Selasa, 11 April 2017

KONSEP HUKUM ISLAM DALAM AL-QURAN (Antara Keadilan dan Kemanusiaan)



KONSEP HUKUM ISLAM DALAM AL-QURAN
(Antara Keadilan dan Kemanusiaan)

Makalah

Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Semester dua (II) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 2

Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen Pemandu:
Dr. Kurniati, M.H.I
Dr. Hamzah Hasan, M.H.I.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017



A. PENDAHULUAN                            
1.   Latar Belakang
Keadilan merupakan  suatu hal yang sangat didambakan oleh setiap orang yang hidup dalam suatu komunitas masyarakat dalam rangka menjamin ketentraman hidupnya, baik yang terkait dengan keselamatan jiwa dan raganya, maupun yang terkait dengan keselamatan harta bendanya.
Ketika al-Quran diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. sebagai pedoman hidup (al-huda) bagi manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan di dunia dan akhirat. Alquran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil ketiga  persoalan tersebut.[1] Diantara tiga prinsipil tersebut berupa:
a.    Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan;
b.   petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif; dan
c.    petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.[2]
Sebagai konsep moral keadilan dan kemanusian, tanggung jawabnya terdapat pada nilai-nilai yang sifatnya adil. Karena dalam kecendrungan hukum, biasanya terhadap aspek keadilan dan kemanusiaan terletak pada aturan yang baku menjadi konsep atau pedoman payung hukum bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap kelompok masyarakat diperlukan adanya suatu penguasa yang berfungsi sebagai pelaksana dan penegak hukum dan keadilan, demi tertibnya pergaulan di antara mereka, keteraturan urusan-ursan dan terpeliharanya kemaslahatan mereka. Nah dari hal inilah kita mesti melihat bagaimana al-Qur’an secara tegas dan transparan memberlakukan hukum yang di syariatkan kepada manusia guna tercapainya aspek keadilan dan kemanusiaan.
Dengan demikian al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang prinsipil bagi manusia karena dalam al-Quran begitu banyak aturan yang menjadi sendi dasar untuk manusia. Yang dimana al-Quran sendiri menyatakan dirinya sebagai kitab hukum, maka hal yang perlu ditegaskan adalah bagaimana al-Quran membicarakan dirinya sendiri mengenai hukum yang dalam analisis awal dapat dikatakan sebagai aturan yang mengacu pada aspek keadilan dan kemanusiaan.  Olehnya itu dalam makalah ini akan membahas tentang Konsep Hukum Islam dalam al-Quran (antara keadilan dan kemanusiaan).
2.   Rumusan Masalah
Dari persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.    Apa pengertian hukum Islam dalam al-Quran?
b.   Bagaimana hukum Islam memberikan konsep keadilan?
c.    Bagaimana hukum Islam memberikan konsep kemanusiaan?
B.     PEMBAHASAN
1.   Pengertian Hukum Islam dalam al-Quran
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan yang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah.[3] Al-Quran adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau  al-huda). Sebagai al-huda,  al-Quran merupakan traffic light  dalam menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Quran dapat dipandang sebagai kitab hukum.[4]
Hukum Islam dalam al-Quran merupakan sumber hukum yang berasal dari wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut tidak dapat diganggu gugat konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Hukum Islam ini mengatur segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa/4:58.
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.[5]

