, dikalangan masyarakat yang plural keberdaan
hukum Islam terdapat dua pandangan
yang berbeda yaitu, yang pertama mengatakan bahwa huku Islam itu memiliki nilai-nilai yang universal dan dinamis, sehingga
dapat berlaku di manapun dan kapanpun dan yang kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu bersifat statis, tidak
modern dan hanya cocok untuk masyarakat
tertentu dan waktu tertentu pula.
Karakteristik hukum dalam al-Quran yang
dipublikasikan selama ini sebagai hukum yang sangat memperhatikan dimensi
kemanusiaan tidak berlaku secara otomatis. Dalam tataran ini harus ada
upaya-upaya konkrit untuk menggali nilai-nilai filosopis yang terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu, untuk menjadikan al-Quran sebagai
solusi terhadap problema-problema yang berkaitan dengan kehidupan manusia tentu
tidak cukup hanya dengan menangkap makna tekstualnya akan tetapi harus diikuti
pula dengan makna kontekstualnya. Upaya ke arah ini sudah dilakukan oleh
ulama-ulama pada masa kini.[11]
2.
Konsep Hukum Islam terhadap
Keadilan
Konsep hukum dalam al-Quran yang merupakan formulasi antara penegak
keadilan tanpa melupakan nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungannya
dengan gagasan umum tentang pembangunan dimuka bumi dan
mencegah kezaliman sebagaimana diperintahkan secara tegas dalam al-Quran.
Prinsip seperti ini perlu ditegaskan lebih jauh dalam melaksanakan dan
memelihara hukum dengan prinsip keadilan, itulah sebabnya gagasan
menyangkut keadilan selalu berkaitan pada kemanusiaan yang demikian kuat
dalam al-Qur’an.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan didefinisikan sebagai
sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
berpegang pada kebenaran.[12]
Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan dijumpai dalam
al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi bermakna pertengahan. Pengertian
adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini
adalah serapan dari kata Arab ‘adl.[13]
Secara etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al’adl berarti
perkara yang tengah-tengah.[14]
Dengan demikian, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan
yang satu dengan yang lain (al-musâwah). Istilah lain dari al-‘adl adalah
al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis,
adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi
nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah
dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang
kepada kebenaran.[15]
Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada
tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang
tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.[16] Al-Quran
memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya dalam QS.
An-Nahl/16:90.
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.[17]
Kata ihsan di atas berupa (kebajikan) yang
dimana dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan
bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan. Dalam ayat di atas telah jelas
berlaku adil itu telah dianjurkan secara langsung oleh Allah swt. Keadilan
dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam
masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan berarti menciptakan
struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.[18]
Keadilan hukum dalam Islam tidak membedakan hukuman di antara orang
kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum pernah
ada sebelumnya, dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum manapun
sekarang ini, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya
orang besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah
hukuman itu menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak
pidana tersebut. Bahkan kepala negarapun akan terkena hukuman jika
dinyatakan bersalah.
Dalam prinsip keadilan hukum ini Nabi Muhammad saw.
menegaskan adanya persamaan mutlak (al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-hukum syariat.
Maksudnya dalam keadilan tidak membedakan status sosial seseorang, apakah ia
kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan tidak pula karena
perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama, karena di hadapan hukum
semuanya diberlakukan sama. Maka dalam
hukum Islam konsep keadilan membawa suatu prinsip yang jauh lebih transparan
dalam pelaksanaannya. Senada dengan itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam
tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan
dan kedudukan.[19]
Menurut Juhaya
S. Praja, dalam Islam perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang tanpa
pandang bulu. Perkataan yang benar harus disampaikan apa adanya walaupun
perkataan itu akan merugikan kerabat masyarakat muslim itu sendiri, Keharusan berlaku adil pun harus
ditegakkan dalam keluarga dan bahkan kepada orang kafir
pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus
ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata,
wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang
sama.[20]
Olehnya itu
tujuan adil disini secara transparan dalam tindakan keseharian berupa untuk
melaksanakan atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika hal ini menjadi sendi kehidupan
bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya,
mengapa Nabi saw. menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah
diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.[21]
3.
