AL-IJTIHAD
Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Semester dua (II)
Tahun Akademik 2016/2017
Kelompok 2
Oleh:
AHMAD MATHAR
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A.
Dr. Misbahuddin, M.H.I.
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu dalam
mempelajari Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dalam hukum Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad tetap
berada pada koridor yang semestinya.
Olehnya itu
dalam dalam sejarah Islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi
ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan
hadits kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha
menggali maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak
bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian
besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan
masalah tersebut tentang baik buruknya. Hal tersebut menjadi sebuah
tantangan serius hukum Islam yang selama
ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional.
Dunia Islam pada
saat ini berkembang secara pesat tidak akan mungkin mundur secara perlahan
melainkan akan maju sehingga produk hukum Islam hadir dalam membanahi aturan
yang menjadi sendi dasar agama Islam itu sendiri. Olehnya itu, Dalam konteks ini. Sudah saatnya umat Islam
mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan
refungsionalisasi hukum Islam agar formulasi hukum Islam relevan dengan kondisi
kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan
ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam
menanggapi berbagai problematika kekinian.
Berangkat dari
hal tersebut diatas, perlu kiranya kita meneliti atau mempelajari kembali
tentang ijtihad. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengertian ijtihad, macam-macam ijtihad, dan syaratnya ijtihad.
2. Rumusan Masalah
Dari persoalan
di atas, maka penulis membagi beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.
Apa
pengertian Ijtihad?
b.
Berapa
macam bentuk Ijtihad?
c.
Apa
saja syarat Ijtihad?
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar
dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata
“jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau
menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan
seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal.[1] Sementara ijtihad
menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan
seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari
dalil-dalil yang terperinci.
Selain itu, sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi
ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya
baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan
menerapkannya.[2] Sementara dari segi bahasa, ijtihad berarti;
mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad
adalah:
اَ
لإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حكْمٍ شرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ
اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Artinya:
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan
sunnah.”[3]
Dalam al-quran, istilah ijtihad terdapat pada
surah An-Nahl/16:38.
(#qßJ|¡ø%r&ur
«!$$Î/
yôgy_
öNÎgÏZ»yJ÷r&
Terjemahnya:
“mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh.”[4]
Selain itu terdapat pula pada surah An Nur/24:53,
dan Al Fathir/35:42. Istilah ijtihad disitu memiliki makna pengerahan segala kemampuan
dan ke kuatan.
Sedangkan menurut terminology, sebagaimana
menurut Abu Zahrah, secara istilah, arti ijtihad ialah Upaya seorang ahli fiqih
dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum hukum amaliah yang diambil dari
dalil dalil yang rinci.
Adapun pengertian
ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil
syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan
kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[5]
Dalam berijtihad
mesti harus menggunakan dasar adapun dasar tersebut merupakan al-Qur’an dan
as-sunnah seperti yang tertuang dalam firman Allah swt. QS. An-Nisa/4:59.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”[6]
Sementara dalam as-sunnah
tertuang dalam riwayat hadits Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم
فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan
hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan
tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan
satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim,dari Ammar bin al-‘As).[7]
Ketika masalah-masalah yang
sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti didalam
Al-Qur’an dan Hadist seperti kewajiban beriman pada rukun iman yang enam,
kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lama, maka masalah-masalah tersebut
tidak boleh diijtihadkan lagi. Olehnya itu ijtihad boleh dilakukan ketika
sebuah masalah hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Karena
ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah saw masih hidup dan terus
berlanjut hingga beliau wafat.
2.
Macam-macam bentuk Ijtihad
Menurut
Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan
pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
a.
Ijtihad Al-Bayani,
Yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya
maupun dari segi penunjukannya.[8] Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti
dari dalil nas tersebut. Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci
terhadap isteri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah
dicampuri.berdasrkan firman Alalh surat al-Baqarah/2:228.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&äÿrãè%
4
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'
Dalam
ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun tiga kali quru’
tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan
memahami petunjuk karinah yang ada disebut disebut ijtihad bayani .
b.
Ijtihad Al-Qiyasi,
Yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini
hukumnya memang tidak tersurat tetapi
tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad
qiyasi .
Contoh hukum memukul kedua orang tua
yang dikiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.” ‘illatnya ialah menyakiti hati
kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua
peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya
dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
c.
Ijtihad Isthislahi,
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hokum syara’ (Islam) dengan
menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan
kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’
terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas
atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk
kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk
kaidah-kaidah syara’.[9]
Sementara dalam buku Pengantar
Ilmu Fiqh karangan T.M.H Ash-Shiddiqiey, macam-macam ijtihad adalah:
a.
Dengan
segala kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni
tsubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad
dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti
mengetahui sanad dan jalannya sampai kepada kita.
b.
Dengan
segala kesungguhan berupaya memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada nash
qath’i, nash dhanni dan
tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang
kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti
qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad birra’yi.
c.