Hukum Islam jika ditinjau dari produk pemikiran hukum meliputi:
a.    Produk pemikiran fikih;
b.   Produk pemikiran fatwa ulama;
c.    Produk pemikiran yurisprudensi;
d.   Produk pemikiran undang-undang;
e.    Dan pemikiran teori sosiologi hukum.[6]
Dalam kamus hukum dijelaskan, bahwa hukum Islam atau hukum syara’ ialah peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Quran.[7] Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Quran dan hadis.[8] Sementara menurut ulama ushul, hukum Islam/hukum syara’ menurut istilah adalah doktrin (khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[9] Namun menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum Islam adalah  bagian hukum dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis ragam jenis hukum Islam dan mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan masyarakat secara umum.[10]
Namun perlu kita pahami, dikalangan masyarakat yang plural keberdaan hukum Islam terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu, yang pertama mengatakan bahwa huku Islam itu memiliki nilai-nilai yang universal dan dinamis, sehingga dapat berlaku di manapun dan kapanpun dan yang kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu bersifat statis, tidak modern dan hanya cocok untuk masyarakat tertentu dan waktu tertentu pula.
Karakteristik hukum dalam al-Quran yang dipublikasikan selama ini sebagai hukum yang sangat memperhatikan dimensi kemanusiaan tidak berlaku secara otomatis. Dalam tataran ini harus ada upaya-upaya konkrit untuk menggali nilai-nilai filosopis yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menjadikan al-Quran sebagai solusi terhadap problema-problema yang berkaitan dengan kehidupan manusia tentu tidak cukup hanya dengan menangkap makna tekstualnya akan tetapi harus diikuti pula dengan makna kontekstualnya. Upaya ke arah ini sudah dilakukan oleh ulama-ulama pada masa kini.[11]
2.   Konsep Hukum Islam terhadap Keadilan
Konsep hukum dalam al-Quran yang merupakan formulasi antara penegak keadilan tanpa melupakan nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungannya dengan gagasan umum tentang pembangunan dimuka bumi dan mencegah kezaliman sebagaimana diperintahkan secara tegas dalam al-Quran. Prinsip seperti ini perlu ditegaskan lebih jauh dalam melaksanakan dan memelihara hukum dengan prinsip keadilan, itulah sebabnya gagasan menyangkut keadilan selalu berkaitan pada kemanusiaan yang demikian kuat dalam al-Qur’an.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan didefinisikan sebagai sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran.[12] Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan dijumpai dalam al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi bermakna pertengahan. Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini adalah serapan dari kata Arab ‘adl.[13]
Secara etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al’adl berarti perkara yang tengah-tengah.[14] Dengan demikian, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musâwah). Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.[15]
Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.[16] Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya dalam QS. An-Nahl/16:90.
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[17]
Kata ihsan di atas berupa (kebajikan) yang dimana dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan. Dalam ayat di atas telah jelas berlaku adil itu telah dianjurkan secara langsung oleh Allah swt. Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.[18]
Keadilan hukum dalam Islam tidak membedakan hukuman di antara orang kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum pernah ada sebelumnya, dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum manapun sekarang ini, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya orang besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah hukuman itu menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak pidana tersebut. Bahkan kepala negarapun akan terkena hukuman jika dinyatakan bersalah.
Dalam prinsip keadilan hukum ini Nabi Muhammad saw. menegaskan adanya persamaan mutlak (al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-hukum syariat. Maksudnya dalam keadilan tidak membedakan status sosial seseorang, apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan tidak pula karena perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama, karena di hadapan hukum semuanya diberlakukan sama. Maka  dalam hukum Islam konsep keadilan membawa suatu prinsip yang jauh lebih transparan dalam pelaksanaannya. Senada dengan itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan dan kedudukan.[19]
Menurut Juhaya S. Praja, dalam Islam perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar harus disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat masyarakat muslim itu sendiri, Keharusan berlaku adil pun harus ditegakkan dalam keluarga dan bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama.[20]
Olehnya itu tujuan adil disini secara transparan dalam tindakan keseharian berupa untuk melaksanakan atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.  Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi saw. menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.[21]
3.   Konsep Hukum Islam terhadap Kemanusiaan
Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak manusia. Islam adalah agama  rahmatan lil alamin  yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin (Kaum yang lemah) yang harus dibela.
Konsep Islam bagi kehidupan manusia, merupakan tindakan sosial sebagai makhluk yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melakukan interaksi dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka secara otomatis manusia ingin berkembang dan dapat melakukan interaksi dengan baik. Untuk melanggengkan interaksi ini maka al-Quran membuat seperangkat hukum dan aturan agar manusia tidak saling menzalimi guna mewujudkan kemaslahatan yang dengannya manusia dapat hidup dengan tenang.[22]
Ketika al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa kehadirannya adalah petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, semua aturan-aturan yang terdapat di dalamnya sudah pasti mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan ini dipertegas lagi bahwa prinsip hukum al-Quran adalah untuk memberikan kemudahan kepada manusia bukan untuk mempersulit sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah/2:185.
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ  
Terjemahnya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[23]
Sebagai sumber pertama dan utama dalam penetapan hukum Islam maka al-Quran diyakini memiliki prinsip dan asas supaya hukum dimaksud bersifat harmonis dan dinamis. Hal ini sudah pasti agar hukum-hukum al-Quran dapat dijadikan sebagai kerangka acu di setiap masa dan tempat. Selain itu, ayat-ayat hukum di dalam al-Quran terbatas sementara perbuatan manusia yang memerlukan status hukum terus saja berkembang dan untuk menyahuti hal diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat dimaksud.[24] Tujuan hukum sebagaimana yang tergambar dalam al-Quran, menurut interpretasi Sachedina, menunjukkan bahwa pesan-pesan hukum yang terkandung di dalamnya bertujuan untuk memberikan ketenteraman dan kegairahan masyarakat di atas bumi ini berdasarkan prinsip etika dan keadilan. Berdasarkan prinsip inilah maka al-Quran memberikan jaminan bahwa masyarakat akan tenteram bilamana petunjuk-petunjuknya direalisasikan sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi.[25]
Dengan melihat kuatnya interaksi antara prinsip dan asas hukum terhadap hubungan sosial maka dalam mendiskripsikan dan menganalisis tentang prinsip dan asas hukum dalam al-Quran harus sesuai dengan konteks sosial. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah untuk menunjukkan bahwa hukum di dalam al-Quran sangat dinamis dan fleksibel. Selain itu, sasaran lain yang ingin dicapai adalah bahwa penafsiran dan pengaplikasian terhadap hukum al-Quran tidak akan pernah seragam karena hukum al-Quran tetap sejalan dengan perkembangan dan perubahan sosial itu sendiri.
C.  PENUTUP
      1. Kesimpulan
a.    Hukum Islam dalam al-Quran merupakan sumber hukum yang berasal dari wahyu Allah swt. yang dimana hukum tersebut tidak dapat diganggu gugat konsepnya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Hukum Islam ini mengatur segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia;
b.   Konsep hukum Islam terhadap keadilan dalam al-Quran merupakan formulasi antara penegak keadilan tanpa melupakan nilai-nilai kemanusiaan Sehingga keadilan yang didefinisikan sebagai sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, namun berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Yang dimana konsep keadilan meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya;
c.    Konsep Islam bagi kehidupan manusia, merupakan tindakan sosial sebagai makhluk yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melakukan interaksi dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka secara otomatis manusia ingin berkembang dan dapat melakukan interaksi dengan baik. Untuk melanggengkan interaksi ini maka al-Quran membuat seperangkat hukum dan aturan agar manusia tidak saling menzalimi guna mewujudkan kemaslahatan yang dengannya manusia dapat hidup dengan tenang.
Daftar Pustaka
al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Edisi Kedua. Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Basyir, Ahmad Azhar. Negara dan Pemerintahan dalam Islam. Yogyakarta: UII Pres, 2000.
Dahlan, Abdual Aziz. et. all. Ensiklopedi Hukum Islam.  Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Samad, 2014.
Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA 1995.
QS. Al-Nisa/4:105, dan QS. Al-Maidah/5: 49.
Qutb, Sayyid. “Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito.  Islam dan Pembaharuan. terj. Machnun Husein. Jakarta, CV Rajawali, 1984.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.
Sachedina, Abdulaziz Abdulhussein. The Just Ruler (al-sultān al-‘ādil) in Shī‘ite Islam. New York: Oxford University Press, 1988.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003.
----------. Wawasan Al-Qur'an. Bandung,: Mizan, 2003.
Sudarsono. Kamus Hukum. Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999.
Supardin. Materi Hukum Islam. Makasar: Alauddin university Press, 2011.
Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia,1988.