Konsep Hukum Islam terhadap
Kemanusiaan
Islam sebagai agama bagi pengikutnya
meyakini konsep Islam adalah sebagai way
of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya
merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu
juga dalam pengaturan mengenai hak manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin
yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam
ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin (Kaum yang lemah) yang harus
dibela.
Konsep Islam bagi kehidupan manusia, merupakan tindakan sosial sebagai
makhluk yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melakukan
interaksi dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka secara otomatis manusia
ingin berkembang dan dapat melakukan interaksi dengan baik. Untuk melanggengkan
interaksi ini maka al-Quran membuat seperangkat hukum dan aturan agar manusia
tidak saling menzalimi guna mewujudkan kemaslahatan yang dengannya manusia
dapat hidup dengan tenang.[22]
Ketika al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa kehadirannya adalah
petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, semua aturan-aturan yang terdapat di
dalamnya sudah pasti mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai
kemanusiaan ini dipertegas lagi bahwa prinsip hukum al-Quran adalah untuk
memberikan kemudahan kepada manusia bukan untuk mempersulit sebagaimana firman
Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah/2:185.
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
Terjemahnya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.[23]
Sebagai sumber pertama dan utama dalam penetapan hukum Islam maka
al-Quran diyakini memiliki prinsip dan asas supaya hukum dimaksud bersifat
harmonis dan dinamis. Hal ini sudah pasti agar hukum-hukum al-Quran dapat
dijadikan sebagai kerangka acu di setiap masa dan tempat. Selain itu, ayat-ayat
hukum di dalam al-Quran terbatas sementara perbuatan manusia yang memerlukan
status hukum terus saja berkembang dan untuk menyahuti hal diperlukan
penafsiran terhadap ayat-ayat dimaksud.[24]
Tujuan hukum sebagaimana yang tergambar dalam al-Quran, menurut interpretasi
Sachedina, menunjukkan bahwa pesan-pesan hukum yang terkandung di dalamnya
bertujuan untuk memberikan ketenteraman dan kegairahan masyarakat di atas bumi
ini berdasarkan prinsip etika dan keadilan. Berdasarkan prinsip inilah maka
al-Quran memberikan jaminan bahwa masyarakat akan tenteram bilamana
petunjuk-petunjuknya direalisasikan sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh
Nabi.[25]
Dengan
melihat kuatnya interaksi antara prinsip dan asas hukum terhadap hubungan
sosial maka dalam mendiskripsikan dan menganalisis tentang prinsip dan asas
hukum dalam al-Quran harus sesuai dengan konteks sosial. Adapun sasaran yang
ingin dicapai adalah untuk menunjukkan bahwa hukum di dalam al-Quran sangat
dinamis dan fleksibel. Selain itu, sasaran lain yang ingin dicapai adalah bahwa
penafsiran dan pengaplikasian terhadap hukum al-Quran tidak akan pernah seragam
karena hukum al-Quran tetap sejalan dengan perkembangan dan perubahan sosial
itu sendiri.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Hukum Islam dalam al-Quran merupakan sumber hukum yang berasal dari
wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut tidak dapat diganggu gugat
konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Hukum Islam ini mengatur
segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia;
b. Konsep hukum Islam terhadap keadilan dalam al-Quran merupakan formulasi
antara penegak keadilan tanpa melupakan nilai-nilai
kemanusiaan Sehingga keadilan yang didefinisikan sebagai sama berat,
tidak berat sebelah, tidak memihak, namun berpihak kepada yang benar,
berpegang pada kebenaran. Yang dimana konsep keadilan meletakkan sesuatu pada
tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang
tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya;
c.