Dengan
segala kesungguhan berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan
menerapkan kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan
nash-nash yang kulliah, taka adanya suatu nash tertentu, tak ada pula ijma’ dan
tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya untuk mendatangkan
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.[10]
Sementara itu, Ijtihad
sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum dalam hukum
Islam terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
a.
Ijma'
Ijma’ secara etimologi yang berarti kesepakatan atau
konsensus.[11]
Kesepakatan hukum tersebut diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama
tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun
hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada
masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat
memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.
b.
Qiyas
Secara bahasa arab berarti ukuran, mengetahui ukuran
sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.[12]
Jadi qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara
baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab,
manfaat, bahaya atau berbagai aspek
dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat
Al-isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang
tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan
memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.
c.
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya. Contohnya: di dalam Al Quran
ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan
ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi
kemaslahatan umat.
d.
Saddu adzari’ah
Saddu adzari’ah
adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi
kepentingan umat.
e.
Istishab
Istishab secara etimologi ‘minta bersahabat’ atau
“membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”.[13]
Istishab juga merupakan tindakan dalam
menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya: seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada
keadaan sebelum ia berwudhu’, sehingga
ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f.
‘Uruf
Secara etimologi Uruf berarti yang baik.[14]
Dalam hal kebaikan ‘uruf adalah suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga telah
dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g.
Istihsan
Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan
untuk meninggalkannya.[15]
Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’
memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan,bahwa jual beli
diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim
kemudian.
3. Syarat Ijtihad
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam
melakukan ijtihad, diantaranya yang banyak disebutkan oleh ulama usul, yang
terpenting ialah:
a.
Mempunyai
pengatahuan yang luas tentang al-qur’an yang berkaitan dangan ayat-ayat hukum;
b.
Mempunyai
pengathuan yang luas tentaang hadits yang berkaitan dengan hadits ahkam;
c.
Mengatahui
masalah-masalah hukum yang sudah menjadi kosensus ulama;
d.
Mempunyai pengatahuan
yang luas tetang qiyas;
e.
Mengatahui ilmu
logika, agar dapat menyimpulkan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan;
f.
Menguasai
bahasa arab secara mendalam;
g.
Mempunyai pengatahuan yang mendalam tentang
nasikh mansuhk;
h.
Mengatahui
seluruh kronologi datangnya nash;
i.
Mengatahui
biografi perawi hadits dengan detail;
j.
Memahami metode
istinbath secara mendalam;
k.
Harus orang
yang tsiqah dan tidak tasahul dalam masalah agama.[16]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pemaparan
di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
a.
Ijtihat
adalah mengarahkan segala kemampuan atau
menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan
seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal. Selain itu sebagian
ulama’ yang lain memberikan definisi ijtihad merupakan usaha mengerahkan
seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum
syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.
b.
Macam
bentuk ijtihad Menurut Dawalibi, membagi ijtihad
menjadi tiga bagian, yakni : ijtihad al- Bayani, ijtihad al-Qiyasi, dan ijtihad
isthislahi. Sementara metode dalam ijtihad terbagi menjadi tujuh yakni; ijma’,
qiyas, Maslahah Mursalah, Saddu adzari’ah,
Istishab, ‘ Uruf, dan Istihsan.
c.
Adapun
syarat dalam melakukan ijtihat diantaranya harus mengetahui al-Quran dan
ayat-ayat tentang hukum, pengetahuan luas tentang hadis yang berkaitan dengan
hukum dan menguasai bahasa arab.
Daftar
Pustaka
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Haroen,
Nasrun Ushul Fiqh I . Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Hasan,
M. Ali. Perbandingan Mazhab.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Imam
al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif,
Bandung Juz IV.
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya . Cet. I;
Bandung: Syamsil al-Qur’an, 2012.
Mukri
Aji, Muhammad
Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2012.
Mukri
Aji, KH. Ahmad mukri Aji, Rasionalitas
Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Muniron
dkk, Studi Islam. Jember:
stain press. 2010.
Rifa’I,
Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT
Alma’arif, 1973.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu
Usul Fiqih.Pekalongan : STAIN Press, 2005.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqih, jilid II. Ciputat Jakarta, PT. Logos Wacana
Ilmu, 1997.
[1]KH. Ahmad mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd (Bogor:
Pustaka Pena Ilahi, 2010), h. 21.
[3]Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif, 1973), h. 145.
[4]Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil
al-Qur’an, 2012), h.
274.
[5]M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 33
[7]Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari
Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif, (Bandung Juz IV), h. 268.
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 (Ciputat Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 267.
[9]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih (Pekalongan : STAIN
Press, 2005) h. 201.
[10]Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h.
200-201.
[11]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 51.
[12]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 62.
[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 128.
[14]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 137.
[15]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 102.
[16]Muniron dkk, Studi Islam(jember:
stain press. 2010).116