[1]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003), h. 33.
[2]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 40.
[3]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15
[4] QS. Al-Nisa/4:105, h. 95, dan QS. Al-Maidah/5: 49, h. 116.
[5]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Samad, 2014), h. 87.
[6]Supardin, Materi Hukum Islam (Makasar: Alauddin university Press, 2011), h. 22.
[7]Sudarsono, Kamus Hukum (Cet. II; Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1999), h. 169.
[8]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta PT Gramedi Pustaka, 2008), h. 169.
[9]Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1993), h. 153.
[10]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Edisi Kedua (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 9.
[12]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV, h. 8.
[13]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 369.
[14]Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia  (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 906.
[15]Abdual Aziz Dahlan, et. all, Ensiklopedi Hukum Islam,  Jilid 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 25.
[16]Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam (Yogyakarta: UII Pres, 2000), h. 30.
[17]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 277.
[18]Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: PT Gramedia,1988), h. 45.
[19]Sayyid Qutb, “Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, terj. Machnun Husein (Jakarta, CV Rajawali, 1984), h. 224.
[20]Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA 1995), h. 73.
[21]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an (Bandung,: Mizan, 2003), h. 124.
[22]Achyar Zein, Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum al-Quran, h. 204.
[23]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 28.
[24]Achyar Zein, Dimensi Kemanusiaan dalam Hukum al-Quran, h. 204.
[25]Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, The Just Ruler (al-sultān al-‘ādil) in Shī‘ite Islam (New York: Oxford University Press, 1988), h. 120.