Rabu, 15 Maret 2017

AL-IJTIHAD



AL-IJTIHAD

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Semester dua (II) Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 2

Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A.
Dr. Misbahuddin, M.H.I.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017






A.    PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Ilmu dalam mempelajari Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dalam hukum Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad  tetap berada pada koridor yang semestinya.
Olehnya itu dalam dalam sejarah Islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan  serius hukum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional.
Dunia Islam pada saat ini berkembang secara pesat tidak akan mungkin mundur secara perlahan melainkan akan maju sehingga produk hukum Islam hadir dalam membanahi aturan yang menjadi sendi dasar agama Islam itu sendiri. Olehnya itu,  Dalam konteks ini. Sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi hukum Islam agar formulasi hukum Islam relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian.
Berangkat dari hal tersebut diatas, perlu kiranya kita meneliti atau mempelajari kembali tentang ijtihad. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijtihad, macam-macam ijtihad, dan syaratnya ijtihad.
2.   Rumusan Masalah
Dari persoalan di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.    Apa pengertian Ijtihad?
b.   Berapa macam bentuk Ijtihad?
c.    Apa saja syarat Ijtihad?


B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal.[1]  Sementara ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Selain itu, sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.[2] Sementara dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:

اَ لإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حكْمٍ شرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Artinya:
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[3]
Dalam al-quran, istilah ijtihad terdapat pada surah An-Nahl/16:38.
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷ƒr&  
  
 Terjemahnya:
“mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh.”[4]
Selain itu terdapat pula pada surah An Nur/24:53, dan Al Fathir/35:42. Istilah ijtihad disitu memiliki makna pengerahan segala kemampuan dan ke kuatan.
Sedangkan menurut terminology, sebagaimana menurut Abu Zahrah, secara istilah, arti ijtihad ialah Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum hukum amaliah yang diambil dari dalil dalil yang rinci. Adapun pengertian ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[5]
Dalam berijtihad mesti harus menggunakan dasar adapun dasar tersebut merupakan al-Qur’an dan as-sunnah seperti yang tertuang dalam firman Allah swt. QS. An-Nisa/4:59.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”[6]

Sementara dalam as-sunnah tertuang dalam riwayat hadits Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim,dari Ammar bin al-‘As).[7]
Ketika masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist seperti kewajiban beriman pada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lama, maka masalah-masalah tersebut tidak boleh diijtihadkan lagi. Olehnya itu ijtihad boleh dilakukan ketika sebuah masalah hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Karena ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah saw masih hidup dan terus berlanjut hingga beliau wafat.
2.      Macam-macam bentuk Ijtihad
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
a.       Ijtihad Al-Bayani,
Yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukannya.[8] Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut. Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasrkan firman Alalh surat al-Baqarah/2:228.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4

Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' 
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah  tiga kali quru’ namun tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan memahami petunjuk karinah yang ada disebut disebut ijtihad bayani .
b.   Ijtihad Al-Qiyasi,
Yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.  Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidak  tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi . 
Contoh hukum memukul kedua orang tua yang dikiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.” ‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
c.    Ijtihad Isthislahi,
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hokum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan  kaidah-kaidah  umum (kulliyah), yaitu mengenai  masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[9]
            Sementara dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh karangan T.M.H Ash-Shiddiqiey, macam-macam ijtihad adalah:
a.    Dengan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tsubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad dan jalannya sampai kepada kita.
b.   Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada nash qath’i, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad birra’yi.
c.    Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam  bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliah, taka adanya suatu nash tertentu, tak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.[10]
Sementara itu, Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum dalam hukum Islam terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
a.    Ijma'
Ijma’ secara etimologi yang berarti kesepakatan atau konsensus.[11] Kesepakatan hukum tersebut diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran. 
b.   Qiyas
Secara bahasa arab berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.[12] Jadi qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau  berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al-isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.
c.    Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum  berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.  Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d.   Saddu adzari’ah 
Saddu adzari’ah  adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
e.    Istishab
Istishab secara etimologi ‘minta bersahabat’ atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”.[13] Istishab juga merupakan  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f.    ‘Uruf
Secara etimologi Uruf berarti yang baik.[14] Dalam hal kebaikan ‘uruf adalah suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli.  sipembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g.    Istihsan
Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.[15] Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan,bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3.   Syarat Ijtihad
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan ijtihad, diantaranya yang banyak disebutkan oleh ulama usul, yang terpenting ialah:
a.    Mempunyai pengatahuan yang luas tentang al-qur’an yang berkaitan dangan ayat-ayat hukum;
b.   Mempunyai pengathuan yang luas tentaang hadits yang berkaitan dengan hadits ahkam;
c.    Mengatahui masalah-masalah hukum yang sudah menjadi kosensus ulama;
d.   Mempunyai pengatahuan yang luas tetang qiyas;
e.    Mengatahui ilmu logika, agar dapat menyimpulkan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan;
f.    Menguasai bahasa arab secara mendalam;
g.    Mempunyai pengatahuan yang mendalam tentang nasikh mansuhk;
h.   Mengatahui seluruh kronologi datangnya nash;
i.     Mengatahui biografi perawi hadits dengan detail;
j.     Memahami metode istinbath secara mendalam;
k.   Harus orang yang tsiqah dan tidak tasahul dalam masalah agama.[16]

C.    PENUTUP
1.   Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
a.    Ijtihat adalah mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal. Selain itu sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.
b.   Macam bentuk ijtihad Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yakni : ijtihad al- Bayani, ijtihad al-Qiyasi, dan ijtihad isthislahi. Sementara metode dalam ijtihad terbagi menjadi tujuh yakni; ijma’, qiyas, Maslahah Mursalah, Saddu adzari’ah,   Istishab, ‘ Uruf,  dan Istihsan.
c.    Adapun syarat dalam melakukan ijtihat diantaranya harus mengetahui al-Quran dan ayat-ayat tentang hukum, pengetahuan luas tentang hadis yang berkaitan dengan hukum dan menguasai bahasa arab.





                                                            Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Haroen, Nasrun Ushul Fiqh I . Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasan, M. Ali.  Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif, Bandung Juz IV.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya . Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Mukri Aji,  Muhammad  Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012.
Mukri Aji, KH. Ahmad mukri Aji,  Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Muniron dkk, Studi Islam. Jember: stain press. 2010.
Rifa’I, Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif, 1973.
Rohayana,  Ade Dedi. Ilmu Usul Fiqih.Pekalongan : STAIN Press, 2005.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih, jilid II. Ciputat Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997. 


[1]KH. Ahmad mukri Aji,  Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010),   h. 21.
2 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), h. 567.
[3]Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif, 1973), h. 145.
[4]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012), h. 274.
[5]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 33
[6]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 87.
[7]Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif, (Bandung Juz IV), h. 268.
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 (Ciputat Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997),      h. 267. 
[9]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih (Pekalongan : STAIN Press, 2005) h. 201.
[10]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 200-201.
[11]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 51.
[12]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 62.
[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 128.
[14]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 137.
[15]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 102.
[16]Muniron dkk, Studi Islam(jember: stain press. 2010).116