Konsep Islam bagi kehidupan manusia, merupakan
tindakan sosial sebagai makhluk yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa melakukan interaksi dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka secara
otomatis manusia ingin berkembang dan dapat melakukan interaksi dengan baik.
Untuk melanggengkan interaksi ini maka al-Quran membuat seperangkat hukum dan
aturan agar manusia tidak saling menzalimi guna mewujudkan kemaslahatan yang
dengannya manusia dapat hidup dengan tenang.
Daftar Pustaka
al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
al-Salih,
Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Edisi Kedua. Cet. I; Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997.
Basyir, Ahmad Azhar. Negara dan Pemerintahan dalam Islam.
Yogyakarta: UII Pres, 2000.
Dahlan, Abdual Aziz. et. all.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 2.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Cet.
I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Samad, 2014.
Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh.
Tolchah Mansoer. Kaidah-Kaidah Hukum
Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan
Universitas LPPM UNISBA 1995.
QS.
Al-Nisa/4:105, dan
QS. Al-Maidah/5: 49.
Qutb, Sayyid. “Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam John J. Donohue dan
John L. Esposito. Islam dan
Pembaharuan. terj. Machnun Husein. Jakarta, CV Rajawali, 1984.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.
Sachedina, Abdulaziz Abdulhussein. The Just Ruler
(al-sultān
al-‘ādil) in Shī‘ite Islam. New York: Oxford University Press, 1988.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003.
----------. Wawasan Al-Qur'an. Bandung,: Mizan,
2003.
Sudarsono. Kamus
Hukum. Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999.
Supardin. Materi
Hukum Islam. Makasar: Alauddin university Press, 2011.
Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta:
PT Gramedia,1988.
Zein, Achyar. Dimensi Kemanusiaan
dalam Hukum al-Quran. Analytica Islamica. Vol. 4, No. 2 (2015).https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwig2PzH59_SAhXMLI8KHYkvCk0QFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal.uinsu.ac.id%2Findex.php%2Fanalytica%2Farticle%2Fdownload%2F465%2F366&usg=AFQjCNHFwDjD5Ru5vK_AFNVxFAaSEib4uQ&sig2=cdtjm718kcIsfOLwVnipqg (Diakses 19 Maret 2017).
[1]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003), h. 33.
[2]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 40.
[3]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum
al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15
[6]Supardin,
Materi Hukum Islam (Makasar: Alauddin
university Press, 2011), h. 22.
[7]Sudarsono,
Kamus Hukum (Cet. II; Jakarta: PT.
Reneka Cipta, 1999), h. 169.
[8]Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta PT
Gramedi Pustaka, 2008), h. 169.
[9]Abdul
Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj.
Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 1993), h. 153.
[10]T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, Edisi Kedua (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 9.
[11]Achyar
Zein, Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum
al-Quran, Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2 (2015), h. 202. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwig2PzH59_SAhXMLI8KHYkvCk0QFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal.uinsu.ac.id%2Findex.php%2Fanalytica%2Farticle%2Fdownload%2F465%2F366&usg=AFQjCNHFwDjD5Ru5vK_AFNVxFAaSEib4uQ&sig2=cdtjm718kcIsfOLwVnipqg (Diakses
19 Maret 2017).
[13]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep- Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 369.
[14]Ahmad
Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997), h. 906.
[15]Abdual Aziz Dahlan, et. all,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 25.
[16]Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam
(Yogyakarta: UII Pres, 2000), h. 30.
[18]Franz
Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: PT Gramedia,1988), h. 45.
[19]Sayyid Qutb, “Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam John J. Donohue dan
John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, terj. Machnun Husein (Jakarta,
CV Rajawali, 1984), h. 224.
[20]Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan
Universitas LPPM UNISBA 1995), h. 73.
[21]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an (Bandung,: Mizan, 2003), h. 124.
[25]Abdulaziz
Abdulhussein Sachedina, The Just Ruler (al-sultān al-‘ādil)
in Shī‘ite Islam (New York: Oxford University Press, 1988), h. 120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar